Di tengah pesona alam Kota Batu, Jawa Timur, terdapat sebuah kisah inspiratif tentang bagaimana seni tradisi lokal bisa menjelma menjadi sebuah karya yang ikonik. Kisah ini berawal dari kegigihan Anjani Sekar Arum, dalam melestarikan Batik Bantengan atau yang kini dikenal juga sebagai Batik Banteng Agung. Anjani, dengan julukan "Anjani Bantengan" berhasil meramu kecantikan dan kekuatan budaya lokal menjadi lembaran kain yang sarat makna.
Berlatar belakang pendidikan di jurusan Seni dan Desain, Universitas Negeri Malang, Anjani memiliki latar belakang darah seni yang kental. Ayahnya merupakan pendiri kelompok budaya Bantengan Nuswantara dan seorang pelukis. Neneknya berprofesi sebagai penari dan canggahnya adalah seorang pembatik. Usaha ayahnya dalam melestarikan kesenian Bantengan menjadi inspirasi Anjani dalam memilih motif ini. Anjani sendiri mulai membatik pada tahun 2010 dan memutuskan untuk berdedikasi penuh. Kegigihan Anjani dalam membatik terlihat dari usahanya mempelajari langsung proses pewarnaan batik ke Yogyakarta dan Solo.
Anjani mulai membatik pada tahun 2010 dan memutuskan untuk mendedikasikan diri pada kegiatan membatik. Kegigihan Anjani dalam membatik terlihat dari usahanya mempelajari langsung proses pewarnaan batik ke Yogyakarta dan Solo. Pada tahun 2014, Anjani berhasil melakukan pameran tunggal 54 kain batik Bantengan hasil karyanya di Galeri Raos Kota Batu. Ia kemudian diajak Istri Walikota Batu saat itu untuk menggelar pameran di Praha. Namun keterbatasan sumberdaya manusia membuatnya hanya berhasil membuat 10 kain batik.
Namun, yang membuat kisahnya semakin istimewa adalah upayanya dalam pemberdayaan. Anjani mendirikan Sanggar dan Galeri Batik Andaka di Bumiaji, Kota Batu. Tempat ini bukan sekadar galeri, tetapi juga pusat pendidikan dan produksi. Ia memilih fokus mendidik anak-anak dan remaja setempat untuk menjadi pembatik. Filosofi ini didasarkan pada kekhawatiran Anjani akan matinya Kota Batu sebagai kota wisata jika warisan budayanya tidak dijaga oleh generasi penerus.
Pada tahun 2015 Anjani bertemu seorang anak yang tertarik mempelajari cara membatik. Anjani kemudian melatih anak itu di sanggar miliknya. Sampai tahun 2017, sudah ada 58 anak yang belajar membatik dan 28 orang di antaranya menjadi pembatik aktif. Setiap bulan, sanggar ini rata-rata menghasilkan 45 lembar kain batik yang dijual antara harga Rp300.000,00 hingga Rp750.000,00. Dari hasil tersebut Anjani hanya mengambil 10 persen untuk membeli kain dan perlengkapan lain.
Puncak pengakuan atas kegigihan Anjani Sekar Arum adalah ketika Batik Bantengan ditetapkan menjadi Batik Khas Kota Batu, dan ia sendiri berhasil meraih SATU Indonesia Awards Tingkat Nasional Kategori Kewirausahaan pada tahun 2017. Sejak menerima penghargaan tersebut, Anjani dilibatkan dalam berbagai kegiatan Astra, baik di Kota Batu maupun di kota-kota lain seperti Yogyakarta. Penghargaan ini juga yang membaut Anjani memindahkan galeri dan ruang produksi dari Kota Batu ke Desa Binangun pada tahun 2019.
Lalu pada tahun 2023 Anjani mengubah fokus dengan melibatkan anak muda, mengenalkan teknologi digital dan mulai menyelesaikan wisata edukasi membatik. Wisata edukasi yang sudah terjadwal setiap bulannya ini malah menjadi salah satu pilar ekonomi. Anjani juga beradaptasi dengan teknologi digital melalui penjualan batik secara live setiap harinya. Ia juga membebaskan anak muda yang bergabung berinovasi dalam menghasilkan motif batik.
Batik Banteng Agung karya Anjani Sekar Arum adalah simbol nyata perpaduan antara kecintaan pada seni tradisi, keberanian berinovasi, dan semangat pemberdayaan. Melalui setiap goresan canting dan motif yang hidup di atas kain, Anjani telah berhasil melestarikan budaya sembari mengangkat warisan budaya lokal Kota Batu ke panggung dunia.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News