melawan hustle culture memahami fenomena quiet quitting di indonesia - Culture | Good News From Indonesia 2025

Melawan Hustle Culture, Pahami Fenomena Quiet Quitting di Indonesia

Melawan Hustle Culture, Pahami Fenomena Quiet Quitting di Indonesia
images info

Melawan Hustle Culture, Pahami Fenomena Quiet Quitting di Indonesia


Kawan GNFI, di tengah gempuran media sosial yang memuja pencapaian tak terbatas, kita sering disuguhi citra pekerja yang selalu "lebih," selalu "sibuk," dan selalu "berjuang" (hustling).

Budaya kerja yang menuntut dedikasi tanpa batas ini menciptakan tekanan tak terlihat. Kita harus bekerja di luar jam kantor, selalu siap merespons pesan, dan menjadikan pekerjaan sebagai identitas utama.

Namun, beberapa waktu belakangan, muncul sebuah fenomena yang diam-diam menjadi perlawanan terhadap budaya tersebut: Quiet Quitting.

Istilah ini viral di berbagai platform dan sering disalahartikan sebagai "malas" atau "menyerah." Padahal, quiet quitting adalah respons kolektif yang mendefinisikan ulang makna kerja keras, khususnya di kalangan Generasi Z dan Milenial. Ini menjadi penanda bahwa keseimbangan hidup telah menjadi prioritas utama.

1. Quiet Quitting, Batasan Sehat dalam Bekerja

Quiet Quitting secara harfiah berarti "berhenti secara diam-diam." Namun, dalam konteks dunia kerja, fenomena ini bukanlah pengunduran diri.

Dalam laporan Kementerian Keuangan (DJKN Kemenkeu), Quiet Quitting didefinisikan sebagai pendekatan mental di mana seorang karyawan memutuskan untuk hanya melakukan pekerjaan sesuai dengan deskripsi pekerjaan (Job Description/JD) yang tertulis dan tidak lagi melampaui ekspektasi.

Pekerja dengan sadar menolak kerja lembur tak berbayar, menolak mengambil tugas di luar JD formal, serta menjaga batasan yang tegas agar pekerjaan tidak mengganggu waktu pribadi dan istirahat. Sikap ini adalah penolakan tegas terhadap burnout dan eksploitasi.

Fenomena ini muncul karena pekerja merasa bahwa upaya ekstra yang mereka berikan tidak dibalas dengan kompensasi yang layak, kenaikan gaji, atau promosi, sehingga mendorong mereka kembali ke standar kinerja minimal.

2. Pemicu Utama di Indonesia, Pergeseran Nilai dan Budaya Hustle

Quiet Quitting menjadi tren di Indonesia sebagai respons langsung terhadap beberapa tekanan budaya kerja:

  • Budaya Hustle: Tekanan sosial dan korporat yang menekankan bahwa sukses hanya bisa dicapai melalui kerja keras ekstrem, sering mengorbankan kesehatan mental.

  • Productivity Trap: Adanya tuntutan untuk selalu terlihat sibuk, meskipun hasilnya tidak sebanding, yang justru memicu kecemasan kinerja.

  • Kehilangan Makna: Pekerja merasa terasing dari tujuan pekerjaan mereka, yang mempercepat burnout.

Pergeseran nilai pada generasi muda juga berperan besar. Mereka menolak model "bekerja untuk hidup" dan beralih ke prioritas "hidup untuk diri sendiri" (well-being).

Sikap menuntut batasan ini sejatinya selaras dengan banyak ajaran kearifan lokal yang mengedepankan keseimbangan dan harmoni.

baca juga

3. Dampak Fenomena: Peluang dan Tantangan di Dunia Kerja

Meskipun terlihat sebagai sikap negatif, quiet quitting membawa dampak positif dan tantangan besar bagi perusahaan. Di sisi positif, gerakan ini menciptakan batasan yang sehat, mendorong individu memprioritaskan work-life balance dan menghindari burnout.

Perusahaan didorong untuk merancang deskripsi pekerjaan yang jelas, realistis, dan mengaitkan effort ekstra dengan kompensasi yang layak, meningkatkan keadilan struktural.

Di sisi lain, terdapat dampak negatif yang perlu diwaspadai, yaitu penurunan inisiatif. Inovasi dan kreativitas bisa menurun drastis karena karyawan tidak lagi termotivasi untuk melakukan pekerjaan di luar standar.

Selain itu, Quiet Quitting dapat memicu gesekan antargenerasi, terutama antara generasi yang menjunjung hustle dengan generasi yang menuntut batasan.

baca juga

Pada akhirnya, Quiet Quitting bukanlah tanda malas, melainkan suara kolektif yang menuntut perubahan paradigma. Fenomena ini adalah "perlawanan diam" terhadap sistem yang tidak adil dan budaya yang mendewakan kerja keras berlebihan.

Bagi Kawan GNFI, ini adalah momentum untuk belajar memprioritaskan diri. Mencintai pekerjaan tidak harus berarti membiarkannya menghabiskan seluruh waktu dan energimu.

Kita harus mulai mendefinisikan keberhasilan bukan hanya dari jam kerja yang panjang. Namun, dari kualitas kontribusi yang diberikan dan kesejahteraan mental yang dijaga. Kontribusi yang berkelanjutan lahir dari individu yang seimbang, bukan yang kelelahan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

HZ
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.