Amir Sjarifuddin Harahap lahir di Medan pada 27 April 1907. Sejak muda, sosoknya dikenal cerdas, berwawasan luas, dan berani mengambil sikap politik yang tegas. Perjalanannya dimulai dengan aktif di berbagai organisasi pergerakan, salah satunya Partindo.
Ia juga mendirikan Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) yang menjadi wadah kaum nasionalis kiri. Kecerdasannya dalam berdebat dan kefasihannya berbicara membuat namanya cepat dikenal. Tak hanya piawai di panggung politik, Amir juga memiliki jiwa organisatoris yang kuat. Pada masa pendudukan Jepang, dirinya tidak tinggal diam. Amir bergerak dalam aktivitas bawah tanah yang bertujuan mempertahankan semangat perjuangan rakyat.
Setelah proklamasi kemerdekaan, kiprahnya semakin menonjol. Amir dipercaya menjabat Menteri Penerangan pada tahun 1945–1946. Tidak lama kemudian, ia diangkat menjadi Menteri Pertahanan. Puncak karier politiknya adalah ketika ditunjuk sebagai Perdana Menteri kedua Republik Indonesia pada tahun 1947. Peran penting ini menempatkannya di jajaran elit pemerintahan, meski langkah politiknya kerap menimbulkan kontroversi.
Dari Kabinet Hingga Madiun
Tahun 1948 menjadi salah satu periode paling genting dalam sejarah Republik yang baru berdiri. Saat itu, situasi politik memanas karena pertentangan ideologi di tubuh pemerintahan. Kabinet yang dipimpin Amir tidak mampu bertahan lama.
Kondisi makin memuncak ketika pecah peristiwa Madiun. Pemerintah pusat menilai kejadian itu sebagai pemberontakan terhadap negara. Nama Amir terseret karena dianggap dekat dengan kelompok kiri yang terlibat. Tuduhan makar semakin kuat ketika dirinya disebut mendukung upaya membentuk pemerintahan bercorak Uni Soviet di Madiun.
Sejak saat itu, Amir bersama tokoh lain seperti Musso dianggap musuh negara. Tentara dikerahkan untuk menumpas gerakan Madiun, sementara Amir menjadi buronan.
Masa Pelarian
Pasca peristiwa Madiun, Amir menjalani hari-hari penuh pelarian. Dari Gunung Wilis hingga Lawu, dari Pati sampai Purwodadi, ia terus berpindah tempat. Kondisinya semakin buruk karena penyakit disentri yang dideritanya. Tubuhnya kurus, lemah, bahkan disebut berjalan tanpa alas kaki. Perjalanan panjang itu akhirnya berakhir ketika pasukan berhasil menangkapnya.
Bagi seorang tokoh yang pernah duduk di kursi perdana menteri, ditangkap sebagai buronan negara adalah ironi terbesar dalam hidupnya. Namun, sejarah mencatat jalan hidupnya memang berakhir dengan tragis.
Dikutip dari laman historia.id, tanggal 19 Desember 1948 menjadi hari terakhir Amir Sjarifuddin. Pagi itu, ia bersama sepuluh rekannya dibawa ke sebuah lokasi eksekusi di daerah Karanganyar, Jawa Tengah.
Liang lahat telah disiapkan untuk mereka. Sebelum dieksekusi, Amir sempat berbicara kepada pimpinan regu tembak, menanyakan apakah para prajurit sudah mengikhlaskan dirinya dan kawan-kawan yang akan ditembak mati. Tak ada jawaban jelas, tapi ia tetap menunjukkan ketegaran luar biasa. Permintaan untuk menulis surat terakhir dikabulkan.
Setelah itu, Amir dan kawan-kawannya melantunkan lagu kebangsaan Indonesia Raya serta Mars Internasionale. Dalam detik-detik genting itu, Amir masih sempat berseru, “Bersatulah kaum buruh seluruh dunia! Mati demi perjuangan!” Tak lama kemudian, dentuman senapan menutup kisah hidupnya. Satu per satu tubuh rebah ke tanah, termasuk sosok yang pernah menjadi pemimpin tertinggi pemerintahan.
Makam yang dilupakan
Setelah dieksekusi, Amir dan sepuluh orang lain dimakamkan di satu liang di TPU Ngaliyan, Karanganyar. Pada masa Orde Baru, keberadaan makam mereka nyaris terlupakan. Tidak ada tanda nisan yang jelas, bahkan kondisinya sangat sederhana.
Baru beberapa dekade terakhir dilakukan penataan ulang makam tersebut. Meski begitu, kondisinya masih jauh dari layak dan sering menjadi keluhan masyarakat. Ironis, mengingat salah satu tokoh yang dimakamkan di sana pernah duduk sebagai perdana menteri negara.
Nama Amir Sjarifuddin selalu memunculkan perdebatan. Bagi sebagian pihak, ia dianggap pengkhianat karena dituduh terlibat pemberontakan. Namun, bagi kalangan lain, sosoknya tetap dihargai sebagai intelektual yang pernah mendedikasikan hidupnya bagi Republik.
Perjalanannya dari orator muda, menteri, hingga perdana menteri menunjukkan kiprah luar biasa seorang anak bangsa. Namun, pilihan ideologi dan pusaran konflik politik membawa hidupnya ke ujung yang tragis.
Kisah Amir sekaligus menjadi pengingat bahwa sejarah bangsa tidak hanya diwarnai pahlawan yang dielu-elukan, tetapi juga tokoh kontroversial yang akhir hidupnya diperdebatkan. Dalam kompleksitas sejarah, penilaian terhadap Amir tergantung dari perspektif yang digunakan: pengkhianat dalam catatan resmi, atau pejuang idealis dalam pandangan lain.
Kisah hidup Amir Sjarifuddin adalah refleksi nyata bahwa sejarah Indonesia penuh warna. Ia pernah menjadi simbol perjuangan, pemimpin bangsa, hingga akhirnya dieksekusi oleh negaranya sendiri. Tragedi yang menimpanya menyimpan pelajaran berharga: politik dan ideologi bisa menjadi kekuatan besar, tapi juga dapat menjatuhkan seseorang ke titik nadir.
Amir meninggalkan warisan berupa jejak pemikiran, semangat intelektual, dan perdebatan panjang yang tidak pernah benar-benar selesai. Sejarah mencatatnya bukan hanya sebagai perdana menteri yang gagal, tetapi juga sebagai sosok yang berani berdiri di jalannya sendiri, meski akhirnya harus membayar dengan nyawa.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News