Pulau Jawa tak hanya dikenal sebagai pulau yang padat akan penduduknya, tetapi juga memiliki beragam kebudayaan yang dimiliki. Banyak suku yang mendiami dan menetap di pulau Jawa, menjadikannya salah satu pulau yang heterogen di Indonesia.
Suku-suku yang ada di pulau Jawa, beberapa diantaranya seperti suku Sunda, Betawi, Jawa hingga Madura. Selain itu, banyak juga suku pendatang yang berasal dari luar pulau Jawa kemudian tinggal dan menetap disini.
Suku Jawa menjadi suku yang paling banyak penduduknya di pulau ini, membuat masyarakat Jawa dikenal sebagai salah satu kelompok sosial paling kompleks di Indonesia. Selain karena jumlah penduduknya yang besar, masyarakat Jawa juga memiliki struktur sosial yang unik dan berlapis.
Masyarakat Jawa juga dikenal memiliki akar historis yang cukup panjang, membuat masyarakat Jawa kaya akan kebudayaan yang dimiliki, bahkan sebelum adanya agama-agama hadir di masyarakat Jawa.
Menurut seorang Antropolog bernama Cliford Geertz, unsur agama dan kebudayaan lokal ini bercampur yang akhirnya dikategorikan dalam tiga golongan yaitu Abangan, Santri, dan Priyayi.
Menurut Geertz ketiga kategori tersebut dibedakan berdasarkan tiga inti struktur sosial yang berbeda, mulai dari desa, pasar, dan birokrasi pemerintah. Berikut penjelasan dari golongan Abangan, Santri, dan Priyayi.
Abangan
Mengutip dari buku berjudul A Short History of Java karya Aristo Farela menjelaskan makna kelompok Abangan adalah mereka yang tidak melibatkan diri secara aktif dalam syariat Islam.
Golongan ini adalah orang Jawa yang meskipun menganut Islam, tapi tidak terlalu saleh dan alim, tidak bersungguh-sungguh dalam menjalankan kehidupan beragama. Bahkan, kebanyakan tidak melaksanakan salat Jumat, dan juga tidak berpuasa pada bulan Ramadan.
Secara yurisdiksi formal, orang Jawa memiliki dan mengakui keyakinan agama tertentu seperti tercantum dalam kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Orang Jawa secara resmi memeluk agama tertentu yang diakui oleh negara seperti Islam, Kristen, dan Katolik tetapi tidak menunjukkan kesunggahnnya dalam beragama. Mereka merasa beragam cukup “beragama statistik” saja.
Cara orang Jawa beragama bersifat fleksibel dan tidak ekstrem. Mereka tidak berpijak pada satu agama tertentu saja. Semuanya bercampur dengan baik dalam keyakinan maupun operasional ritualnya. Selain itu, orang Jawa beranggapan bahwa beragama tidak semata-mata harus menjalankan hal-hal ritual yang bersifat dogmatis. Bagi orang Jawa, menjalani kehidupan sehari-hari sudah merupakan bagian dari beragama.
Dalam konsep beragama orang Jawa, manusia terbagi dalam dua dimensi yang ada. Pertama, kepada sesama manusia (horizontal). Kedua, kepada Tuhan (vertikal).
Selain itu juga, sisi lain dari kelompok Abangan ini ialah sinkretisme animisme dengan Hindu/Budha dan Islam. Menurut Clifford Geertz, golongan abangan ini kebanyakan tinggal di wilayah pedesaan, masih percaya akan hal mistis yang berada di sekitar mereka.
Golongan abangan juga masih percaya kekuatan makhluk halus seperti memedi, lelembut, tuyul, demit, dan lainnya.
Untuk mencegah gangguan ruh-ruh ini dan mendapatkan keselamatan hidup , kaum abangan menyelenggarakan selamatan.
Tradisi ini dijalankan pada semua hajatan yang berkaitan dengan suatu kejadian yang diperingati, ditebus, atau disucikan seperti kelahiran, perkawinan, kematian, pindah rumah, mimpi buruk, panen, ganti nama, membuka pabrik, penyembuhan sakit dan yang lainnya. Semua hal tersebut memerlukan acara slametan agar selamat.
