Soewardi Soerjaningrat atau lebih terkenal dengan panggilan Ki Hadjar Dewantara pernah mengalami pembuangan atau eksil politik. Bersama Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo, Soewardi diasingkan ke Belanda pada 6 September 1913.
Seperti lazimnya orang yang diasingkan, tiga serangkai ini harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tetapi hal yang menjadi tantangan adalah mereka harus mengubah konsumsi nasi ke roti untuk menghemat.
Menukil buku Rasa Tanah Air: Awal Perkembangan Kuliner Indonesia di Mancanegara pada Akhir Abad ke-19 hingga 1940-an karya Fadly Rahman menjelaskan mahalnya bahan makanan menyebabkan keluarga Soewardi kerap menikmati aneka jeroan seperti hati ayam, ampela, iso dan babat yang biasa mereka konsumsi di tanah air.
“Aneka jeroan ini diolah menjadi makanan yang digemari orang-orang di Hindia seperti sambal goreng hati dan ampela, soto babat, goreng iso atau dimasak menggunakan bumbu-bumbu,” jelasnya.
Fadly menulis Soewardi kerap pergi ke pasar daging untuk membeli aneka jeroan dalam jumlah banyak. Hal ini jelasnya mengingat harga daging jeroan yang lumayan murah di Belanda.
Tetapi yang ironis adalah saat seorang pedagang bertanya kepada Soewardi untuk siapa daging jeroan tersebut. Bahkan ditulis oleh Fadly, ada seorang pedagang yang bertanya jumlah anjing di rumah Soewardi.
“Pertanyaan ini mencerminkan keheranan orang Belanda, karena di negeri itu jeroan hewan biasa dibeli untuk makanan anjing,” jelasnya.
Menjamu mahasiswa di Belanda
Sebagai tokoh pergerakan, Soewardi tetap ikut dalam kegiatan politik walau berstatus sebagai eksil. Kehidupan di Negeri Kincir membuatnya bertemu dengan para mahasiswa yang tengah menempuh pendidikan.
Bersama-sama mahasiswa, Soewardi aktif dalam organisasi Indische Vereeniging dan Indonesisch Pers Bureau. Para anggota ini kerap melangsungkan kegiatan rapat di kediaman Soewardi.
Di kediaman Soewardi ini, jelas Fadly para tamu sering bersantai dan makan bersama. Pada hari Idul Fitri, istri Soewardi yaitu Soetarniah selalu membuatkan nasi tumpeng untuk dinikmati bersama tamunya.
“Selain nasi tumpeng yang menjadi semacam simbol perekat kebangsaan dengan orang-orang Indonesia di Belanda, istri Soewardi juga kerap menyuguhkan aneka masakan khas tanah air,” ucapnya.
Makanan jadi simbol cinta tanah air
Abdul Rivai, seorang pelajar Indonesia yang belajar di Belanda menulis pengalamannya menghadiri selamatan di Bintang Timur 3 Oktober 1927. Rivai mendeskripsikan acara itu semuanya menampilkan identitas nasional.
Identitas nasional, jelas Fadly dicirikan dengan penggunaan bahasa Jawa atau Melayu. Mereka juga makan menggunakan tangan. Seperti halnya di Hindia, para tamu sibuk mengambil nasi dan hidangan lainnya.
“Dalam selamatan nasional yang berlangsung hingga pagi hari tersebut, anggur atau bir tidak disajikan dikarenakan sebagai Muslim mereka tidak mengkonsumsi minuman beralkohol.” jelas Fadly.
Pada momen itu, minuman yang disajikan adalah teh dan juga kopi tubruk dilengkapi dengan rokok klobot. Rivai mengatakan bahwa kopi tubruk yang menggunakan campuran gula jawa juga merupakan identitas nasional.
Rivai mengatakan makanan khas Hindia ikut dijadikan simbol rasa cinta mereka terhadap tanah air. Dirinya melukiskan momen saat ujian sidang Mr Soepomo di Leiden, penuh makanan seperti sate, bakmi, ayam soto, ayam panggang, nasi goreng.
“Melalui makanan khas tanah air, ikatan kebersamaan para pelajar sebagai sesama bangsa dari Hindia ini terjalin makin kuat. Makanan-makanan Hindia seperti sate, soto, nasi tumpeng, dan nasi goreng turut memberi asupan spirit kebangsaan bagi orang-orang Hindia di Belanda,” ucapnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News