Kata feodal rasanya kurang pas jika ditujukan kepada pemuka agama yang gila hormat, lebih kepada kultusisasi individu secara berlebihan. Karena seorang figur bisa menjadi mahkluk maha benar di mata pengikut atau penggemarnya. Bahkan ada rasa senang jika diberi tanggung jawab, apalagi jika oknum mengatasnamakan timbal balik keberkahan.
Tulisan ini mengulas seputar nilai tawadhu’ yang sejatinya ajaran luhur pesantren, mengajarkan santri menghormati ilmu dan sesama. Tujuannya untuk menghindari salah persepsi akan ajaran agama Islam. Pasalnya, di lapangan hal itu kerap diselewengkan menjadi justifikasi bagi perilaku senioritas.
Ilmu tawadhu’ adalah yang diajarkan pertama kali saat orang menjadi santri baru. Alasannya karena itu dasar dari seorang muslim dalam muamalah. Mulai dari menghormati guru, menghargai teman, menjaga sopan santun sampai etika dalam menuntut ilmu.
Di lingkungan pesantren pembentukan karakter santri tidak dibiarkan berjalan sendiri, melainkan dibimbing oleh kyai, ustadz, dan ustadzah yang berperan penting dalam menanamkan nilai perilaku dan moral.
Bahayanya oknum santri sering kali salah mengartikan nilai menghormati dalam tawadhu’. Idealnya, di rumah ilmu tak ada senior maupun junior, adanya hamba yang sama-sama belajar merendah di hadapan Tuhan dan kepada sesama.
Tradisi Senioritas di Pondok
Dari pengalaman pribadi mondok, senioritas itu maknanya hierarki, menempatkan santri senior sebagai figur yang memiliki otoritas lebih tinggi. Alasannya karena tanggung jawab senior untuk membimbing dan menjadi panutan bagi santri junior.
Bagaimana jika Kawan disuruh menghormati senior yang tidak pantas dihormati tapi memaksa berlebihan? Ibarat kata disuruh menunduk karena terpaksa, atau ditundukkan dengan paksa oleh tangan seseorang di belakang kepala.
Berdasarkan data hasil analisis penelitian Sigit Nugroho di researchgate.net pada 2018, sekitar 59% santri pernah mengalami tindakan perundungan selama belajar di sekolah. Bahkan, 19,5% di antaranya mengaku mengalami perundungan lebih dari satu kali dalam seminggu.
Artikel tersebut juga menyebutkan sisi baik buruk senioritas. Tradisi ini sebenarnya bisa jadi kesempatan anak belajar nilai karakter dan kepemimpinan, meski rentan jadi akar kekerasan atau bullying jika tidak diawasi.
Artikel Fergie Fernando Hesfi yang dimuat di e-journals.unmul.ac.id pada tahun 2024 juga mengungkap adanya kaitan maskulinitas dengan pemahaman keliru tentang laki-laki ideal di pesantren.
Sikap harus keras dan wajib disegani dianggap sebagai ciri santriwan sejati. Ini kerap jadi alasan senior untuk menunjukkan dominasi secara fisik maupun emosional terhadap juniornya.
Perkembangan pertanyaannya bukan lagi untuk apa, tetapi bagaimana semestinya senioritas itu diterapkan. Tentu tidak dengan cara represif, bukan dalam bentuk hierarki. Namun, melalui nilai islam dan suri tauladan senior itu sendiri.
Masalahnya tidak semua senior mampu jadi teladan, oknumnya terburu menyuruh menghormati, apalagi caranya dengan menakuti. Dampaknya bisa muncul lingkaran setan karena alasan balas dendam bullying di generasi selanjutnya.
Mencoba Mengerti Makna Tawadhu’ di Pesantren
Pesantren punya potensi besar membentuk karakter santri yang berilmu dan berakhlak. Masalahnya, beberapa oknum santri senior sering salah paham soal makna menghormati. Seakan hormat secara buta itu adalah tanda kedewasaan dan keluasan hati. Peran kyai sebagai guru penting untuk meluruskan ini.
Melansir dari artikel jabar.nu.or.id, Rasulullah SAW menjelaskan makna tawadhu’ dalam sabdanya, “Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian semua bersikap rendah hati (tawadhu’), sehingga tidak ada seorang pun yang merasa lebih tinggi dari yang lain dan tidak ada yang menzalimi yang lain.” (HR. Muslim, 2865).
Selain hadis tersebut, Al-Qur’an juga membahas sikap rendah hati dalam surah Al Hijr ayat 88. Melansir dari tafsirweb.com, inti dari ayat tersebut adalah perintah untuk tidak sombong dan merendah hati kepada orang beriman.
Ayat ini juga menjelaskan kemuliaan tidak datang dari jabatan atau kekayaan, melainkan dari sikap tulus dan rendah hati.
Dalam konteks pesantren, tawadhu’ seharusnya Kawan maknai sebagai ajaran saling menghormati karena iman, bukan karena status. Jadi, santri perlu meneladani akhlak Islam dengan menghargai sesama, bukan tunduk secara buta pada senioritas.
Jika nilai itu diselewengkan menjadi alat menundukkan sesama, maka hilanglah esensi keikhlasan dalam belajar. Hormat tidak bisa lahir dari paksaan, apalagi dari rasa takut, melainkan dari ketulusan dan keteladanan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News