Menjelang siang, 10 Desember 1964. Lokasinya di Hamborn, sebuah distrik buruh di jantung industri batu bara dan baja kota Duisburg, Jerman Barat. Di sebuah aula yang sesak, seorang lelaki Asia berwibawa berdiri di hadapan warganya: ratusan penambang dan perawat dari Korea Selatan. Mereka bukan turis. Mereka adalah angkatan pertama pejuang devisa, yang dikirim ke negeri orang demi menyambung napas negara mereka yang nyaris mati.
Lelaki itu Park Chung-hee, presiden Korea Selatan.
Begitu lagu kebangsaan Aegukga berkumandang, isak tangis pecah. Rindu dan nestapa tumpah ruah. Di luar dugaan, presiden yang terkenal bertangan besi itu ikut menangis. Suaranya bergetar saat berpidato:
“Mari bekerja keras demi kehormatan bangsa. Kalau bukan untuk generasi kita, biarlah untuk anak cucu kita, agar mereka bisa hidup terhormat seperti bangsa-bangsa lain.”
Itu bukan sekadar pidato. Itu adalah ikrar untuk menebus harga diri sebuah bangsa. Sebuah janji yang kelak akan ditunaikan lunas oleh satu generasi.
"Kalau bukan untuk generasi kita, biarlah untuk anak cucu kita." Di hadapannya, ratusan pahlawan tanpa tanda jasa yang menukar rindu dengan devisa. Di belakangnya, sebuah bangsa yang menanti untuk dibangun kembali. Hamborn, Jerman Barat, 1964. Sumber: The Korea Post(https://www.koreapost.com)
Konteksnya brutal. Saat itu, Korea Selatan adalah pasien dunia yang dianggap tak punya masa depan. Pendapatan per kapitanya hanya $87. Bank Dunia menjulukinya bottomless pit—lubang tanpa dasar. Menerima bantuan tanpa henti, tapi tak kunjung bangkit. Sebuah aib nasional. Perang baru saja melumat negeri itu. Tanahnya tandus, musim dinginnya kejam, dan ancaman invasi dari utara adalah teror harian.
Bandingkan dengan Indonesia di era yang sama. Kita adalah primadona. Kita mengekspor minyak, kayu, bahkan beras. Di panggung dunia, harga diri kita tampak jauh lebih kokoh.
Namun, dekade demi dekade, arah kompas berbalik.
Tahun 70-an: Dekade Baja dan Keringat
Ini adalah dekade "kerja paksa" nasional. Di bawah komando Presiden Park Chung-hee, Korea Selatan bergerak layaknya satu batalion raksasa. Para chaebol—Samsung, Hyundai, LG—dipilih sebagai "jenderal perang ekonomi". Perintahnya jelas: bangun industri berat, apa pun biayanya. Maka, lahirlah pabrik baja raksasa POSCO di Pohang dari nol. Lahirlah galangan kapal Hyundai di Ulsan yang kelak menguasai industri perkapalan dunia. Jalan tol Gyeongbu dibangun dalam dua setengah tahun, menjadi urat nadi pertama bagi kebangkitan ekonomi.
Dibangun hanya dalam dua setengah tahun dengan tantangan teknis luar biasa, Jalan Tol Gyeongbu adalah proyek mercusuar di "Dekade Baja dan Keringat". Jalan ini menjadi tulang punggung yang memungkinkan pabrik-pabrik di selatan mengirimkan produknya ke Seoul dan dunia. Inilah awal dari segalanya. SUmber: Chosun.net
Harga yang dibayar rakyat sangat mahal. Mereka dipaksa "tirakat". Jam kerja lebih panjang dari matahari terbit hingga terbenam. Upah ditekan serendah mungkin agar perusahaan bisa menginvestasikan kembali setiap won yang didapat. Kebebasan berserikat dibungkam. Semua pengorbanan itu bukan untuk kemewahan, tetapi demi satu hal yang lebih mendasar: martabat. Martabat untuk bisa membuat sesuatu dengan tangan sendiri, martabat untuk tidak lagi bergantung pada bantuan asing.
