potret kota jakarta makin tinggi tapi makin timpang - News | Good News From Indonesia 2025

Potret Kota Jakarta, Makin Tinggi tapi Makin Timpang?

Potret Kota Jakarta, Makin Tinggi tapi Makin Timpang?
images info

Potret Kota Jakarta, Makin Tinggi tapi Makin Timpang?


Jakarta seolah tak pernah berhenti berdandan untuk tampil memesona di panggung dunia. Dua puluh tahun terakhir, kota ini menegakkan deretan gedung tingginya, membentangkan jalur transportasi terintegrasi, hingga menata trotoar dengan sentuhan “Instagramable” di beberapa titik.

Namun di balik segala kilau itu, ketimpangan hadir kian menyapa.

Sejak Maret 2025, rasio Gini Jakarta mencapai 0,441, naik dari 0,431 pada September 2024. Artinya, jurang antara si kaya dan si miskin di ibu kota semakin melebar.

Data dari BPS menjelaskan bahwa kelompok 20 persen teratas menguasai lebih dari 52 persen total pengeluaran penduduk, sementara 40 persen terbawah hanya kebagian sekitar 16 persen.

Di kota dengan mal yang berlapis-lapis dan coffee shop di tiap sudutnya, ternyata belum juga terlepas dari ratusan ribu keluarga lainnya yang kesulitan membeli beras setiap bulan.

baca juga

20 tahun terakhir, perubahan tata kota Jakarta terbilang berjalan cepat. Setidaknya di atas kertas dan kawasan yang terlihat di peta wisata, kita menyaksikan MRT menembus jantung kota, LRT terbentang di langit-langit timur, dan proyek TOD (Transit Oriented Development) muncul sebagai jargon baru perencanaan kota. Di permukaan, ini semua tampak sebagai kemajuan. 

Kawasan di sekitar stasiun MRT dan LRT seakan mendadak naik kelas. Harga tanah melambung, apartemen baru berdiri dengan papan iklan bertuliskan “Hanya untuk 1% yang beruntung”.

Sementara itu, banyak warga lama yang terpaksa pindah karena tak sanggup menanggung biaya hidup yang turut melambung. Transportasi massal yang katanya untuk rakyat, perlahan menjauh dari orang-orang yang paling membutuhkan.

Begitu pula dengan pembangunan ruang publik dan taman kota. Di beberapa titik, wajah Jakarta memang lebih hijau dan tertata. Namun, di sisi lain, permukiman padat tetap bergelut dengan masalah lama seperti banjir, sanitasi buruk, dan kurangnya akses air bersih.

Namun, pertanyaannya kenapa pembangunan di Jakarta terasa tak berimbang?

Salah satunya mungkin karena Jakarta masih terjebak pada logika pertumbuhan, bukan pemerataan. Selama ini, arah investasi dan infrastruktur lebih banyak mengalir ke kawasan yang sudah dirasa cukup mapan, seperti pusat kota, kawasan bisnis, dan area yang paling dianggap “bernilai tinggi”.

Sementara wilayah pinggiran di Timur Jakarta hingga bagian Utara, seringkali hanya sisanya saja. Jalan rusak, sekolah terbatas, layanan kesehatan jauh, dan harga rumah yang tetap tidak terjangkau.

baca juga

Logika pembangunan seperti ini ibarat mempercantik ruang tamu, sementara dapurnya bocor dan kamar mandi yang dibiarkan mampet. Sekilas tampak teratur, tapi ternyata banyak hal yang belum benar-benar tersusun rapi.

Selain faktor ekonomi, permasalahan struktural seperti tingginya biaya hidup, urbanisasi yang tidak terkendali, dan pasar kerja yang belum merata juga ikut berkontribusi pada ketimpangan kota Jakarta.

Banyak warga baru datang ke Jakarta bersama mimpi dan harapannya. Namun, yang tersedia justru pekerjaan informal tanpa jaminan sosial.

Akibatnya, meskipun tingkat kemiskinan menurun, ketimpangan tetap naik karena segelintir orang makin cepat berlari sementara yang lain terjebak diam di tempat.

Menyikapi hal ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyiapkan beberapa kebijakan strategis untuk menekan kemiskinan dan ketimpangan. Mulai dari pengendalian inflasi pangan, perluasan bantuan sosial, program padat karya, pelatihan kerja digital, hingga penyediaan hunian terjangkau dan subsidi transportasi.

Bahkan, pemerintah berencana membentuk “Jakarta Fund” untuk pembiayaan inisiatif yang mendukung perekonomian rakyat.

Namun, lagi-lagi persoalan ketimpangan di Jakarta bukan hanya soal siapa yang mendapat bantuan, tetapi siapa yang punya akses terhadap ruang dan kesempatan.

Tanpa adanya redistribusi ruang; seperti pembangunan perumahan rakyat di kawasan strategis, transportasi massal yang betul-betul terjangkau, dan ruang publik yang tidak elitis, kesenjangan hanya akan berganti bentuk saja. 

Jakarta kini seperti cermin besar dengan pantulan yang berbeda di setiap sisinya. Di satu sisi, ia modern, cepat, dan serba digital.

Di sisi lain, ia rapuh, sesak, dan penuh paradoks. Ia bisa membangun jembatan estetik di Sudirman, tapi belum mampu mengalirkan air bersih ke semua rumah di Kampung Muara.

baca juga

Mungkin, kini saatnya Jakarta menata ulang visinya. Bukan hanya sekedar mendapat pengakuan rangking dunia, tetapi perlu adil bagi mereka yang juga hidup di dalamnya. Ketimpangan bukan kutukan, tapi konsekuensi dari pilihan kebijakan yang bisa diubah.

Menjadi kota global bukan diukur dari seberapa tinggi gedungnya, melainkan seberapa luas ruang yang ia sediakan bagi semua warganya untuk tumbuh bersama.

Sebab kota yang benar-benar hebat bukan yang memamerkan kemegahan, tetapi yang menumbuhkan rasa memiliki bahwa kita semua adalah bagian dari cerita yang sama.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

BL
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.