Kawan GNFI, masih ingatkah kawan dengan trend nasi bancakan yang sempat viral pada tahun 2017 lalu? Biasa dihidangkan untuk jamuan ulang tahun kemerdekaan atau anak-anak, makanan tersebut kini juga merambah menjadi sajian di tempat makan. Nasi bancakan ini sendiri juga menyimpan banyak keistimewaan di baliknya. Seperti apa?
Apa itu Bancakan?
Menurut Sudadi dalam buku "Bancakan" milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kata bancakan merupakan istilah dari bahasa Jawa yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Kata ini juga telah dimasukkan dan dapat kita temukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sehingga telah resmi menjadi bagian dari kosakata bahasa Indonesia.
Dalam KBBI, bancak atau bancakan memiliki 3 arti, yaitu 1) selamatan; kenduri; 2) hidangan yang disediakan dalam selamatan; 3) selamatan bagi anak-anak dalam merayakan ulang tahun atau memperingati hari kelahiran disertai pembagian makanan atau kue-kue.
Bancakan sendiri pada mulanya merupakan sebutan untuk sajian makanan tradisional dari Jawa,. Terdiri dari nasi, urap (sayuran hijau yang dicampur dengan parutan kelapa yang telah dibumbui dan memiliki rasa manis, asin, dan pedas), serta lauk-pauk sederhana, seperti telur rebus dan ikan asin goreng.
Sajian ini awalnya hanya dihidangkan di acara-acara tertentu, misalnya di hari peringatan kelahiran seorang anak yang diperingati setiap 35 hari.
Kata bancakan dalam konteks ini digunakan untuk sebutan tradisi makan bersama atau berbagi makanan bersama bagi anak-anak sebagai bentuk selamatan. Tujuannya untuk memohon keselamatan. Jadi, kata bancakan ini dapat dipakai untuk sebutan baik hidangannya maupun acaranya.
Tradisi Bancakan pada Masa Lalu
Hingga tahun 1970-an, banyak keluarga Jawa di desa yang biasa mengadakan acara bancakan ini terutama ketika memperingati hari lahir. Pada zaman ini, keluarga-keluarga Jawa umumnya lebih mengingat hari kelahiran (weton) yang diperingati setiap 35 hari. Sesuai perpaduan hari lahir dan hari pasaran dalam penanggalan Jawa ketika seorang anak lahir, dibandingkan tanggal lahir yang diperingati setahun sekali.
Tradisi bancakan untuk memperingati hari lahir (weton) ini dilakukan dengan teman sekolah atau bermain. Semua anak-anak tersebut akan duduk melingkar di rumah atau teras dan di tengahnya disajikan gunungan nasi yang lengkap dengan urap dan lauk-pauk sederhana.
Sajian nasi bancakan ini biasanya diletakan di tengah tampah (wadah anyaman bambu tipis yang bulat dan berdiameter sekitar 1 meter) dan dihias.
Umumnya, sebelum membagikan nasi bancakan ini, orang tua sang anak akan memanjatkan doa permohonan keselamatan, kebahagiaan, dan kesehatan anaknya.
Dalam tradisi bancakan, anak-anak yang hadir tidak diperbolehkan untuk berebut bancakan, mereka hanya cukup menunggu pembagian jatah mereka. Jatah bancakan dibungkus dengan daun pisang dan dibagi secara adil.
Dulu, anak-anak akan menyantap nasi bancakan dengan kepalan tangan atau dengan sendok dari daun pisang yang disebut suru. Nasi bancakan ini biasanya disantap hingga habis. Apabila tersisa, nantinya akan dibungkus daun pisang dan dibagikan kepada yang berhalangan datang.
Nasi bancakan yang dititipkan ini disebut nasi gandulan karena dibawa dengan kantong yang menggantung (nggandul) di tangan.
Budaya Nasi Bancakan di Zaman Sekarang
Sejak tahun 2017 lalu, budaya nasi bancakan ini menjadi populer. Membuat orang-orang jadi ingin merasakan pengalaman makanan khas pedesaan. Tak hanya di peringatan momen spesial, tetapi juga menjadi menu hidangan di rumah makan.
Berbeda dengan bancakan di masa lalu yang dibagi-bagikan, menurut Dwi Shintia dalam Jawapos, nasi bancakan yang sekarang dihidangkan di atas lembaran daun pisang dan langsung disantap bersama-sama. Menu bancakan juga bisa berbeda-beda tiap daerah Pulau Jawa.
Filosofi dalam Tradisi Nasi Bancakan
Bukan hanya nikmat, nasi bancakan juga memiliki filosofi di dalamnya yang membuat tradisi ini menjadi lebih istimewa. Dilansir dari Liputan6, saat menikmati bancakan bersama dalam satu nampan, semua orang duduk sama rendah mengelilingi nampan.
Hal ini melambangkan bahwa semua orang memiliki status yang sama, baik itu yang kaya atau miskin maupun yang tua atau muda, semuanya memiliki derajat yang sama.
Budaya makan bersama dalam nasi bancakan ini juga mencerminkan budaya gotong-royong dan semangat kerukunan masyarakat. Tidak jauh dari identitas bangsa Indonesia yang selalu satu meski di tengah jutaan keberagaman.
Dari trend nasi bancakan ini, kita disadarkan bahwa budaya lokal Indonesia juga bisa menjadi trend, bukan hanya budaya modern saja. Terlebih lagi, budaya lokal Indonesia juga mengandung nilai-nilai kehidupan yang luar biasa di dalamnya.
Oleh karena itu, mari Kawan, kita menjaga budaya nasi bancakan yang istimewa ini dan tentu saja melestarikan kebudayaan lokal Indonesia lainnya yang juga tak kalah hebatnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News