Tahun 80-an: Dekade Otak dan Pembuktian
Setelah "perangkat keras" berupa pabrik dan infrastruktur terbangun, Korea Selatan sadar mereka butuh "perangkat lunak": manusia terdidik. Dekade 80-an adalah pertaruhan besar pada pendidikan. Pemerintah tidak hanya membangun sekolah; mereka menanamkan obsesi nasional pada kecerdasan. Persaingan masuk universitas terbaik menjadi medan perang baru yang lebih sengit daripada perang fisik. Angka melek huruf digenjot hingga nyaris sempurna.
Puncaknya adalah Olimpiade Seoul 1988. Bagi dunia, itu hanyalah pesta olahraga. Bagi Korea Selatan, itu adalah panggung pembuktian harga diri. Negara yang 30 tahun sebelumnya rata dengan tanah kini menjadi tuan rumah bagi seluruh bangsa di dunia. Mereka menunjukkan wajah Seoul yang modern, bersih, dan terorganisir. Itu adalah cara mereka berteriak tanpa kata kepada dunia: "Lihat kami sekarang. Kami bukan lagi bangsa peminta-minta!"
Tahun 90-an & 2000-an: Dekade Ujian dan Lompatan Global
Memasuki tahun 90-an, Korea Selatan mulai percaya diri. Mobil Hyundai, TV LG, dan chip Samsung membanjiri pasar dunia. Namun, tepat di puncak kepercayaan diri itu, badai datang. Krisis Moneter Asia 1997 menghantam mereka seperti tsunami, merontokkan perusahaan-perusahaan besar dan memaksa negara itu menerima dana talangan IMF yang memalukan. Harga diri yang mereka bangun selama puluhan tahun seolah runtuh dalam semalam.
Gerakan pengumpulan emas. Foto: National Archives of Korea
Tapi di sinilah dunia terperangah. Menghadapi aib nasional, rakyat bergerak. Sebuah gerakan spontan pengumpulan emas lahir. Ibu-ibu rumah tangga merelakan cincin kawin mereka. Atlet menyerahkan medali emas olimpiade. Anak-anak memecah celengan mereka. Semua dikumpulkan untuk membantu negara membayar utang. Dunia menyaksikan sebuah patriotisme yang luar biasa.
Hasilnya? Utang IMF lunas lebih cepat dari jadwal. Ujian itu membuktikan satu hal: harga diri mereka sudah bukan lagi slogan, melainkan telah menjadi milik bersama. Krisis itu menempa mereka menjadi lebih kuat, membuka jalan bagi dominasi global mereka di abad ke-21.
Kini, siapa yang berani meremehkan Korea Selatan? Mereka adalah adidaya teknologi dan budaya. Di satu sisi, tank K2 Black Panther dan jet tempur KF-21 buatan mereka diekspor ke Eropa. Di sisi lain, musik dan film mereka menginvasi dunia. Hard power dan soft power. Dua pedang untuk menjaga harga diri yang telah mereka rebut dengan susah payah.
Janji Park Chung-hee di Hamborn terwujud. Janji itu tidak lahir dari doa kosong. Ia lahir dari keputusan satu generasi untuk menukar keringat mereka dengan harga diri yang abadi.
Lalu, kita. Sama-sama merdeka tahun 1945. Sama-sama babak belur di awal. Tapi Korea menjadikan rasa malu akibat kemiskinan sebagai bahan bakar. Mereka mengorbankan satu generasi demi harga diri generasi berikutnya. Kita? Anda punya jawaban sendiri tentu.
Maka, di hari kemerdekaan kita yang ke-80 ini, pertanyaannya bukan lagi soal semarak lomba. Pertanyaannya jauh lebih menusuk: harga diri seperti apa yang sedang kita bangun untuk diwariskan?
Kalau Korea bisa, kita pun pasti bisa. Syaratnya cuma satu: kita harus sepakat bahwa harga diri bangsa adalah proyek utama kita bersama. Lalu kita kerja. Benar-benar kerja. Karena anak cucu kita berhak berjalan di muka bumi dengan kepala tegak.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News