fenomena intoleransi laktosa pada orang dewasa - News | Good News From Indonesia 2025

Intoleransi Laktosa pada Orang Dewasa: Kenapa Kemampuan Mencerna Laktosa Bisa Menurun?

Intoleransi Laktosa pada Orang Dewasa: Kenapa Kemampuan Mencerna Laktosa Bisa Menurun?
images info

Intoleransi Laktosa pada Orang Dewasa: Kenapa Kemampuan Mencerna Laktosa Bisa Menurun?


Fenomena intoleransi laktosa semakin sering diperbincangkan di berbagai platform media sosial, terutama setelah munculnya beragam unggahan yang membahas mengenai program Makanan Bergizi Gratis (MBG).

Konsumsi susu kota menjadi salah satu menu wajib dalam program tersebut yang faktanya belum tentu bisa diminum semua siswa. Beberapa individu yang diduga memiliki intoleransi laktosa mengalami gejala seperti kembung, nyeri perut, dan diare tak lama setelah mengonsumsi susu yang disediakan.

Kondisi ini beriringan dengan makin banyaknya produk berlabel "lactose-free" yang beredar di pasaran, baik dalam bentuk susu cair, yoghurt, maupun produk makanan olahan.

Peningkatan variasi produk tersebut menunjukkan respons industri pangan terhadap perubahan kebutuhan serta preferensi konsumen dewasa. Hal ini mencerminkan adanya pergeseran pola konsumsi akibat meningkatnya pemahaman terhadap perbedaan toleransi laktosa antarindividu.

Pertanyaan inti yang muncul kemudian adalah "Mengapa kemampuan mencerna laktosa dapat menurun seiring bertambahnya usia?" Untuk menjawab hal tersebut, kali ini kita akan membahas mengenai peran evolusi, faktor genetik, dan dinamika fisiologi pencernaan dalam mengatur produksi enzim laktase.

Pengertian Intoleransi Laktosa dan Perbedaannya dengan Alergi

Banyak orang dewasa melaporkan gejala kembung, diare, dan rasa mulas setelah mengonsumsi susu, meskipun mereka tidak mengalami keluhan serupa saat masih kanak-kanak. Perubahan respon fisiologis ini membuat banyak individu bertanya-tanya apakah kondisi tersebut merupakan kelainan atau justru fenomena biologis yang normal. Ketika pengalaman personal banyak orang menunjukkan pola serupa, hal ini menandakan bahwa terdapat mekanisme biologis yang bekerja secara konsisten dalam populasi manusia.

Mari kita berkenalan dengan intoleransi laktosa, yang merupakan kondisi ketika tubuh tidak mampu mencerna laktosa secara optimal akibat kurangnya produksi enzim laktase di usus halus.

Berdasarkan literatur Widiawati dan Peni (2024), kekurangan enzim ini menyebabkan laktosa yang tidak terurai bergerak ke usus besar dan difermentasi oleh bakteri sehingga menimbulkan gejala seperti kembung, diare, dan gas. Kondisi ini murni bersifat gastrointestinal dan tidak melibatkan sistem imun sehingga tingkat keparahannya umumnya ringan hingga sedang.

Intoleransi laktosa berbeda dengan alergi susu. Adapun alergi susu merupakan reaksi sistem imun terhadap protein susu yang dapat memicu respon sistemik, seperti gatal-gatal, hidung tersumbat, sesak napas, hingga anafilaksis.

Perbedaan ini menunjukkan bahwa intoleransi laktosa dan alergi susu memiliki mekanisme biologis yang sangat berbeda meskipun keduanya sering disalahpahami sebagai kondisi yang sama.

baca juga

Mekanisme Pencernaan Laktosa yang Normal

Dalam kondisi normal, enzim laktase yang terletak pada permukaan sel epitel usus halus berperan memecah laktosa menjadi glukosa dan galaktosa. Kedua monosakarida tersebut kemudian diserap melalui dinding usus dan masuk ke aliran darah sebagai sumber energi.

Pada masa bayi, produksi laktase berada pada tingkat optimum karena susu merupakan satu-satunya sumber nutrisi utama. Aktivitas laktase yang tinggi memastikan bahwa bayi dapat memanfaatkan kandungan energi pada susu secara maksimal untuk proses pertumbuhan dan perkembangan (Nurita et al., 2024).

Seiring bertambahnya usia, kebutuhan akan konsumsi susu sebagai sumber kalori berkurang karena tubuh mulai menerima beragam makanan padat.