Santri
Golongan kedua yaitu santri. Menurut Geetz, santri dimanifestasikan dalam kegiatan keagamaan yang cermat dan teratur dalam ritual-ritual pokok agama Islam. Santri berkewajiban melaksanakan ibadah salat, berpuasa selama bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji. Dalam beribadah, santri tidak mencampuradukkan agama dengan unsur-unsur lain seperti yang dilakukan oleh kaum abangan.
Ketika Geertz membuat penelitian di Mojokuto tahun 1955, ia mencatat profesi terbanyak dijalankan kaum santri di perkotaan adalah pedagang, tukang, dan penjahit. Sementara itu di desa, santri bekerja sebagai petani, meskipun tidak semua petani di desa adalah kaum abangan.
Golongan santri bisa ditemukan di kota atau pedalaman, mereka menempati rumah-rumah di sekitar masjid yang disebut dengan “kauman”, atau di sekitar kediaman kiai yang disebut “pesantren”.
Golongan santri di Indonesia dapat dikenali dalam dua kelompok, pertama, yang beragama secara murni, kedua, yang beragam secara campuran. Kelompok pertama biasanya memegang teguh ajaran agama yang diyakininya dan tidak memberi ruang bagi hal yang mengandung takhayul atau sejenisnya.
Kelompok kedua ialah mereka yang menjalakan beragamanya dengan mencampur menggunakan keyakinan-keyakinan Jawa atau agama lain.
Bagi kelompok yang kedua ini, kecintaan pada identitas kejawen tak akan pernah tergerus oleh dogma ajaran agama manapun, termasuk agama yang dianutnya.
Priyayi
Golongan terakhir yaitu priyayi, menurut Geertz kaum priyayi adalah kaum yang menekankan aspek-aspek Hindu dan Buddha serta berasosiasi dengan unsur birokrasi.
Kaum ini merupakan kaum elite yang sah, memanifestasikan satu tradisi agama yang khas, yang disebut sebagai “varian agama priyayi” dari sistem keagamaan pada umumnya di Jawa.
Orang-orang jawa yang tergolong priyayi berasal dari keluarga istana dan pejabat pemerintahan, ajaran agama Hindu dan Buddha sangat kuat di golongan ini. Karena mereka juga yang mendirikan kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha.
Mereka juga masih mempercayai adanya animisme-dinamisme. Berbeda dengan rakyat kecil yang tidak terlalu terpengaruh oleh hal-hal mistik.
Di masa lampau priyayi dianggap sebagai bagian dari aristokrasi keraton. Istilah priyayi juga mengacu pada orang-orang dari kelas sosial tertentu, yang menurut hukum merupakan kaum elite tradisional yang berbeda dari rakyat biasa, karena memiliki gelar-gelar kehormatan seperti, Raden, Raden Mas, Raden Panji, Raden Tumenggung, Raden Ngabei, Raden Mas Panji, dan Raden Mas Arya untuk laki-laki dengan mencantumkannya dengan singkatan di depan nama asli. Kaum wanita juga memiliki gelarnya seperti Raden Roro, Raden Ajeng, dan Raden Ayu.
Sebagain elite dalam masyarakat Jawa, kaum priyayi mempunyai lebih banyak kesempatan untuk memperoleh pengetahuan tradisional ataupun modern, dibanding rakyat biasa.
Orang priyayi dididik untuk menjalankan tata krama perilaku tertentu yang meninggikan martabak mereka. Mereka juga berkesempatan berkenalan dengan berbagai kepercayaan dan agama. Priyayi santri merupakan sebutan untuk yang aktif melibatkan diri dalam agama Islam.
Sedangkan priyayi abangan adalah sebutan untuk yang tidak menghiraukan ajaran Islam. Sebagian diantaranya, tidak mempedulikan agama sama sekali atau masih memegang teguh agama leluhur mereka.
Ketiga golongan ini pada dasarnya menggambarkan kekayaan budaya dan spiritual masyarakat Jawa. Masing-masing memiliki peran dan kontribusi yang unik dalam menjaga keseimbangan sosial.
Di tengah arus modernisasi, warisan sosial ini menjadi pengingat bahwa keberagaman adalah kekuatan, bukan perpecahan. Justru karena keberagaman itulah, masyarakat Jawa mampu bertahan dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman tanpa kehilangan jati dirinya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News