Di tengah deru kemajuan teknologi, sistem perpajakan Indonesia sedang menjalani sebuah revolusi yang tak lagi bisa ditunda.
E-Filing, e-Billing, hingga yang terbaru CoreTax hadir bak pelari maraton yang melesat kencang di lintasan digital membawa janji efisiensi, transparansi, dan integrasi data dalam genggaman.
Pemerintah optimistis bahwa era formulir manual sudah berakhir digantikan dengan era serba digital yang dapat dilakukan hanya dengan beberapa kali “klik”.
CoreTax yang mulai dioperasikan pada Januari 2025 adalah tonggak penting. Sistem ini mengintegrasikan pendaftaran, pelaporan, dan pembayaran pajak dalam satu platform modern.
Langkah ini bukan hanya soal teknis, melainkan simbol ambisi besar untuk mewujudkan penerimaan pajak yang lebih optimal dan tata kelola yang lebih akuntabel.
Namun di balik gegap gempita inovasi, muncul pertanyaan penting: apakah masyarakat sudah siap berjalan seiring dengan laju teknologi? Inovasi digital memang menjanjikan kemudahan tetapi tanpa literasi yang memadai ia berisiko menjadi kendala baru.
Dari sinilah terlihat paradoks besar digitalisasi pajak, satu sisi berlari kencang mengejar efisiensi, sisi lain tertatih menunggu kesiapan literasi.
Jejak Tertatih: Literasi yang Belum Siap Mengikuti
Jejak tertatih inilah yang tampak nyata dalam literasi digital masyarakat, khususnya wajib pajak. Di balik inovasi yang berlari kencang, ada literasi yang tertinggal jauh di belakang.
Tidak semua wajib pajak mampu berlari seiring dengan teknologi. Masih banyak yang terkendala teknis, kebingungan prosedur, hingga frustrasi menghadapi server yang tak merespons.
Transformasi digitalisasi perpajakan pada akhirnya menyimpan paradoks. Di satu sisi sistem seperti CoreTax ini menjadi simbol kemajuan yang memperpendek rantai birokrasi, menghapus ketergantungan pada dokumen fisik, dan menghadirkan kontrol real-time terhadap kepatuhan wajib pajak. Namun di sisi lain kecepatan inovasi ini tak jarang menimbulkan keterkejutan di lapangan.
Dalam praktiknya banyak wajib pajak kebingungan ketika berhadapan dengan CoreTax. Keluhan yang muncul berulang kali seperti format dokumen yang tidak sesuai, kesalahan input data, hingga kegagalan akses akibat server yang terganggu.
Direktorat Jenderal Pajak bahkan sempat menyampaikan permintaan maaf resmi pada Januari 2025 setelah sistem mengalami hambatan besar pada minggu pertama implementasi. Meski infrastruktur segera diperbaiki, pengalaman ini menjadi pengingat bahwa teknologi secanggih apa pun tetap membutuhkan kesiapan manusia sebagai penggunanya.
Data literasi pun menunjukkan peringatan.Berdasarkan laporan UNESCO, Indonesia masih berada di peringkat kedua dari bawah dalam hal literasi dunia dengan minat baca masyarakat hanya 0,001%.
Sementara itu Indeks Literasi Digital Indonesia pada tahun 2024 hanya mencatatkan skor 3,78 dari skala 5. Angka ini adalah alarm keras bahwa inovasi tanpa edukasi hanya akan memperlebar jurang antara mereka yang menguasai teknologi dan mereka yang tertinggal.
Selain literasi, digitalisasi pajak juga berhadapan dengan tantangan besar lain: keamanan data, stabilitas infrastruktur internet, dan kesenjangan akses antara perkotaan dan pedesaan. Banyak dari wajib pajak memiliki koneksi internet yang tidak memadai, apalagi perangkat yang kompatibel dengan sistem berbasis web modern.
Cahaya di Ujung Lintasan: Peluang yang Membentang
Meski tantangan begitu nyata, digitalisasi perpajakan membuka peluang besar. Dengan inovasi ini rantai birokrasi bisa dipangkas, transparansi meningkat, dan penerimaan pajak lebih terjamin.
Penggunaan big data dan analitik prediktif memungkinkan pemerintah mendeteksi potensi penghindaran pajak lebih cepat. Sementara itu integrasi data antar-lembaga melalui Single Identification Number memperkuat basis pajak dan memperluas jangkauan kepatuhan.
Digitalisasi juga membuka kesempatan bagi wajib pajak untuk mendapatkan pengalaman yang lebih mudah, cepat, dan efisien. Sistem seperti CoreTax, e-Filing, dan e-Billing jika dijalankan secara konsisten dan stabil akan mampu menurunkan biaya kepatuhan serta meningkatkan kenyamanan wajib pajak.
Dari sisi negara hal ini menjadi modal besar untuk memperluas basis penerimaan, terutama di tengah tekanan global dan kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin kompleks.
Tentunya hal ini akan bisa tercapai jika transformasi digital tidak berhenti pada penyediaan teknologi semata, tetapi juga dibarengi dengan penguatan literasi digital, penyederhanaan regulasi, peningkatan kualitas infrastruktur, serta pendampingan berkelanjutan bagi seluruh wajib pajak tanpa terkecuali.
Menyatukan Langkah: Apa yang Harus Dilakukan?
Berbagai upaya telah ditempuh pemerintah untuk menjembatani kesenjangan literasi ini. Simulator CoreTax, video tutorial, buku panduan, hingga sosialisasi langsung di kantor-kantor wilayah DJP terus digelar.
Akademisi dan konsultan pajak pun dilibatkan melalui program Business Development Services (BDS) untuk memperluas jangkauan edukasi.
Strategi jangka panjang juga perlu difokuskan pada edukasi masif bagi masyarakat melalui program pelatihan, penyederhanaan prosedur, serta pendampingan intensif bagi wajib pajak khususnya di daerah dengan akses internet terbatas.
Pemerintah juga perlu menjamin keamanan data dan memperkuat infrastruktur jaringan agar setiap lapisan masyarakat dapat menikmati manfaat inovasi digital ini.
Akhir Lintasan: Harmonisasi Laju Inovasi Dan Literasi
Digitalisasi perpajakan Indonesia pada akhirnya adalah kisah dua kecepatan, inovasi yang berlari dan literasi yang tertatih. CoreTax, e-Filing, dan e-Billing memang menjanjikan efisiensi serta peningkatan kepatuhan pajak.
Namun keberhasilan transformasi ini tidak hanya ditentukan oleh kecanggihan algoritma dan server, melainkan juga oleh sejauh mana masyarakat mampu memahami, menerima, dan menggunakannya dengan benar.
Transformasi digital perpajakan bukan sekadar urusan teknologi, tetapi tentang memastikan setiap wajib pajak dapat bergerak menuju tujuan yang sama. Tugas terbesar kini berada di tangan pemerintah, akademisi, dan masyarakat untuk menjamin bahwa dalam perlombaan menuju modernisasi ini tidak ada satu pun yang tertinggal di belakang.
Keberhasilan transformasi digital perpajakan hanya akan terwujud jika inovasi teknologi diimbangi dengan penguatan literasi sehingga modernisasi pajak benar-benar dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Pada akhirnya keberhasilan transformasi digitalisasi perpajakan ini tidak diukur dari kecepatan inovasi semata, melainkan dari laju inovasi dan literasi yang mampu bergerak bersama.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News