bahasa jawa sejarah tingkatan bahasa undha usuk aksara dan tata bahasa lengkap - News | Good News From Indonesia 2025

Bahasa Jawa: Sejarah, Tingkatan Bahasa (Undha Usuk), Aksara, dan Tata Bahasa Lengkap

Bahasa Jawa: Sejarah, Tingkatan Bahasa (Undha Usuk), Aksara, dan Tata Bahasa Lengkap
images info

Bahasa Jawa: Sejarah, Tingkatan Bahasa (Undha Usuk), Aksara, dan Tata Bahasa Lengkap


Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa Austronesia yang paling kaya dan paling banyak digunakan di Indonesia, dituturkan oleh sekitar 98 juta penutur utama. Bahasa Jawa menjadi sarana komunikasi di tiga provinsi utama di Pulau Jawa, yaitu Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur, serta digunakan di komunitas diaspora Jawa di seluruh dunia. Konten ini akan memaparkan tujuh aspek utama Bahasa Jawa, mulai dari akar sejarahnya hingga sistem tata krama berbahasa yang unik.

1. Akar Sejarah dan Klasifikasi Bahasa Jawa

Memahami Bahasa Jawa memerlukan penelusuran kembali ke akarnya dalam rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Jawa memiliki sejarah perkembangan yang panjang, terbagi menjadi tiga fase utama: Jawa Kuno, Jawa Pertengahan, dan Jawa Baru. Setiap fase merefleksikan perubahan signifikan dalam kosakata dan tata bahasa akibat pengaruh eksternal.

Jawa Kuno (Kawi): Fase pertama adalah Jawa Kuno (sekitar abad ke-9 hingga ke-13 Masehi), yang sering disebut Kawi. Fase ini dominan digunakan dalam literatur klasik dan prasasti dari abad ke-9 Masehi hingga abad ke-13 Masehi, seperti kakawin Ramayana. Pengaruh Sanskerta sangat kuat pada fase ini, yang terlihat jelas dalam kosakata dan pola metrum puisi tradisional.

Jawa Pertengahan: Berkembang setelah masuknya Islam, dari abad ke-13 Masehi hingga abad ke-16 Masehi. Pada periode ini, beberapa kosakata dari bahasa Melayu mulai diadaptasi, dan bahasa mulai beralih dari bentuk kuno menuju bentuk yang lebih dikenal saat ini.

Jawa Baru: Fase yang dimulai dari abad ke-17 Masehi hingga kini. Fase ini mengalami standardisasi dan adaptasi dari kosakata bahasa Belanda dan bahasa Indonesia, yang meningkatkan kompleksitas leksikal.

2. Tingkatan Bahasa Jawa (Undha Usuk)

Fitur paling khas dan terpenting dari Bahasa Jawa adalah sistem Undha Usuk (tingkatan bahasa) atau speech levels. Sistem ini mengatur pilihan kosakata berdasarkan lima faktor utama: usia, status sosial, keakraban, hubungan antara pembicara dengan lawan bicara, dan hubungan dengan orang yang dibicarakan. Tujuan dari adanya tingkatan bahasa dalam bahasa Jawa tidak lain adalah untuk menghormati. Kegagalan memahami sistem ini akan menyebabkan salah tafsir atau ketidaksopanan.

Ada tiga tingkatan utama yang harus dipahami oleh penutur, yang diatur berdasarkan tingkat formalitas dan rasa hormat yang diberikan:

A. Bahasa Jawa Ngoko:

Bahasa Jawa Ngoko Digunakan dalam konteks informal, terutama ketika berbicara dengan teman sebaya yang akrab, atau orang yang status sosialnya lebih rendah. Tingkatan Bahasa Jawa Ngoko ini menggunakan bentuk kata kerja dan kata benda yang paling dasar.

Contoh:Tangan, Mangan.

B. Bahasa Jawa Krama Madya: Digunakan sebagai transisi dari Ngoko ke Krama Inggil, sering dipakai di pasar atau antara rekan kerja yang tidak terlalu akrab. Tingkat formalitasnya sedang.

Contoh:Asta (bentuk Krama untuk tangan), Neda (bentuk Krama untuk makan).

C. Krama Inggil:

Bahasa Jawa Krama Inggil merupakan tingkatan paling formal dan paling hormat, wajib digunakan saat berbicara dengan orang yang lebih tua, orang yang sangat dihormati (misalnya, guru, pejabat), atau orang asing yang baru dikenal. Tingkatan ini memiliki kosakata pengganti yang benar-benar berbeda dari Ngoko.

