Beberapa tahun belakangan, dunia seperti tak bisa lepas dari gemerlap budaya Korea Selatan. Musik, drama, gaya busana, sampai kosmetiknya seolah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari banyak orang. Dari bidang seni musik sendiri, BTS, BLACKPINK, hingga TWICE, K-pop tidak lagi sekadar genre musik, melainkan sudah menjadi fenomena global yang membentuk gaya hidup baru.
Namun, di balik panggung megah, wajah rupawan, dan koreografi yang memukau, ada hal menarik untuk kita renungkan: apakah K-pop benar-benar hanya tentang hiburan? Ataukah ia juga bagian dari sistem besar yang mengatur cara kita berpikir, merasa, dan bahkan mengonsumsi?
Untuk menjawabnya, kita bisa menengok pandangan dari sekelompok pemikir yang dikenal dengan sebutan Mazhab Frankfurt.
Mazhab Frankfurt khususnya Theodor Adorno dan Max Horkheimer pernah mengingatkan bahwa di era modern, budaya sering kali tidak lagi lahir dari ekspresi murni manusia, melainkan dari mesin industri. Mereka menyebutnya “industri budaya” (culture industry).
Artinya, musik, film, hingga gaya hidup kini diproduksi dan dijual seperti barang di pabrik: seragam, terukur, dan berorientasi pada pasar.
Jika kita lihat dunia K-pop, semua ini tampak nyata. Dari proses audisi, pelatihan yang bertahun-tahun, hingga pengelolaan citra artis, semuanya diatur dengan rapi dan profesional. Idol tidak hanya musisi, mereka adalah produk lengkap yang mewakili cita rasa visual, gaya hidup, dan aspirasi banyak orang.
Lagu-lagu K-pop pun sering dibuat mengikuti rumus tertentu: ritme cepat, paduan koreografi energik, dan penampilan yang sempurna. Semua unsur itu dirancang agar mudah diterima pasar global. Budaya massa sering memberi “kesenangan yang meninabobokan”.
Kita merasa senang dan terhibur. Namun, di saat yang sama, tanpa sadar menjadi bagian dari sistem konsumsi yang lebih besar.
Fandom K-pop adalah contoh menarik. Para penggemar rela begadang untuk streaming, membeli album dalam jumlah banyak, hingga mempromosikan idol mereka di media sosial. Semua ini dilakukan atas nama cinta dan dukungan dan memang tak ada salahnya.
Namun, jika kita lihat lebih dalam, aktivitas itu juga menggerakkan roda kapitalisme, menambah keuntungan perusahaan hiburan, memperluas pengaruh merek, dan menumbuhkan industri komersial di sekitarnya.
Kita tidak lagi hanya menikmati musik, tetapi juga menjadi pekerja sukarela dalam ekosistem industri budaya global.
K-pop tumbuh di era digital, dan di sinilah kekuatan terbesarnya. Media sosial seperti YouTube, TikTok, dan Instagram menjadi ladang utama penyebaran konten. Akan tetapi, di balik layar, algoritma bekerja menentukan apa yang kita lihat, dengar, dan sukai.
Mazhab Frankfurt dulu mengkritik radio dan film sebagai alat penyebar ideologi dominan. Sekarang, peran itu diambil alih oleh platform digital. Algoritma mempromosikan konten yang paling menguntungkan, bukan yang paling bermakna.
Kita mungkin merasa bebas memilih lagu favorit, padahal pilihan itu sudah diarahkan oleh sistem yang mengenali pola perilaku kita.
K-pop jadi bagian dari logika ini, ia bukan hanya budaya populer, tetapi juga produk kapitalisme digital yang indah di permukaan, tapi dikendalikan oleh data, klik, dan interaksi.
Walau begitu, tidak berarti kita harus sinis terhadap K-pop. Justru di sinilah tantangan menariknya. Menurut Jürgen Habermas, salah satu tokoh penerus Frankfurt School, budaya bisa menjadi ruang dialog selama kita sadar akan struktur yang membentuknya.
Menikmati K-pop bukanlah kesalahan. Yang penting, kita tetap reflektif menyadari bahwa di balik lagu yang catchy dan idol yang karismatik, ada sistem ekonomi dan sosial yang berjalan.
Kita bisa tetap menari, menyanyi, dan mencintai, sambil juga belajar membaca realitas di balik layar. Itulah bentuk kebebasan sejati: menikmati budaya tanpa diperbudak olehnya.
K-pop adalah cermin zaman kita. Ia memperlihatkan betapa kuatnya industri budaya membentuk selera dan kebiasaan masyarakat global. Melalui kacamata Mazhab Frankfurt, kita belajar bahwa hiburan modern tidak pernah netral, ia selalu membawa ideologi dan kepentingan ekonomi.
Namun, justru dari kesadaran inilah kita bisa menjadi penikmat budaya yang lebih cerdas. Kita boleh mencintai BTS, BLACKPINK, atau siapa pun, asal kita tahu bahwa cinta itu tidak membuat kita buta terhadap realitas sosial di baliknya.
Akhirnya, K-pop bukan hanya tentang siapa yang paling populer. Ini juga tentang bagaimana kita, sebagai penonton dan generasi muda, belajar menjadi manusia yang sadar, kritis, dan tetap bisa menikmati dunia dengan cara yang sehat.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News