Setiap pagi, ribuan orang menggantungkan harapannya pada laju bus Transjakarta. Kendaraan yang tak sekadar membawa tubuh, tetapi juga waktu, rutinitas, dan sedikit ketenangan di tengah riuhnya lalu lintas ibu kota.
Banyak dari mereka berharap bisa tiba tepat waktu, mendapat tempat duduk, atau menjadikannya momen untuk bernapas sejenak sebelum tenggelam dalam kesibukan hari.
Namun belakangan ini, rasa aman dalam perjalanan itu perlahan memudar seiring maraknya kabar kecelakaan yang membuat perjalanan dengan Transjakarta terasa tak lagi seaman dulu.
Dalam beberapa waktu terakhir, berita tentang kecelakaan bus Transjakarta kerap mengisi pemberitaan publik. Mulai dari insiden menabrak separator hingga menghantam halte dan bangunan.
Salah satu yang paling menarik perhatian terjadi di kawasan Dukuh Atas, ketika sebuah bus menabrak halte hingga mengalami kerusakan berat. Pihak manajemen Transjakarta menyebut penyebabnya adalah pengemudi yang “kehilangan fokus”.
Tak lama kemudian, kejadian serupa terjadi di wilayah Cakung sebuah bus menabrak 4 ruko di Pulogebang dan mengakibatkan 6 orang terluka, termasuk pengemudi serta beberapa penumpang.
Seperti yang kita ketahui bersama, Transjakarta adalah salah satu kisah keberhasilan transportasi ibu kota. Sejak pertama beroperasi pada 2004, layanan ini berkembang pesat menjadi jaringan bus rapid transit terbesar di Asia Tenggara, melayani puluhan rute dan jutaan penumpang setiap bulan.
Namun, di balik kelancaran sistem dan tarif terjangkaunya, tentunya tidak terlepas dari beratnya tanggung jawab dan tekanan yang harus ditanggung di balik kemudi.
Banyak pengemudi Transjakarta bekerja dalam sistem kontrak dengan target waktu yang ketat. Walaupun terdapat jalur khusus busway, kemacetan di pintu masuk dan keluar koridor sering membuat mereka harus berpacu. Mana kala pengemudi harus menyeimbangkan ketepatan waktu sambil menanggung risiko kelelahan dan betapa stresnya menghadapi jalanan Jakarta di setiap harinya.
Salah satu artikel di platform online bahkan menyinggung pengalaman penumpang yang merasa kenyamanannya cukup terganggu. “driver-nya suka ngerem mendadak dan ugal-ugalan.” Satu penumpang lainnya menggambarkannya seperti naik wahana di Dufan, “seru tapi bikin jantung deg-degan”.
Kemudian terkait sikap pengemudi yang suka marah-marah, “nyelonong” tanpa aba-aba, atau rem mendadak itu, menjadi bagian dari “drama mikro” sehari-hari di dalam busway Transjakarta.
Keluhan ini mungkin terdengar sepele, tetapi bagi kota sepadat Jakarta, hal-hal kecil seperti itu bisa berarti besar. Sebab yang dipertaruhkan bukan lagi soal kenyamanan, melainkan kepercayaan publik terhadap moda transportasi yang menjadi tulang punggung kota Jakarta.
Menanggapi gelombang kritik tersebut, manajemen Transjakarta mengakui adanya celah dalam sistem rekrutmen dan pengawasan. Mereka kini memperketat standar seleksi pengemudi dengan asesmen psikologi, pelatihan ulang, serta evaluasi rutin bersama Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).
Selain itu, sebagai bentuk komitmen dalam meningkatkan profesionalisme dan keselamatan layanan, PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) melalui Transjakarta Academy menghadirkan program pembinaan berkelanjutan bagi para pramudi.
Melalui kerja sama dengan mitra operator bus kecil, Koperasi Wahana Kalpika (KWK), program ini dirancang untuk memastikan setiap pramudi memiliki standar kompetensi yang diakui secara nasional.
Terdapat dua program utama yang dijalankan. Pertama, Pelatihan dan Perpanjangan Sertifikasi Kompetensi, yang diperuntukkan bagi pramudi dengan sertifikat kompetensi yang sudah mendekati masa berakhir.
Program ini mencakup pelatihan penyegaran serta uji kompetensi yang dilaksanakan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) berlisensi BNSP.
Kedua, Pelatihan dan Sertifikasi Kompetensi Baru, ditujukan bagi pramudi yang belum memiliki sertifikat. Mereka akan mengikuti pelatihan intensif dan uji kompetensi yang juga diselenggarakan oleh LSP berlisensi BNSP, guna memastikan seluruh pengemudi memenuhi kualifikasi dan standar pelayanan Transjakarta.
Dari 11 ribu lebih pengemudi, sebagian akan mengikuti modul keselamatan dan manajemen emosi., karena diakui, dua dari tiga kasus kecelakaan terakhir disebabkan oleh human error dan tekanan psikologis. Langkah ini patut diapresiasi. Namun, apakah frekuensi kecelakaan akan benar-benar menurun, dan pelayanan di lapangan membaik?
Secara prosedural, Transjakarta memiliki standar operasional (SOP) yang cukup baik. Pengemudi yang terlibat kecelakaan akan dinonaktifkan sementara sambil menunggu hasil investigasi. Namun bagi penumpang, tindakan semacam itu sering terasa formalitas saja, karena pengalaman serupa yang terus berulang.
Menggunakan moda Transjakarta kini rasanya seperti bertaruh dengan nasib. Ada kalanya pengemudi bertindak dengan tenang dan penuh kehati-hatian, namun di waktu lain bisa saja mendadak menekan gas dan berhenti semaunya. Dalam dunia transportasi publik, inkonsistensi semacam ini menjadi lebih berbahaya dari sekadar keterlambatan.
Transjakarta adalah bagian dari simbol kemajuan transportasi Jakarta. Terjangkau, terintegrasi, dan efisien. Tapi apalah artinya kecepatan tanpa keselamatan. Setiap kursi kosong di bus itu menyimpan cerita orang-orang yang pernah menumpang dengan cemas, menggenggam tiang erat-erat, dan berharap pengemudinya berhati-hati.
Walaupun, kita juga sering lupa bahwa pengemudi bus bukan hanya bagian dari mesin transportasi massal. Mereka manusia yang membawa ratusan nyawa setiap hari, sambil menanggung tekanan kerja yang tak ringan. Jika sistem tidak memberi ruang bagi keseimbangan antara waktu dan tanggung jawab, maka kecelakaan hanyalah soal waktu.
Mungkin inilah paradoks Transjakarta hari ini. Ketika sistemnya serba digital, tapi kultur keselamatannya belum sepenuhnya matang. Para pengemudi dituntut cepat, tetapi juga harus aman.
Mereka diberi tanggung jawab besar, yang terkadang tanpa disertai dengan cukupnya dukungan kesejahteraan atau ruang istirahat yang layak. Sementara, penumpang hanya ingin satu hal sederhana, yaitu sampai tujuan dengan selamat.
Transportasi publik seharusnya tak hanya menjadi alat untuk berpindah tempat, tapi juga cerminan dari bagaimana sebuah kota memperlakukan warganya. Untuk mengembalikan kepercayaan publik, transformasi Transjakarta perlu menyentuh lebih dalam dari sekadar pelatihan teknis. Ini soal budaya kerja yang humanis.
Bagaimana menyeimbangkan tekanan dengan empati, dan kecepatan dengan kehati-hatian. Sebab sejatinya transportasi publik bukan hanya membawa penumpang sampai tujuan, tetapi memastikan setiap orang pulang dengan rasa aman.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News