Contoh:Asta (tangan), Dhahar (bentuk Krama Inggil untuk makan).

3. Aksara Jawa (Hanacaraka)

Sistem penulisan tradisional Bahasa Jawa adalah Aksara Jawa, juga dikenal sebagai Hanacaraka atau Carakan. Aksara ini adalah aksara abugida, yang berarti setiap karakter konsonan memiliki vokal inheren /a/. Memahami Aksara Jawa akan membuka akses ke manuskrip dan literatur klasik Jawa.

Aksara ini terdiri dari dua puluh (20) aksara dasar ( wanda aksara ): Ha, Na, Ca, Ra, Ka, Da, Ta, Sa, Wa, La, Pa, Dha, Ja, Ya, Nya, Ma, Ga, Ba, Tha, Nga.

Untuk mengubah vokal inheren /a/ menjadi vokal lain (/i/, /u/, /é/, /o/, /e/), digunakan tanda diakritik yang dikenal sebagai sandhangan.

4. Dialek Utama Bahasa Jawa

Meskipun Bahasa Jawa memiliki satu dasar yang sama, terdapat tiga dialek geografis utama yang memengaruhi pengucapan dan beberapa kosakata. Perbedaan dialek akan membantu menentukan asal daerah penutur.

  • Dialek Mataram (Jawa Tengah/Yogyakarta): Dianggap sebagai dialek baku karena merupakan pusat kerajaan kuno. Dialek ini cenderung halus dan mempertahankan $Undha\ Usuk$ paling ketat.
  • Dialek Arekan (Jawa Timur): Dituturkan di Surabaya dan sekitarnya. Dialek Boso Suroboyoan ini umumnya lebih lugas dan kurang terikat pada sistem Krama yang ketat dibandingkan Mataram.
  • Dialek Banyumasan (Ngapak): Digunakan di daerah barat Jawa Tengah. Dialek Ngapak ini memiliki ciri khas pelafalan vokal 'a' pada akhir kata yang tetap diucapkan [a] dan bukan [o] (ciri khas yang dijuluki Ngapak), yang menjadikannya sangat berbeda dari dialek Mataram.

5. Kosakata dan Frasa Kunci

Menguasai tujuh frasa kunci adalah langkah pertama bagi pemula untuk berinteraksi sopan dalam Bahasa Jawa. Frasa-frasa ini diutamakan dalam bentuk Krama untuk menunjukkan rasa hormat.

Berikut ini beberapa kosakata bahasa Jawa yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. 

  • Sapaan: "Sugeng Enjing" (Selamat Pagi), "Sugeng Sonten" (Selamat Sore).
  • Terima Kasih: "Matur Nuwun" (Terima Kasih).
  • Permisi: "Nuwun Sewu" (Permisi/Maaf), sangat penting ketika melewati orang yang lebih tua.
  • Bagaimana Kabar?: "Pripun Kabaripun?" (Bagaimana Kabar Anda?).

6. Tata Bahasa Dasar (Gramatika)

Struktur kalimat Bahasa Jawa cenderung mengikuti pola Subjek-Predikat-Objek (SPO), mirip dengan Bahasa Indonesia. Namun, Bahasa Jawa memiliki dua fitur gramatikal penting yang harus diperhatikan:

  • Partikel Penegas: Penggunaan partikel penegas seperti "-é" atau "-ku" yang dilekatkan di akhir kata untuk menunjukkan kepemilikan (misalnya, Omahku = Rumahku).
  • Kata Kerja: Tidak ada infleksi kata kerja untuk waktu (tenses). Waktu ditentukan oleh kata keterangan waktu, seperti "sampun" (sudah) atau "badhe" (akan).

7. Hubungan Bahasa dan Budaya

Bahasa Jawa memperkuat dan merefleksikan hierarki sosial budaya Jawa. Konsep Undha Usuk tidak hanya merupakan aturan linguistik; ia adalah kode etik sosial. Penggunaan Krama Inggilakan menunjukkan penghargaan terhadap harmoni sosial (rukun) dan nilai kesopanan (unggah-ungguh), yang menjadi inti dari kebudayaan Jawa.

Bahasa Jawa adalah sistem linguistik yang kompleks, di mana tata bahasa dan kosakata bersinergi erat dengan tata krama sosial. Mempelajari empat pilar utamanya—Sejarah, Undha Usuk, Aksara, dan Dialek—akan memberikan pemahaman mendalam tentang salah satu budaya tertua di Nusantara.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Muhammad Sholeh lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Muhammad Sholeh.

MS
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.