Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota Jambi, masih banyak anak-anak yang berjuang untuk sekadar menikmati masa kecilnya dengan layak. Ada yang harus bekerja membantu orang tua, ada yang hidup dalam keterbatasan ekonomi, hingga ada pula yang jauh dari akses pendidikan dan kesehatan. Dari keresahan itulah, lahirlah sebuah program inspiratif bernama Ambung Harsa.
Ambung Harsa merupakan salah satu program dari Yayasan Keluarga Teman Kecil, yang didirikan pada Desember 2021. Sesuai dengan namanya, yayasan ini fokus pada pendampingan anak-anak, khususnya mereka yang berasal dari keluarga prasejahtera maupun komunitas marginal.
Tak lama setelah berdiri, tepatnya pada Februari 2022, yayasan ini mulai bergerak lebih jauh. Mereka tak hanya mendampingi anak-anak kurang mampu di perkotaan, tetapi juga terjun langsung ke pedalaman untuk menjangkau anak-anak rimba dari Suku Anak Dalam. Perjalanan ini tentu penuh tantangan, namun tekad untuk menghadirkan pendidikan, kesehatan, dan kasih sayang membuat langkah itu terus berlanjut.
“Ambung” dalam bahasa Jambi berarti wadah, sedangkan “Harsa” dalam bahasa Sanskerta berarti kebahagiaan. Ada pula makna lain yang mereka sematkan yakni Harapan Disabilitas. Nama ini menjadi simbol perjuangan untuk menciptakan ruang inklusif, di mana difabel tak lagi dipandang dengan kasihan, melainkan dengan penghargaan atas potensi yang mereka miliki.
Lahir dari Empati
Pelatihan Membaca Al-Quran Braille Ambung Harsa. Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi Achmad Noufal.
Perjalanan Ambung Harsa dimulai dari kegelisahan sederhana. Saat berkunjung ke sebuah Sekolah Luar Biasa (SLB), sang pendiri Achmad Noufal mendapati banyak anak tuna netra dan tuli tidak bisa membaca Al-Qur’an. Setelah ditelusuri, ternyata mushaf braille harganya mencapai Rp1,5 juta per eksemplar, dan tak ada guru khusus yang bisa mengajarkan.
“Di Jambi belum pernah ada silabus untuk mengaji bagi anak difabel,” ujarnya. Dari situlah lahir Taman Belajar Qur’an untuk tuna netra, yang kini sudah membina 26 murid, bahkan melahirkan 6 pengajar baru dari kalangan mereka sendiri. Program serupa juga berjalan untuk teman tuli, dengan kursus bahasa isyarat Arab dan rumah belajar yang kini sudah diikuti hampir 70 murid.
Kesadaran lain muncul ketika Achmad Noufal melihat banyak tuna netra mengamen dan mengemis di lampu merah. Mereka sebenarnya punya “sistem kerja” yang rapi dengan pembagian shift, tapi potensi itu belum diarahkan. Dari obrolan kecil dengan seorang tuna netra yang mengaku bisa memijat, lahirlah usaha sosial bernama "Jari Netra", layanan pijat profesional dengan sertifikasi resmi.
Usaha ini kini berusia lebih dari dua tahun, menjadi sumber penghidupan layak sekaligus kebanggaan.
Kini, Ambung Harsa bergerak dengan tiga pilar besar:
- Kewirausahaan, Mendampingi sekitar 25 difabel untuk membuka usaha sendiri, mulai dari pijat, kerajinan tangan, hingga kuliner. Mereka juga dibantu untuk mengurus sertifikasi halal dan legalitas usaha.
- Pendidikan, Pelatihan bahasa isyarat seminggu sekali, workshop inklusi di berbagai kafe, hingga kelas musik. Bahkan Ambung Harsa Band pernah tampil di beberapa acara pemerintah provinsi Jambi hingga pernah tampil bersama grup musik D'Masiv.
- Pelatihan & Akademi, Pelatihan membaca Al-Qur'an braille, pengembangan soft skill seperti public speaking, pelatihan bisnis, hingga kerja sama dengan Kementerian Sosial untuk membuka peluang usaha baru.
“Kami tidak ingin membuat panti, karena itu hanya membuat difabel pasif. Kami ingin mereka berdaya,” tegas Noufal.
Dari pemikiran itu, Ambung Harsa mengembangkan berbagai unit usaha dan pelatihan, termasuk membuka kafe inklusif di mana barista adalah difabel tanpa kaki, kasirnya tuna netra, dan pramusajinya teman tuli.
Tantangan dan Harapan
Ambung Harsa Band dan Unit Kewirausahaan Ambung Harsa. Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi.
Mendampingi difabel tentu bukan tanpa tantangan. Secara internal, banyak dari mereka adalah korban bully sehingga tidak percaya diri dan sulit bersosialisasi.
“Kadang mereka mulai dari minus tiga, bukan nol,” kata Noufal. Karena itu, pembinaan mental menjadi prioritas utama sebelum melatih keterampilan.
Secara eksternal, stigma masyarakat juga masih kuat. Ada pelanggan yang enggan dilayani pramusaji tuli atau meragukan barista difabel. Untuk itu, Ambung Harsa menekankan kualitas produk dan layanan agar orang melihat kemampuan, bukan kekurangan.
Meski begitu, dukungan perlahan hadir. Pemerintah daerah mulai melibatkan Ambung Harsa dalam diskusi kebijakan, hingga mengundang mereka memberi pelatihan bahasa isyarat untuk tenaga medis. Bahkan kini, Pemerintah kota Jambi tengah menyiapkan tempat untuk dijadikan Rumah Kebahagiaan yang lebih besar.
Perjalanan yang penuh ketulusan ini tak luput dari perhatian publik. Ahmad Noufal dan Ambung Harsa meraih penghargaan bergengsi SATU Indonesia Awards Tahun 2024. Penghargaan ini bukan hanya bentuk apresiasi, tetapi juga sangat membantu Ambung Harsa untuk semakin dikenal luas, membuka kolaborasi, serta memperluas dampak program.
Bagi Ahmad Noufal, Ambung Harsa adalah wujud janji masa kecil yang pernah merasakan hidup dalam kesusahan.
“Sejak itu saya bertekad, kalau suatu hari Allah beri rezeki lebih, saya tidak akan membiarkan orang lain merasakan seperti saya dulu,” tuturnya.
Janji itu kini menjelma nyata dalam sebuah ruang kecil bernama Ambung Harsa, wadah yang menyalakan cahaya kebahagiaan bagi ratusan sahabat difabel di Jambi.
Hingga kini, Ambung Harsa terus bergerak dengan semangat yang sama, menghadirkan inovasi demi keberlanjutan, dan membuktikan bahwa keterbatasan tak pernah menjadi penghalang untuk berkarya dan berdaya.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News