Menurut laporan ResumeBuilder pada Agustus 2025, sekitar 45% pekerja penuh waktu di Amerika Serikat mengaku sedang melakukan job hugging. Angka ini cukup besar untuk menunjukkan fakta bahwa job hugging bukan hanya kasus individual belaka, melainkan tren sosial, sebagaimana krisis seperempat abad (quarter life crisis).
Secara harfiah, job hugging berarti “memeluk pekerjaan.” Job hugging adalah kondisi seseorang memilih tetap bertahan di pekerjaan sekarang bukan karena tumbuh, berkembang, atau terinspirasi; tapi karena ketidakpastian situasi di luar.
Job hugging adalah semacam kompromi. Orang tetap bekerja, tetapi dengan perasaan ragu, seakan-akan tengah “memeluk” posisi yang tidak lagi nyaman, disebabkan oleh ketakutan pada situasi dunia di luar, misalnya kesulitan mencari pekerjaan.
Job hugging berbeda dari job hopping atau loncat kerja, yang berarti berpindah kerja dengan cepat demi mengejar pengalaman atau kenaikan gaji.
Amerika Serikat pernah mengalami puncak Great Resignation pada 2021–2022, ketika setiap bulan, jutaan pekerja memilih keluar dari pekerjaan mereka. Pada November 2021, jumlah pekerja yang melayangkan surat pengunduran diri mencapai sekitar 4,5 juta orang. Jumlah itu meningkat menjadi 50 juta pada tahun 2022.
Akan tetapi, angka pengunduran diri mulai menunjukkan tren penurunan pada periode 2023 hingga 2025. Misalnya, pada pertengahan 2023, jumlah pekerja yang resign bulanan berkisar di angka 3,5 juta. Angka ini terus melandai hingga tingkat pengunduran diri (quits rate) konsisten di angka 2% dari total tenaga kerja pada 2025.
Mengapa Job Hugging Marak?
Ada alasan kuat mengapa job hugging kian marak. Inflasi dan ketidakpastian ekonomi membuat banyak orang berpikir dua kali untuk meninggalkan pekerjaan. Selain itu, hadirnya kecerdasan buatan dan otomasi membuat para pekerja cemas dan mempertanyakan, bagaimana jika keterampilan yang dimiliki tidak lagi relevan?
“77% khawatir bahwa kecerdasan buatan akan membuat perolehan pekerjaan baru menjadi lebih sulit di masa mendatang,” tulis aseonline.org.
Artikel The Week juga mengungkapkan beberapa alasan maraknya fenomena job hugging, salah satunya tentang keuntungan finansial dari berpindah kerja. Dulu, minat berpindah perusahaan cukup tinggi. Strategi semacam itu kerap dilakukan agar para pekerja bisa melakukan negosiasi dan meminta tawaran lebih ke tempat baru.
Akan tetapi, trik semacam itu kini tidak lagi menarik bagi para job hopper. Sebab, di lapangan, tawaran gaji saat berpindah pekerjaan tidak selalu lebih tinggi. Benefit yang diberikan kerap serupa atau bahkan bisa saja lebih rendah, sehingga risiko saat pindah terasa lebih besar daripada manfaatnya.
Bagi sebagian orang, bertahan juga menjadi cara untuk menjaga kesehatan mental. Para pekerja tetap di zona yang familiar. Meski tidak ideal, kondisi tersebut terasa lebih aman dibandingkan memulai dari awal di tempat baru.
Sebagaimana laporan Firstpost (2025), penyebab utama job hugging adalah kombinasi dari pasar tenaga kerja, inflasi yang membuat biaya hidup meningkat, serta kekhawatiran terhadap masa depan pekerjaan akibat AI. Dengan kondisi seperti itu, banyak pekerja merasa lebih aman tetap berada di tempat sekarang daripada mengambil risiko pindah ke posisi baru yang belum tentu menjanjikan stabilitas serupa.
"Tidak ada yang ingin keluar kecuali mereka sangat tidak bahagia atau sengsara dengan pekerjaan mereka atau hanya merasa sangat tidak nyaman dengan perusahaan,” kata konsultan pengelola Korn Ferry, Stacy DeCesaro, kepada Fortune.
Bagaimana Dampaknya Bagi Perusahaan?
Fenomena job hugging rupanya tidak hanya berdampak pada individu. Perusahaan pun ikut merasakan. Pekerja yang job hugging cenderung bertahan tanpa gairah, yang artinya kreativitas, inovasi, dan energi kerja bisa menurun.
Pekerja yang memilih bertahan semata-mata demi keamanan finansial, meski sudah kehilangan keterikatan emosional dengan pekerjaannya. Mereka cenderung hadir secara fisik namun absen secara psikologis.
Kondisi ini kerap disebut sebagai presenteeism, yakni kondisi ketika karyawan tetap bekerja tetapi produktivitasnya rendah karena minim motivasi. Hal ini menyebabkan lingkungan kantor terasa stagnan, meski tingkat turnover rendah.
HR Morning bahkan menyebutkan bahwa organisasi dengan banyak pekerja job hugging berisiko kehilangan daya saing karena ide-ide segar tidak lagi tumbuh dengan maksimal.
Apakah Job Hugging adalah Belenggu?
Job hugging tidak selalu harus dipandang negatif. Bagi sebagian orang, job hugging bisa menjadi fase bertahan sambil menyiapkan diri. Beberapa pekerja menggunakan masa ini untuk belajar keterampilan baru, menyiapkan tabungan darurat, hingga memperluas jaringan profesional.
Dengan cara ini, job hugging menjadi strategi transisi seseorang untuk bertahan di satu titik sambil menguatkan pondasi untuk transformasi di masa depan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News