ketika mesin mulai berpikir apakah manusia masih punya peran - News | Good News From Indonesia 2025

Ketika Mesin Mulai ‘Berpikir’: Apakah Manusia Masih Punya Peran?

Ketika Mesin Mulai ‘Berpikir’: Apakah Manusia Masih Punya Peran?
images info

Ketika Mesin Mulai ‘Berpikir’: Apakah Manusia Masih Punya Peran?


Perkembangan teknologi digital telah melahirkan paradigma baru dalam memaknai eksistensi manusia. Jika pada abad ke-17 René Descartes merumuskan eksistensi dengan ungkapan cogito ergo sum—“aku berpikir maka aku ada”—maka di era digital muncul pergeseran menuju click ergo sum—“aku klik maka aku ada”.

Tindakan sederhana berupa klik kini bukan lagi aktivitas teknis belaka, melainkan representasi keterlibatan seseorang dalam ruang digital. Kehadiran Kawan GNFI di media sosial, ruang kerja daring, atau dunia maya secara umum semakin ditentukan oleh interaksi digital, bukan sekadar oleh kesadaran murni sebagaimana diasumsikan filsafat klasik.

Fenomena ini semakin kompleks ketika dipadukan dengan perkembangan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI). AI modern, khususnya yang berbasis machine learning dan generative models, tidak hanya merespons perintah, tetapi juga menghasilkan keluaran yang menyerupai proses berpikir manusia.

Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah AI sekadar meniru proses berpikir melalui algoritma, ataukah ia berpotensi mengarah pada bentuk kesadaran baru?

Perdebatan ini berakar dari filsafat pikiran. Alan Turing melalui Turing Test menguji kemampuan mesin menirukan kecerdasan manusia, sementara John Searle lewat Chinese Room Argument menegaskan bahwa pemrosesan simbol bukanlah pemahaman sejati.

Dalam tradisi filsafat klasik, eksistensi ditentukan oleh kesadaran reflektif. Namun di dunia digital, klik menjadi penanda keberadaan. Melalui klik, Kawan GNFI menegaskan identitas, membangun jejaring sosial, hingga meninggalkan jejak eksistensi di ruang maya.

Marshall McLuhan pernah mengatakan bahwa setiap medium adalah perluasan manusia. Dalam konteks ini, klik adalah bentuk perpanjangan kesadaran. Tanpa klik, keberadaan digital bisa dianggap tidak ada atau minimal tidak terlihat.

Lebih jauh, konsep ini sejalan dengan pandangan Heidegger tentang Dasein—keberadaan manusia yang selalu hadir dalam dunia. Kini, klik menjadi cara baru manusia meneguhkan dirinya dalam dunia digital.

Sejak lama, perdebatan tentang “apakah mesin bisa berpikir?” telah menjadi isu besar. Turing melihat kecerdasan dari sisi fungsional: mesin dianggap cerdas bila mampu meniru respons manusia. Namun Searle mengkritik bahwa mesin hanya memanipulasi simbol, bukan memahami maknanya.

Meski demikian, AI modern dengan deep learning dan pattern recognition semakin menyerupai kreativitas manusia. Menurut Stuart Russell dan Peter Norvig, AI kini mampu mengambil keputusan dan menghasilkan konten baru. Hal ini memunculkan pertanyaan: apakah kemampuan itu sekadar algoritmik atau tanda awal kesadaran buatan?

Luciano Floridi menawarkan perspektif berbeda. Menurutnya, AI adalah bagian dari infosphere—ekosistem informasi global. Maka, AI tidak perlu diukur dengan standar kesadaran manusia, tetapi dengan sejauh mana ia berkontribusi dalam jaringan informasi.

Eksistensi Kawan GNFI di era digital kini tidak terlepas dari relasi dengan AI. Klik menjadi pemicu bagi AI untuk merespons, sementara jawaban AI memberi kesan seolah-olah ia berpikir. Relasi ini menciptakan simbiosis eksistensial: manusia menegaskan kehadirannya melalui klik, dan AI menegaskan keberadaan manusia melalui responsnya.

Dalam pandangan Heidegger, keberadaan manusia selalu terkait dengan “yang lain”. Di era digital, “yang lain” itu termasuk AI. Marshall McLuhan bahkan menyebut teknologi sebagai perpanjangan manusia. Bedanya, AI bukan hanya memperluas, tetapi juga meniru, bahkan sebagian menggantikan fungsi berpikir.

Jika cogito ergo sum meletakkan kesadaran sebagai dasar eksistensi, maka click ergo sum menunjukkan bahwa kini eksistensi ditentukan oleh keterhubungan digital. Klik tidak hanya menegaskan kehadiran, tetapi juga membentuk pengetahuan di dunia maya.

Menurut Floridi, kita kini hidup dalam infosphere, di mana klik menjadi pintu epistemologis baru. Ia tidak sekadar teknis, melainkan tindakan yang menghubungkan manusia dengan informasi global, membentuk preferensi, dan bahkan memengaruhi cara berpikir.

Pergeseran dari cogito menuju klik menandai lahirnya cara baru dalam memaknai eksistensi. Klik kini menjadi tanda ontologis: bukti keberadaan Kawan GNFI di dunia digital. AI, pada saat yang sama, hadir sebagai mitra epistemologis—memperluas daya pikir dan cara kita memahami dunia.

Eksistensi manusia modern akhirnya bersifat ko-eksistensial: hadir bersama AI dalam infosphere yang terus berkembang. Maka, menjadi ada di era digital berarti mampu hadir, terhubung, dan berpikir bersama teknologi.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

FA
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.