Beras adalah bahan pangan yang hampir selalu ada di setiap rumah di Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke, nasi menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Hampir setiap hidangan tradisional Indonesia selalu bertumpu pada nasi sebagai sumber energi utama.
Namun, di balik kesederhanaannya, beras menyimpan berbagai karakteristik yang menentukan kualitas sekaligus ketahanannya selama penyimpanan. Salah satu faktor terpenting itu adalah kadar air dalam butiran beras. Banyak orang mengira bahwa semua beras sama saja, tetapi kenyataannya jumlah air di dalam beras sangat memengaruhi mutu dan umur simpan bahan pangan pokok ini.
Secara sederhana, kadar air dapat diibaratkan sebagai ukuran seberapa banyak air yang “terkunci” di dalam butir beras. Bila kadar air terlalu tinggi, beras menjadi lembap dan mudah ditumbuhi jamur. Kondisi lembap ini sering menyebabkan beras cepat berubah warna, berbau apek, dan kehilangan kualitas aroma maupun teksturnya.
Sebaliknya, bila kadar air terlalu rendah, butiran beras justru menjadi rapuh dan lebih mudah pecah saat proses penggilingan. Oleh sebab itu, kadar air ideal, biasanya berkisar antara 13 hingga 14 persen sehingga menjadi acuan penting untuk menjaga mutu beras agar tetap stabil selama penyimpanan maupun distribusi. Rentang ini dianggap paling aman untuk mencegah pertumbuhan mikroba sekaligus menjaga kekuatan fisik butir beras.
Kadar air juga memiliki hubungan langsung dengan hasil gilingan beras. Gabah yang belum kering sempurna akan menghasilkan beras yang lebih banyak patah karena butirannya masih terlalu lunak. Pada saat digiling, tekstur lembek ini membuat beras sulit mempertahankan bentuk aslinya.
Sebaliknya, beras yang sudah cukup kering akan menghasilkan butir utuh yang lebih bagus, sehingga kualitas akhirnya meningkat. Hal ini berdampak langsung pada nilai jual beras di pasaran karena beras utuh selalu dihargai lebih tinggi dibanding beras patah. Dengan demikian, proses pengeringan sebelum penyimpanan bukan hanya sekadar langkah teknis, tetapi menjadi penentu kualitas beras yang sampai ke tangan konsumen.
Untuk memastikan kadar air tetap sesuai standar, berbagai metode pengukuran digunakan di lapangan. Pengukur paling umum adalah moisture meter, alat praktis yang dapat membaca kadar air secara cepat. Namun, cara konvensional seperti mengeringkan sampel beras di dalam oven masih sering dipakai karena hasilnya lebih akurat dan dapat digunakan sebagai pembanding. Seiring perkembangan teknologi, kini tersedia metode yang lebih modern seperti NIRS (Near Infrared Reflectance Spectroscopy).
Teknologi ini memungkinkan pengukuran kadar air tanpa merusak sampel dan hanya memerlukan waktu beberapa detik. Penggunaan alat ini semakin banyak diterapkan di industri pengolahan beras skala besar karena cepat, efisien, dan mampu menangani sampel dalam jumlah besar.
Selain memengaruhi penampilan, kadar air juga berperan dalam menentukan kualitas gizi dan aroma beras. Kadar air yang terlalu tinggi dapat mempercepat proses tengik, terutama pada beras yang masih memiliki sedikit minyak alami di lapisan permukaannya. Proses tengik ini bukan hanya menurunkan rasa, tetapi juga dapat memengaruhi kandungan gizi seperti karbohidrat dan protein. Oleh sebab itu, penyimpanan beras sebaiknya dilakukan pada tempat yang kering, berventilasi baik, dan terhindar dari paparan kelembapan. Jika disimpan di tempat lembap, beras mudah menyerap air dari udara dan kembali basah, sehingga cepat ditumbuhi jamur.
Menariknya, kadar air beras tidak hanya berubah akibat proses pengeringan, tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Udara yang terlalu lembap dapat membuat beras menyerap air secara bertahap, sedangkan udara yang terlalu kering membuat beras kehilangan kelembapannya sehingga butiran beras bisa retak. Inilah yang menyebabkan penyimpanan beras memerlukan perhatian khusus, terutama di daerah tropis seperti Indonesia. Menjaga kadar air agar tetap stabil menjadi kunci utama agar beras dapat bertahan lebih lama dan tetap layak konsumsi.
Dengan memahami bahwa kadar air bukan hanya angka teknis, tetapi cerminan kualitas dan umur simpan, kita dapat lebih memahami bagaimana beras harus ditangani. Beras dengan kadar air ideal dapat bertahan berbulan-bulan tanpa menurun mutunya, sedangkan beras dengan kadar air terlalu tinggi hanya mampu disimpan beberapa minggu sebelum mulai rusak.
Hal sederhana ini memang sering luput dari perhatian, padahal menjadi rahasia utama mengapa sebagian beras lebih awet sementara yang lain cepat basi. Pengetahuan ini penting tidak hanya bagi produsen, tetapi juga bagi konsumen agar mampu menyimpan beras dengan benar demi menjaga kualitas pangan yang dikonsumsi sehari-hari.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News