Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dikabarkan tengah mengkaji kebijakan untuk mewajibkan para pemengaruh atau influencer di media sosial untuk memiliki sertifikasi. Kebijakan seperti ini sebelumnya sudah diberlakukan oleh pemerintah Tiongkok.
Kebijakan untuk memberikan sertifikasi kepada para influencer itu bertujuan untuk menjaga ekosistem digital agar lebih sehat. Namun, kebijakan ini masih dikaji dan dianalisis lanjut agar tidak mengekang kebebasan masyarakat di ruang digital.
Dilansir melalui ANTARA, kepemilikan sertifikasi bagi pemengaruh itu sudah resmi diterapkan di Tiongkok, di mana para pembuat konten diwajibkan memiliki ijazah atau sertifikasi akademik jika ingin membahas topik-topik profesional. Beberapa bidang yang mewajibkan kepemilikan "lisensi" itu antara lain, kedokteran, hukum, keuangan, pendidikan, dan kesehatan. Seluruh bidang tersebut dinilai paling rentan pada penyebaran informasi palsu.
Kreator akan diminta memverifikasi kelayakan akademik mereka sebelum mengunggah konten di beberapa bidang itu. Jika dilanggar, akan ada sanksi berupa denda hingga 100.000 yuan atau sekitar Rp230 juta.
Lalu, sebenarnya perlukah Indonesia memberlakukan peraturan yang sama?
Sertifikasi untuk Membangun Ekosistem Digital yang Sehat
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Filosa Gita Sukmono, S.I.Kom, M.A., menilai bahwa sertifikasi bisa menjadi instrumen penting untuk membangun eksosistem digital yang sehat dan profesional. Dalam keterangannya di umy.ac.id, regulasi dinilai perlu disiapkan agar kebebasan berekspresi tetap berjalan seiring dengan etika, tanggung jawab, dan akurasi informasi.
Menurut Filosa, sertifikasi influencer dapat dilihat dari dua sisi, yakni keterampilan dan etika. Banyak konten kreator yang belum memahami regulasi yang berlaku di Indonesia. Bahkan, tak sedikit di antara mereka yang mengunggah konten yang berpotensi memecah belah atau memberikan informasi yang belum terverifikasi.
“Dengan adanya sertifikasi, influencer bisa dinilai secara profesional,” kata Filosa.
Pesatnya pertumbuhan ekonomi digital memang membawa manfaat ekonomi yang besar. Akan tetapi, Filosa menyoroti bagaimana banyaknya persoalan etika komunikasi yang dilakukan oleh para influencer dalam membuat konten.
Konten kreator memiliki pengaruh yang cukup besar pada opini publik. Namun, masalahnya banyak kreator yang hanya mengejar konten viral dan memonetisasinya tanpa memperhatikan akurasi dan tanggung jawan sosial.
“Perkembangan ekonomi digital luar biasa cepat, tetapi pemerintah belum punya alat yang cukup kuat untuk melakukan filter. Banyak yang mengaku sebagai konten kreator meski belum punya kompetensi yang memadai,” jelasnya.
Ia mencontohkan Tiongkok dan Singapura yang sudah menerapkan regulasi digital yang ketat untuk menjaga kualitas informasi yang beredar di dunia maya. Meskipun demikian, Filosa meminta pemerintah untuk tetap merumuskan model kebijakan yang sesuai dengan karakter ruang digital nasional yang bebas, dinamis, dan inklusif.
Sertifikasi sebagai Bentuk Pembinaan, Bukan Pembatasan
Lebih lanjut, Filosa tak menampik bahwa wacana sertifikasi bagi influencer ini memang dapat memicu perdebatan, utamanya soal kekhawatiran kebebasan berekspresi. Oleh karena itu, ia menekankan perlunya sosialisasi dan komunikasi publik yang efektif oleh pemerintah agar kebijakan ini dipahami sebagai bentuk pembinaan, bukan pembatasan.
Tak ketinggalan, ia mengatakan bahwa sertifikasi bukan hanya sekadar mengukur kemampuan teknis si influencer saja. Pemerintah juga harus memastikan bahwa pemahaman para pemengaruh terhadap regulasi, literasi digital, dan moralitas publik betul-betul dipahami dengan baik.
Filosa juga mengingatkan penerapan sertifikasi yang harus dilakukan dengan hati-hati dan bertahap. Hal ini dikarenakan dampak dan pengaruhnya akan besar pada ekosistem digital.
“Kebijakan ini bisa mengubah dinamika ruang digital secara signifikan. Karena itu, perlu kajian mendalam dan melibatkan berbagai pihak agar hasilnya tidak menimbulkan distorsi,” pungkasnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News