Kawan GNFI mungkin pernah mendengar kalimat "setiap tempat adalah sekolah", sebuah ungkapan yang penuh makna: belajar bisa dilakukan dimana saja, tidak terbatas ruang dan waktu.
Kalimat sederhana itu menjadi dasar berdirinya Sekolah Pesisi Juang, sebuah sekolah non-formal di pesisir Pantai Bintaro, Pulau Lombok, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat yang berfokus memberikan pendidikan bagi anak-anak nelayan.
Sekolah ini lahir dari kegelisahan seorang pemuda bernama Jauhari Tantowi, bersama tujuh orang temannya, di tengah masa pandemi COVID-19 pada 2020 lalu.
Saat itu, Jauhari melihat banyak anak nelayan harus menyewa handphone untuk mengikuti kelas online. Tak sedikit pula yang akhirnya tertinggal karena tidak mampu mengakses pembelajaran daring.
Melihat kondisi itu, Jauhari bersama tujuh rekannya merasa tidak bisa tinggal diam. Mereka melihat bagaimana akses pendidikan yang seharusnya merata, justru semakin timpang. Dari kegelisahan itu, tercetuslah ide untuk mendirikan sebuah sekolah non-formal bagi anak-anak nelayan.
Awalnya, kegiatan belajar rutin dilakukan tiga kali seminggu di rumah warga di tepi pantai. Anak-anak berkumpul, belajar membaca, menulis, berhitung, sekaligus mendapatkan pendampingan karakter. Hingga pada 2023, berkat dukungan donatur, Sekolah Pesisi Juang akhirnya memiliki gedung belajar sendiri.
Program dan Metode Belajar
Metode Belajar Sekolah Pesisi Juang. Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi.
Sekolah Pesisi Juang tidak hanya sekadar tempat belajar. Lebih dari itu, sekolah ini menjadi ruang tumbuh, berbagi, sekaligus rumah bagi anak-anak nelayan. Program yang dijalankan meliputi:
- Pemberian beasiswa untuk anak-anak nelayan
- Bantuan perlengkapan sekolah
- Kegiatan clean up sebagai wujud kepedulian terhadap lingkungan pesisir
- Pelatihan kerajinan yang menumbuhkan kreativitas
Metode belajar yang diterapkan pun berbeda. Sekolah ini menggunakan pendekatan humanis partisipatif, di mana anak-anak dilibatkan secara aktif dalam proses belajar. Para relawan, seperti mahasiswa dari NTB maupun luar daerah atau komunitas juga turut berperan penting.
Kehadiran relawan ini bukan hanya untuk mengajar, tetapi juga melatih kemampuan anak-anak dalam berkomunikasi, berdiskusi, dan bersosialisasi. Dengan begitu, wawasan mereka terbuka bahwa pendidikan tinggi bukan lagi mimpi yang terlalu jauh, melainkan sesuatu yang bisa diraih.
Tantangan di Awal Perjalanan
Sekolah Pesisi Juang. Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi.
Perjalanan tentu tidak mulus. Pada awal berdiri, Jauhari dan tim harus berjuang keras untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Banyak orang tua yang masih ragu, bahkan belum menyadari betapa pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka.
Untuk menunjukkan keseriusan, tim Sekolah Pesisi Juang melakukan berbagai aksi nyata. Mereka ikut menyalurkan sembako setiap bulan, menurunkan bantuan ketika bencana alam melanda, hingga membangunkan rumah sederhana untuk korban banjir. Tak berhenti di situ, mereka juga memberikan advokasi ketika terjadi pelanggaran, seperti kasus tabrakan kapal di laut.
Dari sisi materi, sekolah ini bertahan dengan dana kolektif dan swadaya. Meski serba terbatas, semangat mereka tidak pernah surut. Perlahan, masyarakat mulai sadar bahwa Sekolah Pesisi Juang benar-benar hadir untuk anak-anak mereka.
Perubahan pun mulai terlihat. Orang tua bercerita, anak mereka kini lebih berani berbicara dengan orang lain, lebih komunikatif, dan mampu berpikir kritis. Anak-anak yang dulunya pemalu, kini berani mengangkat tangan, mengemukakan pendapat, bahkan bermimpi lebih besar.
Penghargaan dan Mimpi ke Depan
Sekolah Pesisi Juang. Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi.
Ketekunan dan komitmen mengelola Sekola Pesisi Juang berbuah apresiasi. Jauhari Tantowi terpilih sebagai penerima Satu Indonesia Awards 2024 di bidang pendidikan, sebuah penghargaan bergengsi yang diberikan kepada para penggerak perubahan di Indonesia.
Ia mengaku tidak pernah menyangka akan terpilih, mengingat banyak komunitas lain yang juga mendaftar. Namun, hal ini sekaligus menjadi pengakuan bahwa apa yang mereka lakukan benar-benar memberi dampak nyata.
Selain mengajar, Jauhari dan tim terus memikirkan inovasi. Salah satunya adalah mengembangkan sektor pariwisata berbasis kearifan lokal.
Mereka berencana membuka walking tour bagi wisatawan untuk melihat sejarah kampung nelayan, aktivitas warga, hingga kegiatan anak-anak di sekolah.
Selain itu, mereka ingin membangun ekonomi kolektif nelayan, agar keluarga pesisir memiliki penghasilan yang lebih stabil. Dengan ekonomi yang kuat, anak-anak nelayan bisa terus bersekolah tanpa khawatir putus di tengah jalan.
Ada pula mimpi besar lainnya yaitu memiliki lahan sekolah yang lebih luas dan sebuah ambulans, agar masyarakat pesisir bisa mengakses layanan kesehatan yang layak di kota.
“Mungkin kita tidak bisa menyelamatkan orang tua mereka, tapi kita bisa menyelamatkan anak-anak mereka,” tutupnya.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News