Di era Presiden Prabowo, kebijakan efisiensi anggaran menjadi fokus utama. Hal ini berimbas pada anggaran negara yang dikelola oleh kementerian keuangan. Tidak hanya efisiensi, tetapi juga mencari sumber penerimaan baru melalui peningkatan tarif dan perluasan sektor pajak.
Kini, ramai diperbincangkan tentang wacana pajak usaha digital berbasis media sosial, mengingat pesatnya pertumbuhan ekonomi digital dan peran besar konten kreator maupun pelaku usaha online.
Pertanyaannya, "apakah kebijakan tersebut menjadi ancaman bagi sektor usaha kreatif digital atau justru membuka peluang baru dalam tata kelola ekonomi nasional?"
Kawan GNFI, mari kita kupas lebih dalam benarkah menjadi ancaman bagi pelaku usaha digital atau justru digital membuka peluang baru dalam penerimaan negara? Yuk, cari tahu lebih lanjut di ulasan lengkap berikut ini!
Kini, pemerintah mengandalkan transformasi digital sebagai mesin pendorong ekonomi nasional untuk mencapai target pertumbuhan nasional hingga delapan persen, bukan hanya sebagai opsional.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dari ANTARA, memprediksi bahwa kontribusi ekonomi digital terhadap PDB Indonesia diproyeksikan sekitar 8% pada 2024, dan diperkirakan naik menjadi 9–10% pada akhir 2025.
Alasan tersebut, didasari oleh tren peningkatan pertumbuhan ekonomi digital maupun usaha online menjadikan pengoptimalisasian kebijakan.
Sebagai contoh nyata, pembayaran digital seperti QRIS meningkat lebih dari 32 juta merchant, menghasilkan total transaksi hingga Rp42 triliun menjadikan digitalisasi ekonomi semakin inklusif dan berkelanjutan.
Melalui Kementerian Keuangan, resmi mengumumkan rencana untuk menarik pajak dari aktivitas ekonomi digital yang berlangsung di media sosial mulai tahun 2026.
Menurut pernyataan Pejabat Kemenkeu, potensi pemanfaatan media sosial sebagai platform digital belum dimaksimalkan secara penuh dalam penerimaan pajak bagi negara.
“Kami melihat ruang yang cukup besar untuk optimalisasi pajak dari sektor media sosial. Banyak aktivitas ekonomi yang tumbuh di sana tapi belum tersentuh sistem perpajakan formal,” ungkap seorang pejabat Kemenkeu dalam rapat kerja bersama DPR.
DJP menjelaskan bahwa pajak digital merupakan pungutan atas pemanfaatan barang tidak berwujud dan/atau jasa digital dari luar daerah pabean, seperti layanan streaming, software digital, dan sejenisnya wajib dipungut oleh penyedia layanan digital.
Tujuannya untuk menyetarakan beban pajak antara pelaku usaha dalam negeri dan luar negeri.
Lalu pertanyaan, siapa saja potensi objek pajak yang bakal dikenai pajak digital? Ada 3 sasaran yang bakal dikenai objek pajak digital. Berikut ini, beberapa kriterianya yaitu:
- Konten kreator yang memperoleh penghasilan dari monetisasi, iklan, endorse, dan langganan.
- Pelaku bisnis yang memanfaatkan media sosial sebagai sarana utama penjualan dan promosi.
- Perusahaan asing yang menyediakan layanan digital berbayar di Indonesia. Layanan digital luar negeri seperti Netflix, Spotify, software cloud, game digital, serta platform digital lainnya yang pengguna Indonesia mengakses dan membayar.
Dalam proses realisasi kebijakan, Kemenkeu akan membuat sistem pemantauan berbasis teknologi dalam mendeteksi aktivitas ekonomi digital dan menghitung potensi pajak secara otomatis.
Melalui kerja sama dengan Direktorat Jenderal Pajak dan Kominfo, basis pajak akan diperkuat secara digital dalam proses validasi data pengguna dan transaksi.
Pemerintah sedang merancang regulasi teknis, termasuk batas penghasilan yang dikenakan pajak, mekanisme pelaporan, serta klasifikasi jenis konten yang termasuk objek pajak.
Rencana penerapan pajak usaha digital berbasis media sosial pada tahun 2026 menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Di satu sisi, kebijakan ini dianggap sebagai peluang karena dapat meningkatkan penerimaan negara, menciptakan keadilan fiskal antara pelaku usaha lokal dan asing, serta mendorong formalitas bagi sektor ekonomi kreatif digital yang selama ini banyak beroperasi secara informal.
Di sisi lain, banyak pelaku usaha kecil dan kreator konten yang khawatir kebijakan ini justru menambah beban administratif, menghambat pertumbuhan ekosistem kreatif, dan adanya celah penghindaran ketidakpatuhan pajak (tax avoidance) terutama bagi mereka yang belum memahami tata kelola perpajakan.
Secara regulasi, kebijakan ini merupakan lanjutan dari PPN PMSE yang telah berlaku sejak tahun 2020, dimana pemerintah berencana menunjuk platform digital sebagai pemungut pajak dan menetapkan ambang batas omzet untuk melindungi pelaku kecil.
Adapun, dampaknya tentu bersifat ganda: positif dalam hal peningkatan penerimaan dan transparansi ekonomi digital, tetapi juga berpotensi negatif jika tidak diiringi dengan penyederhanaan aturan dan dukungan teknis bagi pelaku usaha.
Oleh karena itu, keberhasilan kebijakan pajak usaha digital 2026 sangat bergantung pada kesiapan pemerintah dalam menciptakan sistem yang adil, inklusif, serta mampu menyeimbangkan antara kepentingan penerimaan negara dan keberlangsungan ekonomi kreatif digital.
Pemerintah diharapkan transparan dalam pengelolaan pajak serta bekerja sama dengan pelaku digital untuk menciptakan ekosistem yang sehat dan berkelanjutan. Pajak usaha digital menjadi langkah strategis untuk memperkuat basis pajak dan menyesuaikan sistem fiskal dengan era digital.
Namun, keberhasilannya bergantung pada keseimbangan antara penerimaan negara dan perlindungan pelaku usaha kecil, agar kebijakan ini menjadi peluang, bukan ancaman, bagi ekonomi digital Indonesia menuju visi Indonesia Emas 2045.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News