cerita dari desa yang mengubah ubi jadi harapan membuka jalan menuju dunia - News | Good News From Indonesia 2025

Cerita dari Desa yang Mengubah Ubi Jadi Harapan, Membuka Jalan Menuju Dunia

Cerita dari Desa yang Mengubah Ubi Jadi Harapan, Membuka Jalan Menuju Dunia
images info

Cerita dari Desa yang Mengubah Ubi Jadi Harapan, Membuka Jalan Menuju Dunia


Langit belum benar-benar terang ketika suara cangkul pertama menghantam tanah. Embun masih menempel di daun ubi, mengilap seperti butiran kaca kecil di bawah cahaya remang subuh. Lelaki paruh baya bernama Rukmana menyeka peluh di dahinya, lalu menatap hamparan lahan yang dulu nyaris ditinggalkan.

Setiap ayunan cangkul bukan sekadar menggemburkan tanah, tapi juga menggali kenangan tentang masa-masa ketika bertani terasa seperti bertaruh dengan nasib. “Kalau dulu hasil panen cuma buat makan sendiri,” ujarnya pelan, “sekarang rasanya seperti menanam masa depan.”

Aroma tanah basah bercampur dengan semangat baru yang menguap dari lahan itu. Rukmana bukan satu-satunya yang kembali percaya pada ubi umbi sederhana yang dulu hanya mengisi dapur, kini berubah menjadi simbol kemandirian. Setelah bertahun-tahun tertinggal, warga desanya belajar kembali menanam, mengolah, dan menjual hasil bumi mereka dengan cara yang berbeda.

Mereka menemukan bahwa perubahan tidak selalu datang dari kota, melainkan bisa tumbuh dari ladang kecil di ujung kampung, selama ada keinginan untuk mencoba.

Ubi yang mereka tanam kini menempuh perjalanan jauh, menyeberangi laut menuju Malaysia dan Singapura. Bersama puluhan petani lain, Rukmana menjadi bagian dari kisah perubahan di Desa Binaan Astra yang menorehkan capaian luar biasa: ekspor lebih dari sepuluh ton ubi ke luar negeri.

Angka itu bukan sekadar hitungan tonase, melainkan tanda bahwa kerja keras, kepercayaan, dan kolaborasi bisa menumbuhkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar panen yakni harapan.

Langkah Awal dari Ladang yang Sepi

Beberapa tahun silam, lahan ubi di kampung itu sering dibiarkan terbengkalai. Anak muda lebih memilih pergi ke kota; sebagian bahkan menjual tanahnya demi pekerjaan sesaat. Ubi dianggap tidak menjanjikan, tak sebanding dengan jerih payah mencangkul di bawah matahari.

Namun perubahan mulai terasa ketika program Desa Sejahtera Astra hadir dengan pendekatan sederhana yakni mendengarkan apa yang benar-benar dibutuhkan warga.

Alih-alih membawa proyek besar, tim pendamping Astra justru menaruh perhatian pada hal yang sering diabaikan cara bercocok tanam, manajemen hasil, dan pemasaran. Mereka memperkenalkan bibit unggul, pelatihan pengolahan hasil panen, serta akses ke jaringan pembeli. Dari situlah kepercayaan mulai tumbuh. Bukan hanya pada ubi, tapi juga pada diri sendiri.

“Awalnya kami malu,”. “Siapa yang mau beli ubi dari kampung kecil ini? Tapi waktu kami lihat hasilnya lebih bagus, rasanya seperti dapat semangat baru.”

Bagi sebagian orang kota, ubi mungkin hanya kudapan sore. Namun bagi warga desa binaan Astra, ubi adalah jembatan menuju kemandirian ekonomi. Program pendampingan yang konsisten membuat hasil panen mereka memenuhi standar ekspor. Tak lagi hanya dijual di pasar tradisional, tapi dikemas dengan label profesional dan dikirim ke luar negeri.

Setiap kali kontainer besar datang menjemput hasil panen, suasana kampung mendadak seperti pasar kemenangan. Anak-anak berlarian, para ibu menyiapkan makanan untuk pekerja, dan para petani menatap bangga pada tumpukan ubi yang siap dikirim. Semua rasa lelah seolah lunas ketika mendengar kabar bahwa hasil kerja mereka akan sampai ke negeri seberang.

Menurut laporan, ekspor pertama dari program Desa Sejahtera Astra di Bogor mencapai 10 ton ubi menuju Malaysia dan Singapura. Angka itu kini menjadi inspirasi bagi banyak desa lain di Indonesia untuk mengikuti jejak serupa. Dari ubi yang sederhana, terbuka ruang besar bagi desa-desa untuk masuk ke pasar global tanpa kehilangan akar budayanya.

Membuka Pasar Sehingga Ekonomi Menggerakkan Kehidupan Sosial

Keberhasilan ekspor ubi membawa dampak berlapis. Pendapatan keluarga petani meningkat, anak-anak bisa melanjutkan sekolah, dan banyak pemuda desa yang memilih pulang dari kota untuk membantu mengelola lahan. Mereka tak lagi memandang pertanian sebagai pekerjaan kelas dua. Justru lewat tanah, mereka menemukan kebanggaan baru.

Lebih menarik lagi, hasil ekspor ini memicu kreativitas lokal. Sebagian warga mulai membuka usaha kuliner berbasis ubi, dari brownies hingga kopi ubi. Sebagian lainnya menjajal produk turunan seperti tepung gluten-free yang diminati pasar daring. Desa yang dulu sunyi kini berubah menjadi ruang hidup yang dinamis.

Keberhasilan ekspor ubi ke Malaysia dan Singapura bukan sekadar soal angka tonase. Lebih dari itu, kisah ini menunjukkan bagaimana kepercayaan terhadap potensi lokal bisa menembus batas geografis. Astra, lewat inisiatif desa binaannya, tak hanya menciptakan model ekonomi baru, tetapi juga mengembalikan martabat desa sebagai pusat produksi dan inovasi.

Setiap keberhasilan menyimpan kisah panjang di baliknya. Ubi yang tumbuh dari tanah liat itu mengajarkan arti kesabaran dan ketekunan. Petani-petani kecil di pelosok Nusantara kini melihat harapan baru bahwa hasil kerja mereka punya nilai di mata dunia. Bahwa menjadi bagian dari pasar global tak harus kehilangan jati diri lokal.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AK
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.