Banyak orang menganggap bahwa makanan sehat harus sepenuhnya diserap oleh tubuh. Padahal, ada komponen penting yang justru bekerja karena tidak tecerna, yaitu serat.
Serat memang tidak dapat dicerna, tetapi justru itulah yang membuatnya berperan penting dalam melancarkan pencernaan sekaligus melindungi tubuh dari berbagai penyakit.
Serat pangan merupakan bagian dari bahan makanan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan. Sebagaimana dijelaskan dalam penelitian Santoso (2011), secara ilmiah, serat pangan didefinisikan sebagai sisa dinding sel tumbuhan yang tidak terhidrolisis atau tecerna oleh enzim pencernaan manusia, meliputi hemiselulosa, selulosa, lignin, oligosakarida, pektin, gum, dan lapisan lilin.
Menurut Sinulingga (2020), serat pangan terbagi menjadi dua jenis berdasarkan kelarutannya dalam air, yaitu serat larut (soluble fiber) dan serat tidak larut (insoluble fiber).
Serat larut dapat larut dalam air, melewati usus halus dengan mudah, serta difermentasi oleh mikroflora di usus besar. Contohnya adalah pektin, gum, dan beberapa jenis hemiselulosa.
Sebaliknya, serat tidak larut tidak dapat larut dalam air, tetapi berperan penting dalam menambah massa feses (tinja) serta memperlancar proses buang air besar.
Kedua jenis serat ini merupakan bagian integral dari bahan pangan sehari-hari, dengan sumber utama berasal dari tanaman, sayuran, sereal, buah-buahan, dan kacang-kacangan.
Maka dari itu, serat pangan tidak dapat dicerna oleh sistem pencernaan manusia. Menurut Rantika dan Rusdiana (2018), serat pangan yang terdapat pada buah dan sayuran merupakan polisakarida dan polimer lain yang tidak dapat dicerna oleh sistem pencernaan bagian atas manusia. Namun, beberapa komponennya dapat difermentasi oleh mikroflora di dalam usus besar sehingga menghasilkan produk yang bermanfaat bagi kesehatan.
Tubuh manusia memang tidak memiliki enzim selulase yang berfungsi untuk memecah serat. Ini berbeda dengan hewan pemakan tumbuhan seperti sapi, kambing, dan kuda yang memiliki enzim tersebut melalui kerja mikroorganisme dalam saluran pencernaannya sehingga mereka mampu mencerna serat dengan baik.
Meskipun tidak bisa dicerna, serat tetap memberikan manfaat besar bagi manusia. Claudina et al., (2018) menjelaskan bahwa serat makanan tidak dapat diuraikan oleh enzim pencernaan, tetapi bakteri kolon di dalam usus besar mampu memfermentasinya menjadi komponen yang berguna.
Serat juga memiliki kemampuan mengikat air di dalam usus besar sehingga membuat volume feses lebih besar, merangsang saraf rektum, dan menimbulkan rasa ingin buang air besar. Jika asupan serat rendah, volume feses berkurang dan dapat menyebabkan kesulitan buang air besar. Lebih jauh lagi, konsumsi serat yang cukup dapat membantu mengurangi risiko konstipasi, kanker kolon, hingga obesitas.
Tidak hanya itu, makanan tinggi serat, terutama sereal dan biji-bijian, juga dapat membantu menjaga atau mengurangi berat badan. Mekanismenya adalah dengan menekan nafsu makan, mengurangi asupan kalori, menurunkan absorbsi makronutrien, memperlambat laju pencernaan pati, sekaligus menstimulasi pelepasan hormon pencernaan.
Serat larut bahkan lebih efektif dalam menurunkan konsentrasi kolesterol total dibandingkan serat tidak larut. Penurunan ini terjadi melalui mekanisme fermentasi serat larut air oleh mikroflora usus halus, yang kemudian memodifikasi produksi asam lemak rantai pendek dengan cara menurunkan kadar asetat dan meningkatkan sintesis propionat. Hasilnya, kadar kolesterol dalam darah dapat ditekan sehingga membantu menjaga kesehatan jantung.
Untuk itu, menjaga kecukupan konsumsi serat sangatlah penting. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan setiap orang mengonsumsi buah dan sayuran sebanyak 400 gram per hari, dengan rincian sekitar 250 gram dari sayuran dan 150 gram dari buah.
Sementara itu, Kementerian Kesehatan RI, melalui Angka Kecukupan Gizi (2019), merekomendasikan asupan serat harian sebesar 30–32 gram untuk perempuan dewasa dan 36–37 gram untuk laki-laki dewasa berusia 19–49 tahun. Kebutuhan ini akan menurun seiring dengan bertambahnya usia.
Contoh makanan tinggi serat yang mudah dijumpai sehari-hari antara lain bayam, brokoli, wortel, dan kangkung dari kelompok sayuran, serta pepaya, apel, pir, dan pisang dari kelompok buah-buahan.
Sumber serat lain yang juga baik untuk kesehatan adalah kacang merah, kedelai, kacang tanah, serta biji-bijian utuh seperti oatmeal, beras merah, dan jagung.
Dengan kata lain, meskipun tidak tercerna, serat tetap menjadi bagian penting dari pola makan sehat yang tidak boleh diabaikan.
Referensi:
- Rantika, N., & Rusdiana, T. (2018). Artikel Tinjauan: Penggunaan Dan Pengembangan Dietary Fiber. Farmaka, 16(2), 152-165.
- Sinulingga, B. O. (2020). Pengaruh konsumsi serat dalam menurunkan kadar kolesterol. Jurnal Penelitian Sains, 22(1), 9-15.
- Santoso, A. (2011). Serat pangan (dietary fiber) dan manfaatnya bagi kesehatan. Magistra, 23(75), 35-40.
- World Health Organization. (2020). Healthy diet.
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2019). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2019 tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
- Claudina, I., Pangestuti, D. R., & Kartini, A. (2018). Hubungan asupan serat makanan dan caran dengan kejadian konstipasi fungsional pada remaja di SMA Kesatrian I Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (Undip), 6(1), 486-495.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News