Generasi Z di Indonesia tengah berada dalam pusaran krisis yang sangat serius. Dunia pendidikan kini tidak hanya berhadapan dengan masalah akademik, tetapi juga dengan ancaman yang jauh lebih dalam: kerapuhan mental, kemerosotan moral, dan tekanan sosial yang terus menggerus daya tahan generasi muda.
Lebih dari 3 juta remaja mengalami kecanduan internet berat, yang ditandai dengan kecemasan kronis, isolasi sosial, serta penurunan konsentrasi dan prestasi.
Data Kementerian Kesehatan 2024 mencatat 35% remaja mengalami depresi, sementara gangguan mental di kalangan Gen Z melonjak 200% hanya dalam satu tahun terakhir.
Fenomena seperti cyberbullying, FOMO, dan identitas digital ganda bukan lagi isu pinggiran, mereka telah menjadi faktor utama dalam keruntuhan nilai-nilai dasar: empati, kejujuran, dan tanggung jawab sosial. Ini adalah darurat karakter, dan kita tidak bisa terus menutup mata.
Menyikapi krisis ini, pendekatan medis atau disipliner semata tidak cukup. Kita membutuhkan perubahan mendasar, yaitu revolusi paradigma dalam pendidikan. Gen Z hidup di era informasi yang melimpah namun tanpa penyaring nilai.
Mereka dikelilingi oleh berbagai norma global yang sering kali bertentangan, tanpa pembekalan kognitif dan moral yang memadai untuk memilah dan memahami. Akibatnya, terbentuklah generasi yang secara teknologi canggih, namun secara psikologis dan spiritual rapuh.
Sudah saatnya kita mengembalikan pendidikan pada fungsi hakikinya: membentuk manusia utuh, bukan sekadar mencetak intelektual. Plato sejak awal telah menyuarakan bahwa pendidikan sejati adalah pendidikan moral.
Namun kini, kita justru menyaksikan banyak individu berpendidikan tinggi tapi kehilangan arah etik dan nilai.
Jean Twenge, seorang psikolog generasi, dengan tajam menyoroti gejala Gen Z yang kian individualistik, mudah bosan, dan kehilangan kepekaan sosial. Media sosial, alih-alih memperluas wawasan, justru mempersempit rasa.
Solusinya tidak bisa setengah-setengah. Kita butuh pendidikan karakter yang integratif, sistemik, dan menyatu dalam seluruh aspek pembelajaran. Dalam iGen dan Generations, Twenge mengusulkan 3 pilar pendidikan karakter yang relevan: literasi digital yang sehat, kesadaran diri, dan stabilitas emosional.
Namun, pilar-pilar ini akan jauh lebih kuat jika ditopang oleh kedalaman spiritual dari pemikiran Imam Al-Ghazali yang telah jauh sebelumnya menekankan pentingnya muhasabah (introspeksi), riyadah al-nafs (latihan jiwa), dan peran penting guru sebagai murabbi (pembimbing akhlak).
Kurikulum pendidikan karakter yang menyatu ini bukan lagi wacana ideal, tetapi keharusan strategis. Materi seperti etika digital, manajemen emosi, latihan spiritual, serta internalisasi nilai-nilai universal seperti empati, tanggung jawab, dan keikhlasan perlu diintegrasikan secara sistematis ke dalam semua mata pelajaran.
Misalnya, dalam pelajaran Bahasa Indonesia, siswa diajak menganalisis wacana di media sosial dari sudut pandang nilai: dalam pelajaran agama, siswa tidak hanya diajarkan fikih, tetapi juga menghidupkan ruh reflektif.
Metode pengajaran pun harus direformulasi. Dari sistem satu arah menjadi pendekatan partisipatif dan reflektif. Diskusi kritis, jurnal harian, simulasi sosial, dan meditasi dzikir menjadi alat untuk membangun kesadaran emosional dan spiritual siswa.
Guru bukan hanya sebagai pengajar, tetapi panutan moral yang memberi keteladanan nilai dalam kehidupan nyata.
Beberapa sekolah dan lembaga pendidikan di Indonesia telah mulai menerapkan pendekatan ini dan hasilnya menjanjikan. Penurunan kasus perundungan, meningkatnya kepekaan sosial, dan kepercayaan diri siswa dalam menghadapi tekanan digital menunjukkan bahwa pendidikan karakter yang menyeluruh bukan hanya teori. Namun, solusi yang sudah terbukti efektif.
Jika kurikulum ini dijadikan model nasional, dampaknya akan sangat luas. Namun, ini hanya akan berhasil jika ada komitmen kolektif. Dari pemerintah untuk menyusun kebijakan dan pendanaan yang memadai. Dari guru untuk menjalani pelatihan mendalam. Dari masyarakat untuk membangun ekosistem yang mendukung nilai-nilai luhur.
Lebih dari itu, pendekatan ini membuka jalan untuk dialog antar-disiplin yang kreatif dan kontekstual. Psikologi perkembangan Barat dapat bersanding dengan etika Islam klasik.
Teori emosi Barat dapat diperkaya dengan praktik tasawuf yang menekankan keikhlasan dan keseimbangan batin. Hasilnya adalah pendidikan yang menyatu antara akar budaya lokal dan wawasan global, menjawab tantangan zaman tanpa tercerabut dari identitas.
Melalui penggabungan kekuatan analisis Jean Twenge dan kedalaman hikmah Al-Ghazali, kita tidak sekadar merespons gejala, tetapi menyentuh akar masalah. Pendidikan kembali menjadi ruang suci bagi pertumbuhan manusia cerdas, tangguh, dan bijak.
Di tengah derasnya arus globalisasi dan krisis nilai, inilah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Generasi Z dari kehilangan jati dirinya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News