Selama beberapa tahun terakhir, perekonomian Indonesia tumbuh di kisaran lima persen. Angka ini menunjukkan ketahanan ekonomi nasional, namun belum cukup untuk menciptakan dorongan baru bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Di sisi lain, pemerintah memiliki ruang fiskal yang besar, tetapi belum semuanya terserap secara optimal di sektor riil.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan, mengapa likuiditas negara tidak sepenuhnya mengalir ke masyarakat? Mengapa sebagian dana justru mengendap di lembaga keuangan tanpa mendorong aktivitas ekonomi secara nyata?
Pertanyaan semacam inilah yang menjadi fokus Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa di awal masa jabatannya.
Menemukan Uang yang “Tidur”
Menurut Ahmad Cholis Hamzah, akademisi sekaligus mantan staf ekonomi kedutaan, Purbaya menyadari ada masalah mendasar yang membuat ekonomi nasional tidak bergerak.
Cholis menjelaskan, kebijakan fiskal yang selama ini berjalan cenderung menyisakan dana besar yang tidak terserap di masyarakat. Akibatnya, perputaran ekonomi melambat.
“Dia menemukan penyebabnya misalnya ternyata ada ratusan triliun rupiah dana yang tidak bergulir di masyarakat sehingga semua variabel pendapatan nasional mandeg yang berakibat perekonomian tidak jalan,” tuturnya.
Langkah cepat pun diambil. Purbaya menarik dana yang mengendap di Bank Indonesia dan mengalirkannya ke sistem perbankan nasional.
“Upaya mengalihkan dana Rp200 triliun ke sistem perbankan mengubah wajah fiskal nasional,” katanya.
Mendorong Dana Negara Lebih Produktif
Kebijakan ini dilakukan dengan mengalihkan dana ke bank-bank milik negara (Himbara). Uang Rp200 triliun tersebut disebar ke lima bank besar, yaitu Mandiri, BRI, BNI, BTN, dan BSI.
Langkah ini bukan hanya untuk menambah likuiditas perbankan, tetapi juga menjadi simbol perubahan cara pandang fiskal. Dana publik yang sebelumnya pasif kini diarahkan agar bisa segera dimanfaatkan untuk kegiatan produktif dan pembiayaan program pemerintah.
“Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan tidak ada dana negara yang menganggur dan bisa dimanfaatkan secara lebih efektif,” ujar Cholis.
Bila kebijakan ini berjalan konsisten, potensi dampaknya bisa dirasakan secara bertahap oleh masyarakat. Dana yang semula tertahan di lembaga keuangan dapat berputar melalui kredit usaha, pembangunan infrastruktur, atau pembiayaan sosial yang menyentuh sektor riil.
Fiskal Aktif, Rakyat Optimis
Purbaya juga menemukan banyak dana pemerintah daerah yang disimpan di bank-bank pusat, bukan di bank daerah. Akibatnya, uang yang seharusnya menggerakkan ekonomi lokal justru menganggur.
Langkah menata ulang dana tersebut diharapkan bisa memperkuat ekonomi daerah, membuka lapangan kerja, dan mempercepat distribusi manfaat fiskal ke masyarakat.
Reformasi fiskal di bawah kepemimpinan Purbaya membawa sinyal optimisme baru. Dengan memastikan uang negara benar-benar bekerja untuk rakyat, kebijakan ini memberi harapan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya tercermin di angka makro, tetapi juga terasa nyata di kehidupan sehari-hari masyarakat.
“Dia yakin kalau berbagai ketimpangan, manipulasi, korupsi itu ditangani maka pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa meningkat dari yang sekarang 5,12% menjadi 6% bahkan 8%,” tutup Cholis.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News