Penyebab Penurunan Kemampuan Mencerna Laktosa

Penurunan kemampuan mencerna laktosa umumnya disebabkan oleh kondisi yang disebut lactase non-persistence, yaitu keadaan ketika ekspresi gen pengode laktase mengalami penurunan alami setelah masa penyapihan (Bayless et al., 2017).

Secara perkembangan, mekanisme ini merupakan pola umum pada mamalia karena tidak ada lagi kebutuhan biologis untuk mencerna susu setelah masa bayi. Menurut Goosenberg dan Afzal (2025), kondisi ini sangat umum secara global, terutama pada populasi Asia, Afrika, dan Amerika Selatan, yang menunjukkan prevalensi intoleransi mencapai lebih dari 90%.

Selain faktor genetik, produksi laktase juga secara alami menurun seiring proses penuaan, bahkan pada individu yang memiliki sifat lactase persistent. Penurunan kemampuan mencerna laktosa juga dapat terjadi secara sekunder akibat kerusakan mukosa usus halus oleh kondisi seperti gastroenteritis, penyakit celiac, atau penyakit Crohn (Misselwitz et al., 2019).

Mengapa Gejala Baru Muncul di Usia Dewasa?

Munculnya gejala intoleransi laktosa pada usia dewasa umumnya terjadi karena penurunan aktivitas enzim laktase berlangsung secara perlahan dan tidak langsung menimbulkan keluhan.

Pada tahap remaja atau dewasa muda, tingkat laktase dapat turun di bawah ambang minimal yang dibutuhkan untuk mencerna porsi laktosa yang biasa dikonsumsi. Selain itu, perubahan gaya hidup dan pola makan sering menyebabkan konsumsi susu menjadi semakin jarang sehingga tubuh tidak terbiasa lagi menghadapi beban laktosa yang tiba-tiba.

Ketidakkonsistenan konsumsi ini membuat gejala menjadi lebih mudah muncul ketika seseorang kembali mengonsumsi produk susu setelah lama tidak mengonsumsinya. Kombinasi antara penurunan enzim yang gradual dan variasi pola makan ini menciptakan kesan bahwa gejala muncul “tiba-tiba”, padahal proses biologisnya berlangsung bertahun-tahun.

Kesimpulan

Intoleransi laktosa tidak dapat dipandang sebagai kelainan, melainkan sebagai variasi biologis yang sejalan dengan sejarah evolusi spesies kita. Kemampuan mencerna laktosa yang menurun setelah masa kanak-kanak merupakan proses biologis yang normal bagi sebagian besar populasi manusia di dunia. Kondisi ini mencerminkan pola evolusi mamalia, di mana kebutuhan untuk mengonsumsi susu hanya berlangsung pada fase awal kehidupan.

Meskipun intoleransi laktosa umum terjadi, seseorang tetap dapat menikmati produk susu melalui pemilihan bahan pangan yang rendah atau bebas laktosa. Produk seperti susu lactose-free, yoghurt fermentasi, keju tua seperti cheddar atau parmesan, dan susu nabati fortifikasi dapat menjadi alternatif yang aman bagi pencernaan.

Proses fermentasi pada yoghurt dan keju tua menurunkan kadar laktosa sehingga lebih mudah ditoleransi oleh individu dengan aktivitas laktase rendah. Selain itu, susu rendah laktosa yang diproses dengan tambahan enzim laktase menawarkan pilihan yang tetap bernutrisi tanpa menimbulkan gejala.

baca juga

Referensi:

  • Bayless, T. M., Brown, E., dan Paige, D. M. 2017. Lactase non-persistence and lactose intolerance. Current Gastroenterology Reports, 19(23): 1–11.
  • Goosenberg, E., dan Afzal, M. 2025. Lactose intolerance. StatPearls Publishing.
    Misselwitz, B., Butter, M., Verbeke, K., dan Fox, M. R. 2019. Update on lactose malabsorption and intolerance: Pathogenesis, diagnosis and clinical management. Gut, 68: 2080–2091.
  • Nurita, S. R., Perwitasari, B. T., dan Indrawati, I. 2024. Keseimbangan foremilk & hindmilk ASI bagi pertumbuhan bayi. PT Salim Media Indonesia.
  • Widiawati, W., dan Peni, T. 2024. ANALISIS ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN DIARE MELALUI PEMBERIAN FORMULA BEBAS LAKTOSA DI RSUD Prof. Dr. SOEKANDAR MOJOKERTO. Skripsi. Mojokerto: Universitas Bina Sehat PPNI.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

TA
FS
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.