Anies Rasyid Baswedan adalah politisi dan akademisi yang telah mewarnai panggung nasional Indonesia. Dikenal sebagai sosok intelektual dengan visi tajam di mana ia kerap terjun langsung ke dalam ranah kebijakan publik dan pemerintahan.
Puncak karier eksekutif Anies sejauh ini adalah ketika ia menjabat sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta periode 2017–2022. Kepemimpinannya memimpin Jakarta ditandai dengan sejumlah program dan kebijakan strategis.
Anies juga pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada 2014-2016. Dipilihnya ia menjadi menteri diukur dari kontribusinya terhadap dunia pendidikan Indonesia sejak awal 2000-an.
Sebagai sosok family man, Anies mengenali pola pendidikan Indonesia masa kini melalui anak-anaknya. Khususnya dalam pemanfaatan AI di bangku sekolah di mana teknologi mutakhir itu dijadikan asisten anaknya saat merangkai tulisan.
AI Asisten Menulis
Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka pernah mengkampanyekan pemanfaatan AI pada Mei 2025 lalu. Menurutnya manusia yang tidak memakai AI kelak akan kalah dengan mereka yang menggunakan AI.
Semenjak itu pemanfaatan AI masuk ke sekolah-sekolah di Indonesia termasuk sekolah tempat belajar anak dari Anies Baswedan. Terbiasa memeriksa tugas anaknya, Anies menemukan fakta bahwa anaknya mulai mengandalkan teknologi AI.
“Abah sudah diganti AI,” ucap Anies dengan tawa kepada Good News From Indonesia dalam segmen Good Talk.
Namun, dari situ Anies jadi mengerti pemanfaatan AI tidak murni dilakukan untuk menyelesaikan seluruh pekerjaan anak sekolah. AI dijadikan alat untuk mengasisteni pekerjaan sekolah.
“Saya yang biasanya mengkritik tulisan sampai dia dikirimkan diminta kritik. Nah, dia bilang, ‘Kita juga diajarin jangan AI menjadi pengganti tulisan tapi AI dipakai jadi asisten’. Jadi dikomentari, dikritik lalu diperbaiki sehingga alat itu dipakai sebagai teman,” ungkapnya.
Dampak Positif Polarisasi
Sebelumnya, Anies dalam obrolannya membahas mengenai polarisasi. Menurutnya polarisasi dan perpecahan ada di titik yang berbeda dengan fase yang berbeda pula. Ia menggariskan empat tahap yang dapat dilalui sebuah perbedaan pendapat yaitu polarisasi, friksi, konflik, dan perpecahan.
Polarisasi tidak hanya di dalam politik yang artinya bisa di mana saja. Anies mengambil contoh saat seseorang atau lebih dari satu orang mendukung tim kesayangannya, polarisasi pun bisa tercipta.
Maka dari itu, ia merasa butuh adanya kesadaran, ambang batas atau batasan tertentu dalam memberikan dukungan. Ia mengingatkan saat “pertandingan” sudah selesai, maka selesai jugalah polarisasi itu.
“Setelah selesai, copotlah itu jersey. Itu namanya mengelola dengan baik,” ucap Anies.
Anies mengerti ada masanya perbedaan menjadi tajam saat berkompetisi. Akan tetapi, setelah kompetisi selesai, sudah semestinya identitas kelompok yang terpolarisasi harus dilepaskan, dan masyarakat kembali menjadi utuh.
Ia mencontohkan debat Brexit di Inggris di mana polarisasinya sangat keras dan ketat, tetapi tidak menyangkut isu identitas atau ras. Ketika argumen bertubi-tubi disuarakan, publik mendapatkan pencerahan, dan setelah keputusan diambil, polarisasi pun selesai.
“Polarisasi itu akan bisa merangsang sampai pada tahap tertentu enggak asal enggak kebablasan jadi friksi, Merangsang masing-masing pihak itu untuk menyampaikan argumen, menyampaikan gagasan, berdebat, yang itu kemudian memaksa kita yang menonton menyaksikan adanya gagasan-gagasan yang saling diasah,” ungkapnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News