kabinet kabinet pada masa demokrasi liberal di indonesia mulai dari natsir hingga juanda - News | Good News From Indonesia 2025

Kabinet-Kabinet pada Masa Demokrasi Liberal di Indonesia, Mulai dari Natsir hingga Juanda

Kabinet-Kabinet pada Masa Demokrasi Liberal di Indonesia, Mulai dari Natsir hingga Juanda
images info

Kabinet-Kabinet pada Masa Demokrasi Liberal di Indonesia, Mulai dari Natsir hingga Juanda


Periode antara 17 Agustus 1950 hingga 5 Juli 1959 merupakan sebuah babak penting sekaligus penuh gejolak dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Dikenal sebagai era Demokrasi Liberal atau Demokrasi Parlementer, masa ini ditandai oleh eksperimen sistem politik multipartai yang dinamis tapi juga rapuh.

Selama kurun waktu kurang lebih sembilan tahun, Indonesia mengalami pergantian kabinet sebanyak tujuh kali, sebuah bukti nyata dari ketidakstabilan politik yang parah pada saat itu, serta dinamika politik yang terjadi.

Pengertian dan Landasan Demokrasi Liberal di Indonesia

Mengutip dari Jurnal Historia berjudul "SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL TAHUN 1950-1959" yang ditulis oleh Johan Setiawan di Universitas Negeri Yogyakarta, menjelaskan bahwa demokrasi Liberal di Indonesia dijalankan berlandaskan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.

Konstitusi ini mengadopsi sistem pemerintahan parlementer, di mana kabinet yang dipimpin oleh seorang perdana menteri bertanggung jawab langsung kepada parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bukan kepada presiden.

Dalam sistem ini, Presiden Soekarno hanya berkedudukan sebagai kepala negara simbolis dan tidak dapat diganggu gugat, sementara kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri beserta jajaran menterinya.

Ciri utama dari era ini adalah diterapkannya sistem multipartai, yang mendorong lahirnya banyak partai politik dengan beragam ideologi. Partai-partai inilah yang kemudian berebut pengaruh di parlemen untuk membentuk pemerintahan. Namun, fragmentasi kekuatan politik ini justru menjadi bumerang.

Tidak ada satu pun partai yang cukup dominan untuk membentuk kabinet yang kuat dan tahan lama. Akibatnya, kabinet sering kali jatuh di tengah jalan akibat mosi tidak percaya dari parlemen, yang pada akhirnya menciptakan ketidakstabilan politik, ekonomi, dan keamanan secara nasional.

Silih Berganti Kabinet di Panggung Politik

Selama periode 1950-1959, tercatat ada tujuh kabinet yang memimpin roda pemerintahan. Setiap kabinet memiliki program kerja, tantangan, dan akhir riwayatnya masing-masing.

1. Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951)

Kabinet pertama di era Demokrasi Liberal ini dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir dari Partai Masyumi. Program kerja utamanya adalah mempersiapkan pemilihan umum untuk Konstituante, memulihkan keamanan, menyelesaikan masalah Irian Barat, dan memajukan perekonomian rakyat.

Namun, kabinet ini goyah karena dianggap gagal dalam perundingan Irian Barat dengan Belanda. Puncaknya adalah munculnya mosi tidak percaya dari Hadikusumo (PNI) terkait peraturan pembentukan DPRD yang dianggap hanya menguntungkan Masyumi. Mosi ini diterima parlemen, dan Natsir pun mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.

2. Kabinet Sukiman (April 1951-April 1952)

Kabinet ini merupakan koalisi antara Masyumi dan PNI, dipimpin oleh Sukiman Wirjosandjojo (Masyumi). Programnya antara lain menjamin keamanan, mengusahakan kemakmuran, dan menjalankan politik luar negeri bebas aktif untuk memasukkan Irian Barat ke wilayah RI.

Kabinet Sukiman jatuh setelah dituding melanggar prinsip politik bebas aktif. Penyebabnya adalah penandatanganan perjanjian bantuan ekonomi dan persenjataan dengan Amerika Serikat melalui Mutual Security Act (MSA), yang dinilai membuat Indonesia lebih condong ke Blok Barat. Selain itu, kabinet ini juga dianggap lamban menangani pemberontakan di berbagai daerah.

3. Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953)

Dipimpin oleh Mr. Wilopo dari PNI, kabinet ini berusaha menjalankan program penyelenggaraan pemilu, peningkatan kemakmuran rakyat, dan pembebasan Irian Barat. Kabinet ini juga berupaya menghapus perjanjian MSA yang dibuat kabinet sebelumnya.

Sayangnya, Kabinet Wilopo juga harus berakhir karena mosi tidak percaya. Penyebab utamanya adalah dianggap gagal menangani pergolakan daerah di Sumatra dan Sulawesi yang dipicu oleh ketidakpuasan atas alokasi keuangan dari pemerintah pusat.

4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Agustus 1955)

Kabinet yang dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo (PNI) ini memiliki salah satu prestasi gemilang, yaitu berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada April 1955. Konferensi ini sukses mengangkat citra Indonesia di panggung internasional. Namun, di dalam negeri, kabinet ini menghadapi masalah serius.

Keadaan ekonomi yang kian memburuk, korupsi, dan konflik antara PNI dan NU (Nahdlatul Ulama) membuat NU menarik menteri-menterinya dari kabinet. Akibatnya, Kabinet Ali I pun jatuh sebelum sempat melaksanakan pemilu yang telah direncanakan.

5. Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956)

Prioritas utama kabinet yang dipimpin oleh Burhanuddin Harahap dari Masyumi ini adalah melaksanakan agenda yang tertunda dari kabinet-kabinet sebelumnya, yakni pemilihan umum. Kabinet ini berhasil menyelenggarakan Pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955 untuk memilih anggota DPR (29 September) dan anggota Konstituante (15 Desember).

Ironisnya, hasil pemilu yang memunculkan empat kekuatan besar (PNI, Masyumi, NU, dan PKI) ternyata tidak memuaskan pihak manapun. Tidak ada partai yang meraih mayoritas mutlak, sehingga banyak partai menarik dukungan dan memaksa kabinet ini mengembalikan mandatnya.

6. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Maret 1956 - Maret 1957)

Kabinet ini merupakan koalisi tiga partai besar hasil pemilu: PNI, Masyumi, dan NU. Program utamanya adalah pembatalan seluruh hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) dan melanjutkan perjuangan Irian Barat.

Namun, kabinet ini kembali berusia pendek karena perpecahan internal dan adanya oposisi dari Presiden Soekarno yang menghendaki pembentukan "kabinet berkaki empat" dengan mengikutsertakan PKI. Peristiwa penting lainnya pada masa ini adalah pengunduran diri Wakil Presiden Mohammad Hatta karena perbedaan pandangan politik dengan Presiden Soekarno.

7. Kabinet Djuanda (April 1957-Juli 1959)

Setelah formatur sebelumnya gagal, Presiden Soekarno menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur dan membentuk Kabinet Karya yang bersifat darurat ekstra parlementer, dengan Ir. Djuanda sebagai Perdana Menteri. Kabinet ini diisi oleh para ahli (zaken kabinet) dan bukan berasal dari partai politik.

Di tengah masa baktinya, kabinet ini harus menghadapi pergolakan daerah yang hebat seperti pemberontakan PRRI dan Permesta, yang dipicu oleh kekecewaan daerah terhadap pemerintah pusat.

Akhir dari Era Demokrasi Liberal

Puncak dari krisis politik yang berkepanjangan terjadi ketika Konstituante sebagai badan yang dipilih melalui Pemilu 1955 dengan tugas utama menyusun UUD baru pengganti UUDS 1950, kemudian dianggap gagal total dalam menjalankan tugasnya setelah bertahun-tahun bersidang tanpa hasil.

Kebuntuan politik ini, ditambah dengan kondisi keamanan yang terus memburuk, mendorong Presiden Soekarno untuk mengambil langkah tegas.

Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah Dekret Presiden. Dekret ini membubarkan Konstituante, menyatakan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, dan memberlakukan kembali UUD 1945.

Dekret inilah yang secara resmi mengakhiri era Demokrasi Liberal di Indonesia dan menjadi gerbang masuk menuju periode baru yang disebut Demokrasi Terpimpin, di mana kekuasaan presiden menjadi jauh lebih dominan.

Jatuh bangunnya tujuh kabinet dalam waktu singkat menjadi pelajaran sejarah yang mahal tentang pencarian sistem demokrasi yang paling sesuai untuk Indonesia pada masa itu.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MS
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.