IPB University kembali menunjukkan perannya sebagai pusat inovasi pertanian di Indonesia dengan melahirkan dua varietas cabai unggulan yang menjawab tantangan masa kini.
Melalui tangan dingin Prof. Muhammad Syukur, seorang Guru Besar dari Fakultas Pertanian, IPB berhasil mengembangkan Cabai Palurah IPB, sebuah varietas cabai super pedas dengan potensi biofarmaka, serta Cabai Keriting Tahan Virus (Neno TAVI) yang menawarkan solusi jangka panjang bagi petani cabai.
Cabai Palurah IPB: Sensasi Pedas Ekstrem dan Potensi Biofarmaka
Inovasi pertama yang menarik perhatian adalah Cabai Palurah IPB. Vareitas ini hadir dengan karakteristik yang sangat unik, baik dari segi visual maupun tingkat kepedasannya. Nama ‘Palurah’ diambil dari bentuknya yang mirip dengan buah jambu air, memberikan tampilan eksotis yang membedakannya dari cabai pada umumnya. Namun, di balik penampilannya yang unik, cabai ini menyimpan kejutan besar.
Menurut Prof. Muhammad Syukur, Cabai Palurah IPB memiliki tingkat kepedasan yang luar biasa, mencapai 500 kali lebih pedas dibandingkan cabai besar biasa. Bahkan, jika dibandingkan dengan cabai rawit terpedas yang ada saat ini, Palurah masih lima kali lebih pedas.
Tingkat kepedasan ekstrem ini menjadikannya pilihan efisien untuk penggunaan kuliner. Cukup dengan sedikit saja, sensasi pedas yang maksimal sudah bisa didapatkan, mengurangi jumlah cabai yang dibutuhkan dan berpotensi menekan biaya produksi untuk industri olahan.
Lebih dari sekadar bumbu dapur, Cabai Palurah IPB juga menyimpan potensi besar di bidang kesehatan dan industri biofarmaka. Prof. Syukur menjelaskan bahwa cabai super pedas seperti ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai produk, seperti koyo cabai, yang selama ini masih banyak diimpor.
Kandungan senyawa aktif capsaicin yang sangat tinggi pada Palurah menjadi bahan baku ideal untuk produk-produk farmasi yang membutuhkan efek panas atau pereda nyeri.
Meskipun varietas lokal seperti Cabai Katokkon dari Sulawesi Selatan sudah dikenal luas, Cabai Palurah IPB merupakan hasil perakitan khusus yang didaftarkan untuk dilepas secara nasional. Dengan demikian, diharapkan dapat memenuhi kebutuhan domestik secara lebih masif, baik untuk konsumsi segar maupun bahan baku industri.
Neno TAVI: Solusi Jangka Panjang untuk Petani
Tantangan terbesar yang dihadapi petani cabai di Indonesia adalah serangan penyakit keriting kuning yang disebabkan oleh Begomovirus. Penyakit ini tidak membunuh tanaman, namun dapat menurunkan produktivitas secara drastis, menyebabkan kerugian besar bagi petani.
Menyadari urgensi ini, Prof. Syukur dan timnya mengembangkan varietas cabai keriting yang tahan terhadap virus, yang diberi nama Neno TAVI.
Pengembangan Neno TAVI merupakan respons langsung terhadap masalah yang selama ini sulit diatasi. Hingga saat ini, belum ada obat yang efektif untuk mengatasi virus keriting kuning.
Akibatnya, petani sering kali terpaksa mencabut tanaman yang terinfeksi, yang berarti kehilangan panen. Solusi paling realistis dan berkelanjutan adalah dengan menciptakan varietas yang secara genetik sudah kebal terhadap virus tersebut.
Pemilihan cabai keriting sebagai fokus pengembangan Neno TAVI didasari oleh tingginya permintaan pasar. Cabai keriting adalah jenis cabai kedua yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia, terutama di wilayah Sumatera dan Jawa.
Dalam proses perakitannya, Prof. Syukur memastikan bahwa Neno TAVI tidak hanya tahan virus, tetapi juga tetap mempertahankan karakteristik yang disukai konsumen, seperti rasa pedas yang kuat, ukuran buah yang optimal, dan produktivitas yang tinggi. Hal ini membuktikan bahwa inovasi tidak harus mengorbankan kualitas.
Kehadiran Neno TAVI tidak hanya menjadi solusi agronomis, tetapi juga memiliki dampak ekonomi yang strategis. Varietas yang tahan virus akan menghasilkan panen yang lebih stabil, membantu mengendalikan harga dan pasokan cabai nasional, terutama saat musim paceklik.
Hal ini secara langsung mendukung upaya pemerintah dalam mengendalikan inflasi di sektor pangan. Saat ini, benih Neno TAVI sudah mulai didiseminasikan kepada petani, sementara proses perizinan resmi untuk komersialisasi skala luas masih terus berjalan.
Diharapkan, varietas ini akan menjadi tonggak penting dalam upaya mewujudkan kemandirian pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani cabai di Indonesia.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News