masih ada asa petani di tanah jakarta - News | Good News From Indonesia 2025

Masih Ada Asa Petani di Tanah Jakarta

Masih Ada Asa Petani di Tanah Jakarta
images info

Masih Ada Asa Petani di Tanah Jakarta


Di tengah laju urbanisasi yang kian menggerus ruang hijau kota Jakarta, masih muncul cerita yang membangkitkan optimisme. Tentang sebuah pemanfaatan lahan bantaran sungai di Kali Ciliwung sebagai ladang harapan bagi para petani urban. Cerita ini menjadi bukti perubahan cara pandang warga kota, dari sekadar melihat lahan sempit dan terabaikan, menjadi upaya menciptakan ruang produktif yang bernilai sekaligus menghasilkan.

Bertani di Jakarta mungkin terdengar seperti ide aneh. Tapi bagi mereka yang tinggal di bantaran sungai, itu justru cara cerdas bertahan hidup. Dengan modal seadanya, sebagian warga mengubah tanah kosong di pinggir Ciliwung menjadi lahan tanam produktif. Dari lahan tak lebih luas dari lapangan voli, mereka bisa menghasilkan hingga 7-8 juta Rupiah per panen. Angka yang tentunya tidak kecil bagi skala perkotaan seperti Jakarta.

Panennya datang setiap 25–30 hari sekali, yang menghasilkan berbagai sayuran konsumsi seperti bayam, kangkung, dan kemangi, bunga pepaya dan kenikir. Cepat, rutin, dan berputar layaknya roda kehidupan yang mereka jalani sehari-hari.

Lahan-lahan ini dulunya hanya semak belukar, penuh sampah dan lumpur. Namun dengan kesabaran dan kerja keras, tanahnya diolah, disuburkan kembali, dan mulai berbuah hasil. Sayur-sayur segar kemudian dijual ke pasar-pasar sekitar Jakarta. Tidak perlu rantai distribusi panjang, tidak perlu tengkulak besar. Hasil panennya sampai langsung ke pembeli yang tahu dari mana makanannya berasal.

Di balik angka dan hasil panen itu, ada strategi cerdas yang membuat pertanian bantaran Ciliwung bisa bertahan. Diawali dari, pemilihan tanaman disesuaikan dengan kondisi lahan dan iklim kota. Tanaman berumur pendek seperti bayam, kangkung, dan kemangi jadi andalan karena tahan panas, cepat tumbuh, dan permintaannya tinggi. Kemudian, lahan diatur dengan sistem petak agar mudah dikelola, terutama saat menghadapi musim hujan dan risiko banjir. Drainase sederhana dibuat untuk mengatur air, sementara pupuk organik dari sisa tanaman dan kotoran ternak digunakan untuk menjaga kesuburan tanah tanpa mencemari sungai.

Setelah itu, para petani kota ini memahami bahwa kunci keberlanjutan bukan hanya pada hasil panen, tapi juga pada efisiensi dan siklus. Mereka menanam sedikit tapi sering, menjual cepat sebelum layu, lalu menanam lagi tanpa jeda panjang. Ini bukan sekadar pertanian, tapi bentuk ekonomi mikro yang berputar cepat dan efisien, semacam “startup hijau” versi manualnya penghuni bantaran sungai.

Tentu saja, ada risiko besar yang mereka hadapi. Ketika banjir datang, hasil kerja berbulan-bulan bisa lenyap dalam sehari. Air kotor membawa lumpur dan sampah, menenggelamkan tanaman yang sudah siap panen. Tapi mereka tak berhenti sampai di situ saja. Setelah air surut, lahan dibersihkan lagi, disemai ulang, dan kehidupan dilanjutkan. Di situlah letak makna dari “ketahanan”, bukan soal hasil besar, tapi kemampuan untuk bangkit lagi setiap kali terendam.

Menariknya, praktik seperti ini tidak hanya bicara tentang ekonomi, tapi juga ekologi dan sosial. Pertanian di bantaran sungai membantu menahan erosi tanah, menyerap air hujan, dan menambah ruang hijau di tengah padatnya kota. Aktivitas bertani juga memperkuat ikatan sosial antarwarga. Mereka saling bantu menanam, berbagi hasil, dan menjaga lahan bersama. Di kota seperti Jakarta yang terkadang menumbuhkan sikap individualisme ini, hadir kebun kecil di tepi sungai justru jadi ruang pertemuan dan gotong royong.

Pertanian urban Ciliwung mengingatkan kita bahwa ruang hidup tak melulu harus “besar” untuk jadi produktif. Dengan sedikit pengetahuan dan kerja kolektif, lahan sempit bisa menghasilkan sesuatu yang bernilai; baik dari sisi ekonomi maupun sosial. Apalagi dengan dukungan teknologi sederhana seperti vertikultur, hidroponik mini, dan pengolahan pupuk organik, pertanian urban dapat berkembang tanpa harus mengorbankan ruang tinggal.

Mungkin yang dibutuhkan saat ini adalah cara pandang baru terhadap kota dan pertanian. Kita terbiasa menganggap kota hanya sebagai ruang konsumsi, bukan menghasilkan. Padahal, contoh-contoh kecil seperti di Ciliwung ini menunjukkan bahwa produksi pangan bisa lahir di tengah kota, bahkan di tempat yang dianggap tak layak. Jika dikelola dengan bijak, model pertanian seperti ini bisa menjadi bagian dari sistem pangan lokal yang lebih dekat, segar, dan ramah lingkungan.

Lebih dari sekadar menanam sayur, para petani di bantaran Ciliwung sedang menanam simbol perlawanan terhadap logika kota modern yang sering meminggirkan manusia dari alam. 

Meski hamparan sawah di Jakarta kian menyusut, semangat bertani tetap hidup. Selama masih ada yang bersedia menanam di tengah riuhnya lalu lintas kendaraan dan aliran sungai, harapan untuk melihat Jakarta hijau dengan caranya sendiri akan tetap terjaga. Mungkin dari petani Ciliwung kita belajar satu hal sederhana, bahwa produktivitas tidak selalu diukur dari luas lahan, tapi dari luasnya tekad untuk terus hidup dan memberi kehidupan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

BL
ML
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.