Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Ketenger adalah sebuah pembangkit listrik bertenaga air yang ada di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. PLTA ini merupakan hasil karya di era kolonial Belanda.
Menyadur dari sebuah tulisan konferensi ilmiah tulisan Gita Ariyani dkk di UMP Press, PLTA Ketenger dibangun oleh pemerintah kolonial di tahun 1935. Pembangunan ini sejalan dengan upaya Belanda untuk membangun pembangkit listrik bertenaga air guna memenuhi kebutuhan air di berbagai daerah.
Dulu, operasional dan pemeliharannya dilakukan oleh Electriciteit Maatschappij Banjoemas (EMB)—perusahaan listrik Belanda yang khusus menangani distribusi dan pengelolaan energi di wilayah Banyumas. PLTA Ketenger juga menjadi PLTA pertama yang dibangun di Karesidenan Banyumas.
Sejarah PLTA Ketenger
Pembangunan PLTA Ketenger sudah disetujui sejak 1926 oleh Algemeene Nederlandsen-Indische Electriciteit Maaschappij (ANIEM). Proyek ini menelan biaya sekitar 1,5 juta gulden.
Dirancang oleh insinyur kenamaan asal Negeri Kincir Angin, Ir. G. S. Goemans, PLTA Ketenger membendung Sungai Banjaran yang mengaliri Desa Ketenger. Debit air di kawasan hulu sungai cukup besar. Belum lagi curah hujan yang tinggi membuat proyek ini tampak begitu menjanjikan.
Akhirnya, setelah merampungkan survei teknis pada 1932, pembangunan pun dimulai. Berdiri di atas lahan seluas 4 hektare, proyek Ketenger mencakup tiga wilayah desa sekaligus, yaitu Desa Ketenger, Desa Melung, dan Desa Karang Tengah.
Pembangunannya dilakukan selama dua periode. Di periode pertama, Belanda membangun bak pengendap, pipa beton, kolam tando, dan bak pelimpah. Pengerjaannya dimulai pada 1935 hingga 1937.
Lalu, pada periode kedua, Belanda mulai menggarap pembangunan pipa pesat, gedung sentral, turbo generator, dan kelengkapan lainnya pada tahun 1937 sampai 1939. Pengerjaannya dilakukan oleh warga pribumi. Konon, mereka melakukan semua pekerjaan fisik yang begitu berat karena banyak material harus diangkut dengan cara tradisional akibat medan yang cukup sulit.
Meskipun demikian, Belanda kemudian mempersiapkan infrastruktur pendukung berupa jalur transportasi melalui pengerasan dan pelebaran jalan dari Stasiun Staatspoorwagen (SS) yang ada di Purwokerto hingga Desa Ketenger.
Selain itu, pemerintah kolonial juga membangun jalur rel lori sepanjang 2,2 km yang dilengkapi jembatan rel yang melintas di atas Sungai Gemawang, Sungai Ketenger, dan Sungai Banjaran. Jalur ini dipakai untuk membantu memperlancar pengangkutan material bangunan ke lokasi proyek PLTA Ketenger.
Walaupun dilengkapi dengan infrastruktur pendukung dan ratusan pekerja, pembangunan PLTA Ketenger tetap menghadapi beberapa kendala. Medan yang berat dan curah hujan yang relatif tinggi sempat membuat pembangunan pembangkit tersendat.
Pengerjaan PLTA Ketenger dinyatakan rampung total pada 31 Januari 1939. Kemudian, sehari setelahnya, PLTA mulai dioperasikan untuk menyalurkan listrik di wilayah sekitar.
Satu tahun pertama beroperasi, total energi listrik yang diproduksi PLTA Ketenger adalah sekitar 8.500.000 kWh. Seluruh aliran listrik disalurkan lewat jaringan bertegangan tinggi.
Setelah bertahun-tahun dikelola Belanda, penguasaan PLTA Ketenger sempat jatuh ke tangan Jepang di tahun 1942. Kemudian, pasca-merdeka, akhirnya PLTA ini diambil alih oleh pemerintah Indonesia.
Namun, saat momen Agresi Militer I dan II, PLTA Ketenger kembali dikuasai Belanda. Bahkan, Belanda juga sempat melakukan perbaikan pada pembangkit itu.
Tahun 1950, PLTA Ketenger resmi diserahkan kembali pada pemerintah Indonesia. Kini, pengelolaannya berada di bawah anak perusahaan Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT PLN Indonesia Power.
Sejak saat itu, PLTA Ketenger pernah mengalami beberapa kali perbaikan agar tetap laik dan berkontribusi apik untuk masyarakat di sekitarnya. Dengan pipa super besar dan panjang, daerah sekitar dapat dialiri air bersih dengan baik serta membantu menggerakkan pompa irigasi petani.
PLTA Ketenger yang Ramah Lingkungan
Melalui PLN Indonesia Power, dijelaskan bahwa PLTA Ketenger tidak menghasilkan emisi gas buang, abu, maupun limbah, sehingga ramah lingkungan. Selain itu, ada program Corporate Social Responsibility (CSR) yang bertujuan untuk mengurangi erosi di daerah sekitar sungai agar tidak terjadi penumpukan material yang berpotensi menyumbat aliran air dan mengurangi kapasitas tampung di waduk.
Luar biasanya, dengan pengelolaan CSR dan sinergi dengan masyarakat yang baik, kini masyarakat di Dusun Kalipagu memiliki tempat pembuangan sementara (TPS) yang berfungsi untuk menampung sampah. TPS ini sangat membantu mengurangi kebiasaan warga yang dulu gemar membuang sampah di aliran sungai, sehingga tak ada lagi gangguan dalam produksi listrik di PLTA Ketenger.
PLTA ini memanfaatkan energi potensial—tinggi jatuh muka air—untuk menggerakkan turbin demi menghasilkan listrik. PLTA Ketenger merupakan salah satu sumber energi baru dan terbarukan (EBT) yang bisa mendukung pembangunan sosial dan ekononomi masyarakat sekitar.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News