Sekitar 18 km sudut barat dari hiruk pikuk pusat Kota Surabaya, kiloan kedelai diproses hampir setiap harinya sejak 1983 silam. Tangan-tangan terampil mengolah bahan baku menjadi olahan makanan dan ditemani aroma kedelai yang menyeruak dari proses perebusan. Mayoritas warga Kampung Sukomanunggal yang termasuk dalam wilayah administratif Kelurahan Sukomanunggal, Kecamatan Sukomanunggal, Surabaya menekuni profesi sebagai pengrajin tempe.
Telah menjadi tradisi yang diwariskan secara turun temurun ke anak cucu, pengrajin tempe Sukomanunggal saat ini memasuki generasi ketiga. Meskipun memiliki harga relatif murah, olahan dari kedelai ini mampu menopang perekonomian masyarakat, bahkan menjadi ikon sebuah wilayah. Oleh karena itu, wilayah industri tempe di Kota Pahlawan ini dijuluki sebagai Kampung Tempe Sukomanunggal.
Tidak hanya tempe, para pengrajin juga melakukan eksperimen sederhana dengan memproduksi olahan kedelai lainnya yaitu keripik tempe. Dilansir dari surabaya.go.id, inovasi ini lahir sejak tahun 2010 yang diinisiasi oleh Pak Markut, kemudian lahir pengrajin-pengrajin keripik tempe lainnya seiring berjalan waktu.
Sensasi renyah dan gurih keripik ditawarkan dengan varian rasa original, pedas gurih, dan pedas asin yang dibuat menggunakan kedelai berkualitas tanpa bahan pengawet, aman dari bahan-bahan berbahaya, dan dijamin halal. Produk tempe dan keripik tempe ini dipasarkan di sekitar kampung dan lambat laun menarik minat masyarakat Surabaya, bahkan sampai ke Semarang, Yogyakarta, Denpasar, dan Kalimantan.
Perjalanan memang tidak selalu mulus, begitu lah yang dihadapi oleh para pengrajin tempe Sukomanunggal beberapa tahun lalu. Dilansir dari liputan6.com, produk keripik tempe saat itu belum memiliki daya saing tinggi di pasar regional karena pengemasannya kurang eye catching. Selain itu, pemasaran masih sangat konvensional dengan mengandalkan penitipan dari warung ke warung. Padahal, keripik tempe Sukomanunggal menawarkan bumbu khas yang kuat dari bahan-bahan alami.
Hambatan tersebut diupayakan oleh sekelompok mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Melalui tangan-tangan dan kolaborasi pemikiran terampil yang dituangkan dalam bentuk pendampingan pengemasan dan pemasaran produk, keripik tempe Sukomanunggal berhasil dikenal luas sampai ke luar kota.
Tidak hanya sebagai pendamping nasi, tempe juga menjadi camilan dengan kandungan protein yang baik bagi tubuh. Dilansir dari goodstats.id, tempe mengandung 33,7 gram protein dan hampir setara dengan kandungan protein natto yang berasal dari Jepang sebesar 34 gram.
Di kancah dunia, tempe goreng menyabet gelar hidangan vegan terlezat di posisi keenam versi TasteAtlas tahun 2023. Bahkan, mampu mengalahkan hidangan populer ala Italia yaitu spaghetti aglio e olio. Capaian ini menunjukkan, kuliner lokal mampu bersaing secara global dari segi rasa maupun kandungan gizinya.
Segudang kelebihan dari olahan kedelai yang difermentasi ini menunjukkan satu lagi kekayaan kuliner dalam negeri. Meskipun terkesan makanan sederhana, tempe merupakan pendamping kisah hidup antar generasi bagi warga Sukomanunggal, Surabaya. Mulai dari tradisi yang turun temurun sampai lahirnya inovasi-inovasi baru guna menjaga warisan berharga tersebut tidak lekang oleh zaman.
Sampai saat ini, aktivitas di lorong-lorong Kampung Tempe Sukomanunggal tidak pernah padam. Setiap harinya dari ufuk terbit sampai senja menyapa, terlihat kesibukan masyarakat setempat mencuci, merendam, merebus, mengupas kulit ari, dan meniriskan kedelai, melumuri dengan ragi, mengemas tempe, sampai mengiris tempe yang sudah jadi secara tipis untuk diolah menjadi keripik.
Kampung Tempe Sukomanunggal bukan sekadar daerah penghasil tempe, melainkan sebuah bukti bahwa dari lorong kecil kota metropolitan Surabaya telah melahirkan produk berkualitas yang mampu menembus di tengah-tengah era modern.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News