Kasus dugaan pelecehan seksual di internal PT Trans Jakarta kembali membuat publik “meradang” karena alasannya yang tak masuk akal. Tiga karyawan perempuan melaporkan bahwa mereka mengalami pelecehan oleh seorang atasan, sedangkan penanganan internal perusahaan dianggap lambat, tidak transparan.
Meski PT Trans Jakarta sempat menjanjikan investigasi, langkah-langkahnya dipertanyakan publik karena kabarnya korban masih dalam keadaan trauma, belum mendapat kejelasan, dan terpaksa mempertimbangkan pelaporan ke polisi untuk mendapatkan rasa aman yang seharusnya bisa mereka temukan di tempat bekerja.
Pertanyaannya adalah jika hukum ketenagakerjaan Indonesia sudah punya perangkat untuk melindungi pekerja dari pelecehan seksual, kenapa kasus ini masih terasa seperti season 7 dari sinetron yang nggak ada ujungnya?
Secara normatif, hukum Indonesia sebenarnya tidak kekurangan amunisi. Undang-Undang Ketenagakerjaan, UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual), Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 48 Tahun 2018 tentang Rumah Aman bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan, hingga pedoman penanganan kekerasan berbasis gender di tempat kerja, semuanya sudah tersedia. Bahkan Komnas Perempuan dan Kemenaker sudah berkali-kali menerbitkan panduan teknis agar perusahaan memiliki SOP anti-pelecehan yang jelas, mulai dari pencegahan, mekanisme pelaporan yang aman, hingga sanksi administratif.
Di sisi lain, penerapan teknik legislasi berupa omnibus law, khususnya melalui Undang‑Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan tindak lanjutnya dalam UU No. 6 Tahun 2023 sebetulnya memperkenalkan kerangka baru dalam bidang ketenagakerjaan dengan menggabung, menyederhanakan, dan merevisi sejumlah ketentuan agar regulasi menjadi fleksibel. Omnibus law memperjelas bahwa budaya perusahaan dan mekanisme internal benar-benar mengutamakan pemulihan korban, bukan sekadar mitigasi reputasi perusahaan.
Namun dalam praktiknya, implementasi peraturan ini sering kali kalah oleh budaya “yang penting perusahaan aman dari skandal”, alih-alih memprioritaskan pemulihan korban.
Masyarakat mulai mempertanyakan mengenai kenapa prosesnya tidak dibuka kepada publik, padahal ini menyangkut keselamatan pekerja perempuan yang jumlahnya bahkan ribuan. Transparansi bukan hanya soal menjelaskan siapa salah siapa benar, tapi menunjukkan bahwa perusahaan punya sistem yang berpihak pada korban, bukan sekadar damage control. Ketika korban masih dalam keadaan trauma, sementara kasusnya “diproses secara internal”, wajar bila hal ini menjadi perbincangan dunia maya. Terlebih, pelaku hanya diberi sanksi SP2 dan masih dipekerjakan di dalam sana. Bukannya curiga, tapi… ya, curiga(?).
Padahal hukum ketenagakerjaan Indonesia sudah cukup tegas. Perusahaan wajib melindungi pekerja dari kekerasan dan pelecehan, menyediakan jalur pelaporan yang aman, menindak pelaku, serta memastikan korban tidak didiskriminasi atau dibungkam. UU TPKS bahkan mengatur bahwa penanganan harus dilakukan dengan perspektif korban yang tidak mengintimidasi, tidak memaksa memberikan kronologi berulang-ulang, dan harus menyediakan pendampingan psikologis.
Di Jakarta, aturan tersebut diperkuat oleh perangkat daerah yang menyediakan layanan pengaduan dan rujukan, termasuk P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) yang bisa memberikan konseling hingga pendampingan hukum. Artinya, korban tidak seharusnya sendirian.
Sayangnya, banyak perusahaan masih memperlakukan pelecehan seksual sebagai masalah “pelanggaran disiplin internal”, bukan sebagai kejahatan berbasis kekuasaan dan gender. Akibatnya, investigasi sering dilakukan secara diam-diam, tanpa pendamping ahli, dan tanpa SOP yang memadai. Beberapa malah menempatkan korban dan pelaku dalam ruangan yang sama untuk “klarifikasi”, seolah sedang menyelesaikan masalah rebutan Tumblr, bukan tentang luka psikologis yang dampaknya bisa panjang. Ketika korban akhirnya memilih melapor ke polisi, justru hal ini menunjukkan indikator gagalnya perusahaan melindungi orang-orang yang bekerja di dalamnya.
Dugaan pelecehan bukanlah hal baru di kota besar seperti Jakarta, tapi ketika itu terjadi di lingkungan BUMD, ekspektasinya tentu berbeda. Masyarakat ingin melihat bagaimana hukum yang sudah disusun dengan susah payah bekerja, bukan bagaimana birokrasi menyelipkan kasus di bawah karpet.
Jika sebuah perusahaan milik daerah saja tidak bisa memenuhi standar perlindungan pekerja, bagaimana nasib pekerja di sektor swasta dengan lingkup kecil yang jauh dari sorotan publik?
Bagi PT Trans Jakarta, penting untuk membuka proses penanganan secara lebih transparan, bukan hanya merinci kronologinya, tetapi menjelaskan mekanisme terkait apakah ada tim independen? Apakah korban mendapat pendampingan psikologis? Apakah pelaku dibebastugaskan selama investigasi? Tanpa kejelasan ini, publik hanya mendapat kabar bahwa “kasus dalam proses”, yang rasanya mirip seperti balasan chat “lagi otw” padahal posisinya masih di rumah.
Hukum kita sebenarnya cukup baik di atas kertas, namun implementasinya masih sering bergantung pada keberanian individu di dalam sistem. Padahal perlindungan pekerja bukanlah urusan keberanian personal, melainkan tanggung jawab struktural. Jika perusahaan tidak menunjukkan komitmen yang jelas, wajar jika korban mencari keadilan di tempat lain, bahkan jika itu berarti harus menghadapi proses hukum yang panjang, melelahkan, dan penuh risiko.
Pada akhirnya, yang dibutuhkan para pekerja adalah kepastian bahwa ketika sesuatu yang buruk terjadi, mereka tidak akan dibiarkan berjalan sendirian.
Seberapa kuat sebuah lembaga diuji bukan terlihat dari seberapa besar armadanya, seberapa banyak layanannya, atau seberapa sering ia dipuji publik, tetapi dari cara ia memperlakukan orang-orang yang terluka di dalamnya.
Rasa aman bukanlah sebuah bonus, itu hak paling dasar yang seharusnya dijaga tanpa syarat. Ketika sebuah institusi gagal memenuhi hak itu, Jakarta perlu untuk bersuara dan menuntut perubahan. Karena tidak ada pembangunan, pelayanan, atau sistem transportasi yang layak dibanggakan bila hati dan martabat pekerjanya saja tidak mampu untuk melindungi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News