Garut sudah lama memikat para pelancong, bahkan sejak zaman Hindia Belanda. Namun, pesona Garut tidak muncul begitu saja, Kawan. Ada jejak masa lalu yang ikut membangun citra Garut sebagai salah satu destinasi wisata paling memesona di Jawa Barat
Dua tokoh di antaranya adalah fotografer perempuan kelahiran Indonesia berdarah Jerman, Thilly Weissenborn, dan saudagar perkebunan sekaligus sastrawan Sunda, Karel Frederick Holle.
Keduanya meski berbeda bidang menjadi bagian dari perjalanan panjang yang membuat Garut dikenal, dihargai, dan dicintai karena keindahan alam serta kekayaan budayanya.
Thilly Weissenborn, Perempuan yang Memotret Dunia dari Garut

Foto : Leiden University Libarieson
Tak banyak yang tahu bahwa julukan “Swiss van Java” yang begitu terkenal itu dipopulerkan oleh seorang perempuan. Ia adalah Thilly Weissenborn, fotografer profesional pertama di Hindia Belanda, lahir di Kediri tahun 1883.
Setelah bekerja di studio Ornes Kurtdijan di Surabaya pada tahun 1913, Thilly ditugaskan ke Priangan Timur tepatnya Garut, Kawan. Dari sanalah perjalanan yang mengubah wajah pariwisata Garut dimulai.
Thilly tidak hanya memotret, ia menangkap jiwanya Garut: panorama pegunungan berkabut, udara sejuk yang turun dari bukit, suasana lembah yang penuh keteduhan.
Buktinya masih bisa kita lihat, Kawan. Arsip fotonya tersimpan rapi di situs Leiden University. Bahkan ia memiliki rumah dan studio foto di Garut, tanda bahwa daerah ini bukan sekadar tempat bekerja melainkan ruang kreatif yang ia cintai.
Lewat lensa Thilly, Garut menjadi nama yang harum: Papandayan, Situ Bagendit, Ngamplang, Situ Cangkuang, dan berbagai keindahan lain terdokumentasi dengan elegan.
Warisan visual ini membawa dampak besar. Garut dikenal sebagai daerah berpotensi wisata luar biasa dan manfaatnya masih dirasakan masyarakat hingga hari ini.
Karel Frederick Holle: Saudagar, Sastrawan Sunda, dan Sahabat Priangan
Tokoh kedua yang tak kalah penting adalah Karel Frederick Holle, pria kelahiran Amsterdam tahun 1829. Ia datang sebagai saudagar dan pengusaha perkebunan. Namun, pulang sebagai figur yang meninggalkan pengaruh besar pada budaya dan alam Sunda.
Holle membangun dan mengembangkan perkebunan teh di kawasan Cikajang, Giriawas, dan Ngamplang. Perkebunan-perkebunan ini hingga kini masih menjadi daya tarik wisata alami Garut, sebuah panorama indah yang bisa Kawan nikmati hingga hari ini.
Tidak hanya itu, Holle juga dikenal sebagai sastrawan Sunda yang sangat fasih berbahasa Sunda. Berkat kedekatannya dengan tokoh Sunda besar, Raden Haji Muhammad Musa, Holle ikut menulis, mendokumentasikan, dan memperkaya karya-karya sastra Sunda.
Monumen KF Holle yang dulu berdiri di alun-alun Garut adalah saksi kontribusinya meski kini monumen itu tidak lagi ada setelah masa pendudukan Jepang.
Lisannya mengabdi pada budaya, tangannya bekerja untuk alam, dan karyanya hidup hingga sekarang, kawan.
Garut Hari Ini, Warisan Positif yang Menghidupkan Masa Depan

Foto : Dok. Pribadi Agus Kusdinar
Kisah Thilly dan Holle menunjukkan satu hal penting: Garut tidak tumbuh menjadi kawasan wisata terkenal secara tiba-tiba. Ada sejarah, ada dedikasi, ada tangan-tangan yang bekerja untuk mengangkat keindahan Priangan, kawan.
Kini Garut berdiri sebagai salah satu destinasi wisata unggulan di Jawa Barat dengan:gunung berapi yang memesona, danau atau situ yang menenangkan, perkebunan teh yang hijau menyejukkan, serta budaya Sunda yang tetap hidup dan membumi.
Warisan kedua tokoh tersebut—melalui foto, perkebunan, dan karya sastra—menjadi bagian dari narasi besar Garut, yang terus mengalir dan berkembang hingga hari ini.
Inilah Garut, Kawan.
Inilah Swiss van Java.
Dan inilah kisah optimistis yang tetap hidup dari masa ke masa.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News