Konservasi gajah di Taman Nasional Tesso Nilo menyisakan konflik yang tak berkesudahan, pasalnya, TNTN menjadi tonggak penting kehidupan satwa dilindungi termasuk gajah.
Populasi gajah yang kian menurun akibat hilangnya habitat perlu menjadi sorotan, kematian gajah Rahman yang kini masih menjadi tanda tanya. Peralihan hutan alam menjadi sawit menyebabkan konservasi gajah TNTN berada di ujung tanduk.
Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan (PKH) pun telah bergerak untuk memberikan langkah penegakan hukum terhadap pelaku perambahan hutan.
Pada 11 Juni lalu, Satgas ini berhasil merebut kembali 81.000 hektare kawasan hutan di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Provinsi Riau, yang selama ini dialih fungsikan sebagai perkebunan kelapa sawit ilegal, hingga permukiman.
Dibalik penertiban tersebut, masih banyak warga yang di sekitar wilayah TNTN untuk enggan di relokasi, tak ayal mereka yang acapkali mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Pelalawan (AMMP). AMMP itu sudah tiga kali melaksanakan demo di Kantor Gubernur Riau.
Koordinator Umum AMMP, Wandri Putra Simbolon, dikutip dari Haluan Riau menyebut ribuan warga korban penertiban hingga kini belum mendapat kejelasan nasib, meski Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) sebelumnya menjanjikan solusi yang adil.
“Korporasi milik cukong dan toke dalang kerusakan TNTN belum ada satupun yang diamankan, sementara masyarakat kecil justru jadi korban,” tegas Wandri dikutip dari Haluan Riau.
Menurut pandangan penulis, perlu adanya suatu pemikiran berdasarkan teori Ekosentrisme dibandingkan teori egosentrisme.
Ekosentrisme hampir sama dengan biosentrisme, hanya saja ekosentrisme mementingkan kehidupan seluruh makhluk hidup baik yang hidup dan yang mati. Sementara untuk biosentrisme hanya berfokus pada makhluk yang masih hidup.
Dalam teori ini menekankan pada aspek penempatan moral terhadap lingkungan. Manusia perlu menyadari bahwa setiap individu secara kolektif tidak merusak alam dan harus melestarikannya.
Kadang, secara tak sadar, walaupun tambang ataupun pemilik kekayaan alam secara khusus itu bukan milik kita, tapi setidaknya sebagai manusia yang memiliki akal, kita harus melakukan pembelaan terhadap masyarakat sekitar yang merasakan dampak buruknya.
Ciptakan rasa mencintai alam itu seperti penghargaan terhadap ‘Ibu’ kandung, yang merasa membutuhkannya dan dengan sendirinya tanggung jawab itu muncul atas panggilan alam, bukan paksaan manusia lainnya. Sama seperti gajah ‘Domang’ dan ‘Tari’ yang dianggap anak angkat oleh Kapolda Riau, IrjenPol Herry Heryawan.
"Saya sudah mengangkat diri saya sebagai ayah angkat dari Domang dan Tari. Bahkan hari Sabtu kemarin saya sempat bertemu langsung dengan mereka di Tesso Nilo,’’ kata Irjen Pol Herry Heryawan dikutip dari Riau Online.
Klaim atas ayah dari hewan tentu kita akan merasa memiliki mereka. Tingkah gajah ‘Domang’ yang lucu dan menggemaskan pun membuat banyak penggemarnya.
Dilema antara Relokasi atau Pelestarian Satwa
Seperti teori ekosentrisme di atas, manusia harus memiliki empati dan rasa saling keterkaitan dan kebutuhan. Sebagai informasi gajah juga sebagai simbol kecerdasan, ia mengetahui setiap lintasan yang dilewati setiap hari, begitu gajah menginjak lahan perkebunan milik warga, seharusnya bukan gajah yang salah. Melainkan pemilik kebun yang tidak mengetahui bahwa lokasi tanahnya merupakan lintasan gajah yang telah dibangun selama itu.
Hewan yang berbadan besar itu juga memiliki peran penting, ia dikenal sebagai ‘insinyur’ ekosistem. Maksudnya ialah gajah mampu membantu menyebarkan biji tanaman, menciptakan jalur air seperti yang ada di Jalan Tol Pekanbaru-Dumai, dan juga kotorannya pun dapat dijadikan pupuk alami.
Relokasi warga TNTN harus dilakukan, penulis memandang, selain karena habitat gajah, TNTN juga harus dikembalikan fungsinya sebagai paru paru dunia.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News