Anies Rasyid Baswedan adalah politisi dan akademisi yang telah mewarnai panggung nasional Indonesia. Dikenal sebagai sosok intelektual dengan visi tajam di mana ia kerap terjun langsung ke dalam ranah kebijakan publik dan pemerintahan.
Puncak karier eksekutif Anies sejauh ini adalah ketika ia menjabat sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta periode 2017–2022. Kepemimpinannya memimpin Jakarta ditandai dengan sejumlah program dan kebijakan strategis.
Anies juga pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada 2014-2016. Dipilihnya ia menjadi menteri diukur dari kontribusinya terhadap dunia pendidikan Indonesia sejak awal 2000-an.
Setelah sukses menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies lalu maju dalam pemilihan Presiden RI periode 2024-2029. Namun, ia kalah suara dari pasangan terpilih Prabowo-Gibran.
Kegagalan itu tapi tidak membuat Anies tertunduk. Sejumlah mimpi masih dimilikinya di mana ada tiga poin yang disebutkannya saat berbincang dengan Good News From Indonesia.
Tiga Mimpi Sederhana
Tiga mimpi Anies ternyata sederhana yaitu ingin tumbuh secara intelektual, berfinansial cukup, dan bermanfaat bagi banyak orang. Ketiga mimpi itu diakuinya sudah dirancang sejak mengenyam bangku pendidikan dan sudah tercapai.
“Alhamdulillah dalam perjalanan ini rasanya sebagian besar dari harapan itu sudah terpenuhi,” ucap Anies kepada Good News From Indonesia dalam segmen Good Talk.
Anies menegaskan untuk menggapai mimpi itu ia perlu memperlihatkan etos kerja yang baik. Agar mimpi tersebut bisa diraih secara bersamaan, profesi dosen di Universitas Paramadina pun lantas diambilnya.
“Dosen itu intellectuallygrowing, financially good, socially impactful. Karena itulah kenapa saya milih jadi dosen,” ujar Anies yang juga pernah menjabat rektor di kampus tersebut.
Dampak Positif Polarisasi
Sebelumnya, Anies dalam obrolannya bersama GNFI membahas mengenai polarisasi. Menurutnya polarisasi dan perpecahan ada di titik yang berbeda dengan fase yang berbeda pula. Ia menggariskan empat tahap yang dapat dilalui sebuah perbedaan pendapat yaitu polarisasi, friksi, konflik, dan perpecahan.
Polarisasi tidak hanya di dalam politik yang artinya bisa di mana saja. Anies mengambil contoh saat seseorang atau lebih dari satu orang mendukung tim kesayangannya, polarisasi pun bisa tercipta.
Maka dari itu, ia merasa butuh adanya kesadaran, ambang batas atau batasan tertentu dalam memberikan dukungan. Ia mengingatkan saat “pertandingan” sudah selesai, maka selesai jugalah polarisasi itu.
“Setelah selesai, copotlah itu jersey. Itu namanya mengelola dengan baik,” ucap Anies.
Anies mengerti ada masanya perbedaan menjadi tajam saat berkompetisi. Akan tetapi, setelah kompetisi selesai, sudah semestinya identitas kelompok yang terpolarisasi harus dilepaskan, dan masyarakat kembali menjadi utuh.
Ia mencontohkan debat Brexit di Inggris di mana polarisasinya sangat keras dan ketat, tetapi tidak menyangkut isu identitas atau ras. Ketika argumen bertubi-tubi disuarakan, publik mendapatkan pencerahan, dan setelah keputusan diambil, polarisasi pun selesai.
“Polarisasi itu akan bisa merangsang sampai pada tahap tertentu enggak asal enggak kebablasan jadi friksi, Merangsang masing-masing pihak itu untuk menyampaikan argumen, menyampaikan gagasan, berdebat, yang itu kemudian memaksa kita yang menonton menyaksikan adanya gagasan-gagasan yang saling diasah,” ungkapnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News