Presiden Prabowo baru saja melakukan reshuffle di Kabinet Merah Putih, Senin (8/9/2025) lalu. Perombakan ini menyasar lima menteri di lima kementerian berbeda.
Menariknya, walaupun belum setahun menjabat, Presiden sudah melakukan dua kali reshuffle di kabinetnya. Pergantian pertama dilakukan pada 19 Februari 2025. Saat itu, Prabowo mengganti Satryo Soemantri Brodjonegoro dari jabatannya sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi.
Pada reshuffle kedua, lima menteri yang diganti adalah Budi Gunawan (Menko Bidang Politik dan Keamanan), Dito Ariotedjo (Menteri Pemuda dan Olahraga), Sri Mulyani (Menteri Keuangan), Abdul Kadir Karding (Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia), dan Budi Arie (Menteri Koperasi).
Selain itu, Prabowo juga resmi mengangkat Menteri dan Wakil Menteri Kementerian Haji dan Umrah. Posisi itu kini diisi oleh M. Irfan Yusuf sebagai Menteri Haji dan Dahil Anzar Simanjutak sebagai wakilnya.
Keputusan untuk merombak ‘pembantu’ presiden itu dinilai Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Tunjung Sulaksono, S.IP., M.Si., sebagai langkah strategis untuk menjawab ketidakpuasan rakyat.
Reshuffle sebagai Upaya Pulihkan Kepercayaan Publik
Dalam keterangannya di UMY, pergantian menteri dinilai Tunjung dapat meredam tensi politik dan meredam stabilitas. Menurutnya, reshuffle berfungsi sebagai katup pengaman untuk mengurangi ketegangan politik.
Lewat pergantian menteri-menteri yang dianggap bermasalah atau menuai polemik di mata rakyat, pemerintah seakan menunjukkan keseriusan mereka untuk mendengarkan aspirasi rakyat. Ia juga mengutip pernyataan Menteri Sekretaris Negara yang menyatakan bahwa salah satu pertimbangan perombakan tersebut adalah demonstrasi pada akhir Agustus 2025 lalu.
Di sisi lain, Tunjung berpendapat jika reshuffle bisa dilihat sebagai momentum untuk memulihkan optimisme rakyat. Menteri baru yang dapat menawarkan kebijakan pro-rakyat, berkeadilan, dan solutif, diharapkan bisa memicu harapan baru bagi masyarakat.
Tak hanya itu, legitimasi politik dinilai juga akan kembali terbangun dengan dilakukannya reshuffle tersebut. Belakangan, kepercayaan masyarakat pada pemerintah memang menurun drastis. Harapannya, pergantian dapat menjadi investasi politik yang berharga untuk pemerintah.
“Reshuffle ini mengirim pesan bahwa Presiden Prabowo serius melakukan perbaikan sesuai aspirasi rakyat,” ujarnya.
Akan tetapi, Tunjung mengatakan, reshuffle saja belum cukup untuk menjawab kekecewaan rakyat pada pemerintah. Ia meminta para menteri untuk segera mengambil langkah strategis untuk membuktikan keberpihakan mereka pada masyarakat.
Ia juga menyarankan agar para menteri untuk membuat program quick wins dalam 100 hari kerja pertama mereka, utamanya di bidang ekonomi dan ketenagakerjaan. Tak ketinggalan, Tunjung meminta para menteri untuk menghindari pernyataan kontroversial yang memicu kegaduhan.
Reshuffle untuk Hindari ‘Ketergantungan’ pada Tokoh Tertentu
Senada dengan keterangan Tunjung, Dosen Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (UMSIDA), Dr. Sufyanto, M.Si., juga menerangkan bahwa reshuffle adalah hal yang wajar dan sah secara konstitusional. Perombakan menteri adalah hak konstitusional presiden.
Ia menyoroti pentingnya menghindari ketergantungan negara pada tokoh atau individu tertentu. Pergantian menteri diperlukan agar tidak terjadi konsentrasi kekuasaan yang berlebihan.
“Negara tidak boleh bergantung pada satu orang. Kalau ada yang tidak cocok, wajar saja diganti. Yang penting kepercayaan publik tetap dijaga,” jelasnya mengutip dari laman umsida.ac.id.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News