Korupsi di Indonesia telah menjadi masalah kronis yang terus berulang, bahkan seolah menjadi bagian dari budaya kekuasaan. Ironisnya, semua ini terjadi di negara yang menjadikan Pancasila sebagai dasar negara—sebuah ideologi yang menjunjung tinggi nilai moral, kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab. Meski setiap tahun banyak pejabat publik ditangkap dan dihukum, praktik korupsi tetap subur.
Pertanyaan pun muncul: Apakah Pancasila masih menjadi pedoman hidup, atau hanya sebatas hafalan seremonial tanpa pengamalan?
Korupsi: Kontradiksi Terhadap Nilai-Nilai Luhur Pancasila
Jika ditinjau dari perspektif Pancasila, korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan moral dan ideologi bangsa. Penyelewengan ini secara telanjang menantang kelima sila:
1. Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila ini menekankan nilai kejujuran, rasa takut kepada Tuhan, dan integritas dalam setiap tindakan. Namun, realitas menunjukkan banyak pelaku korupsi rajin beribadah, tetapi tetap menyalahgunakan jabatan.
Hal ini memperlihatkan jurang yang lebar antara ritual keagamaan dengan praktik moral. Koruptor sejati adalah mereka yang gagal mengaplikasikan iman dalam tindakan publik.
2. Sila Kedua dan Kelima: Kemanusiaan Adil dan Beradab & Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Korupsi adalah bentuk ketidakadilan sosial paling brutal. Penyelewengan dana publik merampas hak masyarakat atas pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Uang yang seharusnya digunakan untuk infrastruktur, sekolah, rumah sakit, atau bantuan sosial justru memperkaya segelintir elite. Akibatnya, ketimpangan ekonomi semakin tajam dan keadilan sosial hanya menjadi slogan kosong.
3. Sila Ketiga dan Keempat: Persatuan Indonesia & Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Korupsi merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan institusi negara. Ketika pejabat lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada rakyat, muncul rasa kecewa, apatis, dan sinisme. Sikap ini perlahan mengikis rasa persatuan dan merobek tenun kebangsaan.
Demokrasi kehilangan makna karena suara rakyat tidak lagi menjadi pertimbangan utama dalam kebijakan publik; yang dominan hanyalah nafsu kekuasaan dan uang.
Mengapa Korupsi Terus menjadi "Budaya"?
Korupsi bukan hanya soal moral individu, tetapi juga sistem yang lemah dan budaya yang permisif. Beberapa faktor utama penyebab suburnya praktik ini antara lain:
- Reduksi Pancasila: Pancasila direduksi menjadi hafalan, bukan pedoman hidup. Pendidikan Pancasila lebih menekankan teori normatif daripada pembentukan karakter dan etika.
- Minim Keteladanan: Rakyat kehilangan role model ketika pejabat publik, yang seharusnya mengemban amanah, justru menjadi pelaku korupsi.
- Penegakan Hukum Tebang Pilih: Hukum kerap "tajam ke bawah, tumpul ke atas"—keras kepada rakyat kecil, tetapi lunak terhadap pejabat atau pengusaha kaya yang memiliki kekuatan dan koneksi.
- Budaya Permisif: Korupsi dianggap lumrah selama tidak ketahuan, mulai dari pungutan liar skala kecil hingga gratifikasi berjuta-juta rupiah.
Hidupkan Kembali Pancasila sebagai Etika Publik
Meski situasi terlihat suram, Pancasila tetap relevan sebagai solusi. Nilai-nilai di dalamnya tidak hanya bersifat filosofis, tetapi harus diterapkan langsung dalam kehidupan sehari-hari maupun tata kelola pemerintahan.
Upaya yang harus ditempuh memerlukan gerakan kolektif dari atas hingga ke bawah:
- Pemimpin sebagai Teladan Moral: Pejabat publik harus menunjukkan integritas, bukan hanya pandai berpidato tentang Pancasila. Integritas adalah bukti nyata pengamalan sila.
- Penegakan Hukum yang Adil: Korupsi harus dihukum tanpa pandang bulu, siapapun pelakunya, untuk mengembalikan kepercayaan publik dan menegakkan sila keadilan sosial.
- Reformasi Pendidikan Karakter: Generasi muda perlu dididik untuk mencintai kejujuran, empati, dan tanggung jawab—sebuah implementasi dari nilai-nilai Pancasila—bukan hanya menghafal sila demi sila.
- Keterlibatan Masyarakat Aktif: Rakyat perlu aktif mengawasi kebijakan, berani melaporkan penyelewengan, dan secara tegas menolak budaya suap dan pungutan liar.
Korupsi adalah bentuk nyata pengkhianatan terhadap Pancasila. Namun, bukan berarti Pancasila gagal sebagai ideologi; yang gagal adalah mereka yang tidak mengamalkannya.
Jika nilai-nilai Pancasila dihidupkan kembali dalam tindakan nyata, bukan hanya dalam upacara dan pidato, maka korupsi bukan lagi takdir, melainkan penyakit yang bisa disembuhkan.
Indonesia masih memiliki harapan, selama kejujuran dan keadilan dijadikan jalan hidup, bukan sekadar kata-kata.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News