Stigma dan diskriminasi adalah dua tantangan besar yang dihadapi perempuan ketika mereka keluar dari balik jeruji. Pengalaman itu dirasakan langsung oleh Muh. Rifai Sahida saat mengunjungi Lembaga Pemasyarakatan Perempuan di Mamuju, Sulawesi Barat.
Bersama tiga sahabatnya Achmad Nur, Ulfa Purnamasari, dan Muh. Arifsan Rifai melihat potensi yang dimiliki para warga binaan jika diberikan kesempatan. Mereka kemudian mendiskusikan gagasan untuk membuat gerakan sosial yang memberikan second chance bagi perempuan yang pernah dipenjara.
Nama “Garis Hitam” dipilih sebagai simbol garis hitam mewakili masa lalu yang kelam namun menjadi titik awal untuk menulis cerita baru. Komunitas ini diluncurkan secara resmi pada Festival Inklusi di Mamuju pada 15 Februari 2020.
Dalam wawancara lain, Achmad Nur menjelaskan bahwa mereka menamai komunitas itu untuk menyadarkan bahwa setiap orang pasti pernah berbuat salah dan tak ada manusia yang sempurna.
Semangat tersebut kemudian diwujudkan dalam tiga fokus utama: (1) memberikan pekerjaan bagi eks‑narapidana, (2) membina kemandirian ekonomi bagi warga binaan melalui pelatihan keterampilan, dan (3) membangun lingkungan inklusif agar stigma negatif perlahan hilang.
Program Pelatihan dan Pendampingan
Garis Hitam Project (GHP) memberikan pelatihan yang beragam di dalam dan di luar Lapas. Para sukarelawan mengajar menjahit, membuat kue, kerajinan tangan, menenun, seni make‑up, nail art, hingga membuat tote bag.
Program berlangsung sekitar tiga bulan dan bertujuan membekali warga binaan dengan keterampilan yang bisa dijadikan sumber penghasilan saat bebas. Selain keterampilan teknis, GHP menyelenggarakan webinar psikologi, pelatihan kepercayaan diri, dan pembinaan karakter.
Salah satu tokoh penting di balik program ini adalah Dewi Fatimah, petugas Lapas yang sekaligus bendahara GHP. Ia bergabung sejak 2021 karena sering berinteraksi dengan warga binaan dan mengetahui keresahan mereka.
Dewi menegaskan bahwa semua perempuan di Lapas berhak mendapat kesempatan yang sama: “Mereka tidak boleh diabaikan, mereka tidak boleh merasa rendah diri,” katanya. Dewi melihat GHP sebagai wadah untuk menguatkan mental warga binaan dan membangun keberanian menghadapi kehidupan pasca‑bebas.
Untuk memperluas jangkauan, GHP menggandeng berbagai pihak. Mereka berkolaborasi dengan Lapas, pemerintah daerah, BUMN, dan perusahaan swasta untuk menyediakan peralatan, bahan baku, serta pendampingan.
Pemerintah Mamuju dan BUMN pernah memberikan mesin pembuat roti dan mesin jahit. GHP juga bekerja sama dengan agen pariwisata dari Amerika Serikat untuk memasarkan produk‑produk buatan warga binaan. Produk seperti tote bag mendapat sambutan baik di berbagai pameran keuntungan penjualan kemudian dikembalikan ke program pemberdayaan.
Festival, Kolaborasi dan Suara dari Balik Jeruji
Selain pelatihan, GHP mengadakan acara tahunan Festival Kesetaraan. Festival ini melibatkan warga binaan, mahasiswa, kelompok pemuda, dan pemerintah. Kegiatan dalam festival mencakup pameran kerajinan, penampilan seni, hingga diskusi soal inklusi.
Melalui festival, GHP ingin menegaskan bahwa masyarakat perlu melihat mantan narapidana sebagai anggota komunitas yang layak dihargai, bukan dilemahkan.
Program GHP juga memfasilitasi sesi dialog antara warga binaan dan kelompok disabilitas, seni komunitas, dan organisasi lain seperti Habis Maghrib Studio. Dengan pendekatan inklusif, GHP berharap para warga binaan merasa diterima dan siap membangun jejaring baru saat kembali ke masyarakat.
Cerita seorang warga binaan yang menggunakan nama samaran “Laras” menunjukkan dampak emosional program ini. Ia mengaku awalnya takut kembali ke masyarakat, namun melalui pendampingan GHP ia merasa lebih siap. Program GHP menurutnya “membuat saya tidak takut lagi,” ungkap Laras.
Dampak dan Pengakuan
Sejak berdiri, Garis Hitam Project telah menjadi pionir pemberdayaan perempuan di balik penjara di Sulawesi Barat. Mereka membantu 46 anak dan 78 orang dewasa meraih literasi dan keterampilan angka ini terus bertambah seiring diperluasnya program.
Masyarakat juga merasakan manfaatnya: warga binaan yang sebelumnya tidak memiliki penghasilan kini mampu menjual produk kerajinan dan kuliner sebagian eks‑narapidana bekerja sebagai instruktur bagi peserta baru.
GHP memperoleh banyak pengakuan. Pada 2021, Achmad Nur mewakili GHP dan meraih Apresiasi SATU Indonesia Awards tingkat provinsi di kategori kewirausahaan. Penghargaan tersebut didapat karena GHP tidak hanya melatih tetapi juga menjual produk warga binaan dan menginvestasikan kembali keuntungan untuk program pemberdayaan.
Kesuksesan ini mengantarkan GHP ikut program Ruang Inspirasi Astra 2023 dan memenangkan PF Muda 2025. Dukungan tersebut menandakan bahwa GHP bukan sekadar komunitas, tetapi telah menjadi model pemberdayaan perempuan yang mendapat pengakuan nasional.
Tantangan dan Harapan
Meskipun sudah banyak kemajuan, tantangan masih ada. Stigma sosial terhadap mantan narapidana sulit dihapus. Achmad Nur menekankan bahwa membangun kepercayaan masyarakat memerlukan waktu dan keberlanjutan program.
GHP berusaha mengatasi ini dengan membuka ruang dialog, menjalin kerja sama dengan media, dan mendorong kebijakan inklusi. Mereka juga memperluas jangkauan program ke daerah lain serta mengembangkan bisnis sosial agar lebih mandiri finansial.
Dalam jangka panjang, Garis Hitam Project berharap bisa menjadi payung bagi gerakan serupa di berbagai daerah. Dengan memperkuat jejaring, mereka ingin memastikan bahwa setiap perempuan yang pernah menghuni balik sel memiliki kesempatan yang sama untuk bangkit.
Semangat second chance dan inklusi ini menjadi bukti bahwa dari garis hitam masa lalu, cahaya masa depan bisa bersinar lebih terang.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News