Viralnya Pacu Jalur tidak hanya menyisakan kisah tentang bocah yang menari di atas perahu panjang. Ada satu lokasi yang tidak kalah menarik perhatian publik, yakni Tepian Narosa, tempat di mana berlangsungnya perlombaan mendayung yang kini ramai dibicarakan.
Jika sebelumnya nama ini kurang dikenal masyarakat di luar Riau, kini banyak yang penasaran, “Di mana sih sebenarnya Tepian Narosa berada?” Nah, melalui artikel ini, Kawan GNFI akan diajak mengenal lebih dekat tempat berlangsungnya lomba Pacu Jalur diadakan tersebut.
Bisa jadi, setelah tahu letak dan sejarahnya, Kawan GNFI semakin tertarik untuk berkunjung dan menikmati keindahan alamnya.
Di Mana Letak Tepian Narosa?
Tepian Narosa berada di pusat Kota Teluk Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Provinsi Riau. Lokasi ini membentang di tepian sungai besar yang mengaliri sembilan kecamatan sekaligus, mulai dari Hulu Kuantan hingga Cerenti, yaitu Sungai Kuantan.
Peranan sungai ini begitu penting bagi masyarakat, bukan hanya sebagai jalur transportasi. Namun, juga sumber air, budi daya perikanan, hingga pusat kebudayaan. Hal ini juga berkat festival Pacu Jalur yang kerap diadakan setiap tahun tepat di Tepian Narosa.
Tidak heran bila kawasan tersebut menjadi ikon kebanggaan Teluk Kuantan. Pemerintah daerah pun tengah menata ulang arena karena pendangkalan yang terjadi, sekaligus menyiapkan berbagai pertunjukan kesenian tradisional untuk memeriahkan acara pembukaan festival.
Batu Sakral Asal Mula Tepian Narosa
Terdapat kisah unik dibalik nama Narosa. Dilansir dari Riauin.com, istilah ini merupakan akronim dari Naik Rosa atau Naik ke atas batu. Dahulu, di tepian sungai terdapat bongkahan batu yang diyakini memiliki nilai spiritual sekaligus fungsi praktis. Usai beraktivitas di sungai, warga biasa naik ke batu itu untuk bersuci dan beribadah.
Kesakralan tersebut membuat masyarakat kemudian menyebut kawasan ini sebagai Narosa. Sayangnya, bongkahan batu yang menjadi cikal bakal nama itu kini sudah tidak ada lagi.
Abrasi dan pengikisan alam diduga menjadi penyebab hilangnya karak yang dulunya menjadi penanda sekaligus pusat aktivitas spiritual di tepian sungai.
Pacu Jalur yang Harumkan Tepian Narosa
Pacu Jalur dikenal sebagai pesta rakyat kebanggaan masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau. Tradisi ini memiliki sejarah panjang yang dimulai sejak abad ke-17.
Saat itu, jalur digunakan sebagai alat transportasi utama warga desa di sepanjang Sungai Kuantan, mulai dari Kecamatan Hulu Kuantan hingga Kecamatan Cerenti, karena transportasi darat belum berkembang.
Pacu Jalur di Tepian Narosa, lebih dari sekadar lomba, tapi juga warisan budaya yang terus dijaga | sumber: kotajalur.kuansing.go.id
Awalnya, jalur difungsikan sebagai alat angkut hasil bumi seperti pisang dan tebu, sekaligus mampu membawa 40–60 orang. Seiring waktu, jalur diberi ukiran indah seperti kepala ular, buaya, atau harimau, ditambah perlengkapan khas seperti payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang), serta lambai-lambai tempat juru mudi berdiri.
Keindahan tersebut membuat jalur tidak sekadar alat angkut, melainkan juga simbol identitas sosial.
Pada mulanya, hanya kalangan bangsawan, penguasa wilayah, dan para datuk yang mengendarai jalur berhias itu. Namun, sekitar 100 tahun kemudian, masyarakat mulai menjadikannya ajang adu cepat antar-jalur yang kemudian dikenal sebagai Pacu Jalur.
Pacu Jalur awalnya digelar untuk memperingati hari besar Islam di kampung-kampung sepanjang Sungai Kuantan. Seiring perkembangan zaman, tradisi ini kemudian diadakan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia setiap bulan Agustus.
Maka tidak heran jika saat lomba berlangsung, Kota Jalur dipenuhi lautan manusia, termasuk para perantau yang pulang khusus untuk menyaksikan perhelatan ini.
Jumlah peserta pun tidak main-main, bisa mencapai lebih dari 100 jalur, masing-masing dengan kapasitas 45–60 pendayung atau yang disebut "anak pacu".
Hingga kini, tradisi Pacu Jalur telah menjadi agenda wisata unggulan Provinsi Riau untuk menarik wisatawan lokal maupun mancanegara.
Jejak Budaya di Tepian Narosa
Lomba Pacu Jalur yang mendunia tidak hanya mendatangkan ketenaran bagi para peserta, tetapi juga memberikan dampak besar bagi daerah tempat tradisi ini berlangsung.
Hal ini membuktikan bahwa warisan budaya bangsa bukan sekadar peristiwa turun-temurun, melainkan sebuah kekayaan yang patut diapresiasi dan dijaga.
Melestarikan budaya bangsa berarti menjaga identitas sekaligus membuka peluang bagi kemajuan daerah dan masyarakatnya. Sebab, hal baik yang terus dijaga akan selalu memberi manfaat, bahkan jauh melampaui batas tempat asalnya.
Mari, Kawan GNFI, sebarkan berita baik yang bisa mengharumkan nama Indonesia di mata dunia, karena masih banyak wilayah seperti Tepian Narosa yang layak mendapatkan pusat perhatian berkat keindahan alam dan budaya yang terjaga.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News