Di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, ada kebiasaan unik yang mungkin mengejutkan bagi banyak orang, yakni mengonsumsi serangga.
Salah satu primadona yang kerap muncul di musim hujan adalah puthul. Serangga sejenis hama ini menjadi sumber pangan bergizi tinggi, bahkan jadi bekal anak-anak ke sekolah.
Puthul, Si Kumbang Tanah
Bagi masyarakat luar, puthul mungkin terdengar asing, namun bagi warga Gunungkidul, kemunculannya adalah pertanda alam yang telah lama ditunggu. Secara ilmiah, puthul dikenal sebagai Phyllophaga helleri, sejenis kumbang tanah.
Yang dikonsumsi oleh masyarakat bukanlah kumbang dewasanya, melainkan bentuk larvanya yang hidup di dalam tanah. Larva inilah yang dalam dunia pertanian sering disebut sebagai "uret", hama yang dikenal gemar memakan akar tanaman, khususnya padi gogo.
Ciri-ciri fisik puthul cukup mudah dikenali. Larva puthul berwarna putih kekuningan dengan tubuh lunak dan berbentuk melingkar menyerupai huruf "C", dengan panjang sekitar 2,5 cm. Mereka hidup di dalam tanah dan dapat ditemukan pada kedalaman yang bervariasi, tergantung kelembaban tanah.
Fase larva inilah yang paling merusak tanaman, namun sekaligus menjadi fase yang paling dicari untuk diolah menjadi makanan. Sementara kumbang dewasanya berukuran kecil, sekitar 6-10 milimeter, berwarna coklat, dan aktif pada malam hari.
Dari Ladang ke Meja Makan: Olahan Khas Puthul
Kearifan lokal masyarakat Gunungkidul telah mengubah ancaman hama menjadi berkah kuliner. Puthul biasanya diolah dengan dua cara utama yang sederhana namun penuh cita rasa. Cara pertama dan paling populer adalah dengan menggorengnya.
Setelah dibersihkan secara teliti untuk menghilangkan kotoran dan rasa tanah, puthul digoreng kering dengan bumbu sederhana seperti bawang putih dan garam. Hasilnya adalah camilan yang sangat gurih dan renyah, dengan tekstur yang sering dibandingkan dengan udang goreng kecil.
Cara pengolahan kedua yang tak kalah nikmat adalah puthul bacem. Puthul dimasak dengan bumbu bacem khas Jawa yang terdiri dari bawang merah, bawang putih, ketumbar, gula merah, dan sedikit kecap.
Metode ini menghasilkan puthul dengan cita rasa manis dan gurih yang meresap, menawarkan alternatif bagi mereka yang kurang menyukai tekstur goreng yang kriuk. Seorang pencari puthul, Kelvian, menegaskan, "Kunci utamanya adalah kebersihan. Jika dibersihkan dengan benar, rasanya sangat gurih dan renyah."
Kandungan Gizi Puthul
Fenomena konsumsi puthul menarik perhatian nasional baru-baru ini ketika seorang siswa SMP di Gunungkidul membawa puthul goreng sebagai bekalnya untuk dinikmati bersama dengan menu MBG yang disediakan sekolah.
Hal itu viral dan menyoroti potensi pangan lokal yang sering diabaikan. Alih-alih dianggap aneh, hal ini justru mengungkap sebuah praktik budaya dan survival pangan yang telah berlangsung turun-temurun.
Lantas, apa yang membuat puthul layak dikonsumsi dan bahkan disandingkan dengan menu bergizi? Menurut Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Sri Raharjo, puthul memiliki kandungan gizi yang sangat mengesankan. Kandungan yang paling menonjol adalah protein.
Terutama jika puthul dikeringkan, kadar proteinnya menjadi sangat tinggi, menjadikannya sumber protein hewani yang murah dan mudah didapat. "Kandungan protein menjadi yang mendominasi dari putul, terutama jika dikeringkan. Proses pengeringan itu agar tidak mudah busuk," jelas Prof. Sri.
Yang lebih mengejutkan, puthul juga mengandung lemak tak jenuh atau Omega-3. Kandungan ini biasanya identik dengan ikan laut. "Kandungan ini sama dengan kandungan lemak atau minyak yang terdapat dalam ikan," tambahnya.
Omega-3 dikenal luas memiliki segudang manfaat bagi kesehatan, termasuk untuk perkembangan otak, kesehatan jantung, dan anti-inflamasi. Penemuan ini mengukuhkan posisi puthul bukan sekadar camilan tradisional, tetapi sebagai superfood lokal yang potensial untuk dikembangkan lebih lanjut.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News