Di tengah perubahan zaman, masyarakat pesisir di Desa Batu Beriga, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, tetap setia melestarikan sebuah tradisi sakral: taber laut. Ritual tahunan ini dilakukan sebagai bentuk syukur atas rezeki dari laut sekaligus upaya menjaga harmoni antara manusia dan alam.
Taber laut bukan sekadar seremoni adat, tetapi wujud konkret kearifan lokal masyarakat Melayu Bangka dalam merawat ekosistem perairan yang menjadi sumber utama penghidupan mereka.
Makna Sakral Taber Laut di Tengah Kehidupan Nelayan
Tradisi taber laut lazim dilakukan setiap tahun oleh masyarakat Desa Batu Beriga. Pelaksanaannya dipimpin oleh tokoh adat atau tetua kampung yang memimpin ritual di tepi pantai. Salah satu elemen penting dalam ritual ini adalah daun taber, yaitu campuran dari daun ruse dan daun ati-ati yang hanya tumbuh di sekitar perkampungan.
Daun taber dipercaya memiliki kekuatan spiritual sebagai media penyembuh dan pembersih. Setelah dibacakan doa dan mantra khusus oleh tetua adat, daun-daun ini ditaburkan ke laut sebagai simbol membersihkan alam dari hal-hal negatif yang tak terlihat.
Menariknya, daun taber juga dimanfaatkan oleh masyarakat untuk "menaber" perahu, rumah, kendaraan, bahkan digunakan sebagai obat alternatif. Nilai spiritual dan pengobatan yang dikandungnya menjadikan daun ini tidak sekadar simbol, tetapi bagian dari praktik hidup masyarakat sehari-hari.
Tiga Hari untuk Laut Beristirahat
Ritual taber laut tidak hanya berbentuk doa dan taburan daun. Ada pula serangkaian larangan yang wajib dipatuhi seluruh warga. Di antaranya adalah larangan mencelupkan makanan matang ke air laut serta pantangan melaut selama tiga hari setelah pelaksanaan ritual.
Larangan ini bukan tanpa makna. Selama tiga hari itu, laut dianggap sedang dalam masa "istirahat" dan pemulihan. Secara ekologis, ini adalah bentuk kearifan lokal dalam memberi waktu bagi biota laut untuk berkembang biak dan menjaga keseimbangan ekosistem pesisir. Apabila larangan ini dilanggar, masyarakat percaya hasil tangkapan akan jauh berkurang atau bahkan membawa bencana.
Taber Laut sebagai Bentuk Ruqyah Alam
Ketua pelaksana taber laut 2022, Sihan Painter, menegaskan bahwa tradisi ini bukan bentuk kesyirikan, melainkan selaras dengan nilai-nilai Islam dan adat. Ia menyebut taber laut sebagai cara "meruqyah alam", membersihkan laut dari energi-energi negatif.
"Melalui ritual ini, kita ingin mengharapkan keselamatan, keamanan, dan ketenteraman dari lautan. Ini bukan praktik syirik, tapi bentuk ketaatan terhadap tradisi dan ajaran Islam yang mengajarkan kita menjaga alam," ujarnya.
Dari Tradisi Kampung ke Wisata Budaya Nasional
Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Batu Beriga terus mendorong agartaber laut diangkat menjadi agenda budaya berskala nasional. Sihan mengungkapkan bahwa pihaknya sudah berkoordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung untuk mendukung pelestarian tradisi ini.
"Kalau kita tidak bergerak, lama-lama tradisi ini bisa hilang. Makanya tahun ini kita undang menteri, pejabat negara, agar mereka tahu bahwa tradisi ini punya nilai budaya tinggi," ujar Sihan.
Dukungan datang dariPenjabat Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Ridwan Djamaluddin, yang menyatakan kesiapannya membantu pendanaan dan promosi taber laut sebagai bagian dari kekayaan budaya daerah.
Menjaga Tradisi, Menjaga Alam
Taber laut bukan sekadar warisan leluhur, tapi solusi lokal untuk menjaga kelestarian laut yang semakin terancam. Di saat banyak wilayah pesisir mengalami eksploitasi berlebih, masyarakat Desa Batu Beriga justru mengajarkan bagaimana bersyukur dan memberi waktu kepada laut untuk bernapas.
Melestarikan taber laut berarti juga merawat jati diri, kearifan, dan keberlanjutanhidup masyarakat pesisir di Bangka Belitung. Sebuah warisan yang patut dijaga, bukan hanya oleh penduduk setempat, tapi oleh seluruh bangsa.
Sumber:
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News