Di tengah hiruk pikuk kehidupan di kota Ansan, Korea Selatan, aroma cilok khas Indonesia yang gurih nan sedap hangat menyapa para pejalan kaki yang lewat. Bukan dari sebuah restoran mewah maupun kedai makan. Bau enak itu datang dari sebuah sepeda yang bagian belakang di taruh sebuah kotak yang berisikin cilok, persi seperti tukang cilok di Indonesia.
"Cilok Hengnim" sebuah nama yang menjadikan identitas jualannya. Hengnim adalah seorang pria asli Korea Selatan yang menikah dengan wanita dari Indonesia. Pada awalnya, ia membuat cilok hanya untuk mengobati rasa rindu dengan jajanan khas Indonesia itu.
Namun, siapa sangka dari rasa rindu memunculkan ide bisnis? Tak hanya itu, di setiap tusukan cilok rasanya seperti menggabungkan kebudayaan Korea Selatan dengan Indonesia.
Produknya dijual dengan harga 10 ribu Won per porsi, jika dirupiahkan kurang lebih 116 ribu. Cilok buatan Hengnim terbilang cukup terjangkau di tengah harga makanan jalanan Korea yang lebih tinggi dari itu.
Harga ini juga bukan hanya strategi bisnis saja, tetapi dapat dijadikan simbol bahwa cita rasa Indonesia dapat dinikmati siapapun tanpa batas kelas sosial.
Hanya menggunakan sepeda sederhana, Hengnim menjajakan dagangan ciloknya di kota Ansan, kota yang terkenal banyak diaspora asal Indonesia yang mendiam di kota tersebut. Setiap kali Hengnim lewat dan membuka kotak jualannya, wanginya menyerbak di setiap jalan yang ia lewati.
Hengnim memang sengaja mendesain jualannya sama persis seperti pedagang yang berjualan di Indonesia. Dengan demikian, dapat mengobati rindu para diaspora Indonesia akan jajanan khas Jawa Barat tersebut.
Apa yang dilakukan cilok Hengnim ini ternyata bukan yang sekadar berdagang saja, tanpa disadari ia sedang melakukan praktik kecil gastrodiplomacy atau diplomasi yang menjadikan makan sebagai penghubungnya.
Lewat dari dagangan kecilnya, warga Korea dapat merasakan citra rasa khas Indonesia lewat jajanan yang ia jual, sekaligus memperat hubungan emosional diaspora Indonesia mengenai makanan khas asal tanah airnya.
Diplomasi yang Datang dari Dapur Sederhana
Gastrodiplomacy biasanyadilakukan oleh sebuah negara lewat festival kuliner ataupun dari promosi pariwisata. Namun, kisah cilok Hengnim ini menunjukan bahwa diplomasi bisa lahir dari hal sederhana, seperti kerinduan akan tanah air yang tulus.
Sepeda yang ia kayuh, bumbu yang ia racik, dan senyuman yang ia berikan kepada setiap pembeli menjadi bagian kecil dalam memperkenalkan kuliner Indonesia dengan hangat di Korea.
Dari tepung yang diuleni, hingga saus kecap dan tusukan yang disajikan, semuanya membawa pesan bahwa budaya Indonesia bisa hadir di mana saja, bahkan di sudut kota di Korea Selatan.
Melalu ciloknya, Indonesia tidak hanya di kenal sebagai negeri yang ragam rempah, tetapi juga sebagai negeri yang hangat dan penuh rasa.
Kisah ini bukan hanya sekadar kuliner, tapi cilok Hengnim juga dapat menjadi cerminan bagaimaman pertemuan budaya dapat bertemu pada hal-hal sederhana yang muncul di kehidupan sehari-hari.
Dari dapur Hengnim, tanpa sadar ia menjadi duta kecil Indonesia yang mengenalkan cita rasa, keramahan dan kehangatan lewat makan sederhana.
Kisah ini menampilkan bahwa diplomasi bukan hanya dilakukan pada perundingan besar atau diskusi kebijakan, tapi bisa dari seporsi cilok yang dibuat dengan rasa yang tulus dan ingin berbagi.
Bagi beberapa orang, cilok hanyalah sebuah jajanan yang sederhana. Namun di tangan Hengnim cilok dapat menjadi jembata rasa, cerita dan identitas dua negara. Setiap tusuk cilok yang ia jual, mengandung makna, bahwa dimana pun berada, cinta terhadap budaya sendiri selalu ada cara untuk dilestarikan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News