Federasi sepak bola Indonesia, PSSI pusing bukan kepalang pada 1973. Masalahnya prestasi Timnas Indonesia seret tidak seperti tahun-tahun sebelumnya.
Jika pada 1972 Indonesia sanggup menjuarai turnamen internasional dalam negeri Anniversary Cup, ceritanya menjadi lain setahun berikutnya. Yudo Hadianto cs gagal total dalam ajang yang sama dan memble ketika mengikuti ajang President Park’s Cup di Korea Selatan.
Bagi Ketua Umum PSSI, Kosasih Purwanegara kegagalan di President Park’s Cup menjadi teramat memalukan. Karena tidak hanya menjadi juru kunci Grup 1, tetapi Indonesia bisa-bisanya dikalahkan negara yang sedang berkonflik yaitu Khmer (Kamboja) dengan skor 1-3.
“Negara Khmer kini bukan saja sedang perang, malah hampir dicaplok. Tetapi toh tim sepak bolanya bisa menang. Sungguh sakit!” ucap Kosasih, dikutip Good News From Indonesia dari artikel Kompas berjudul “Ekor Kegagalan di Seoul – Tony Pogaknik Akan Menangani Langsung TC PSSI” terbitan 28 September 1973.
Sesuai judul artikel tersebut, PSSI siap mengusahakan memanggil kembali pelatih asing yang pernah lama mengabdi untuk sepak bola Indonesia, Antun “Toni” Pogacnik. Saat itu, Toni sudah jauh dari sepak bola karena telah pensiun dan fokus mengurus hotelnya di Kuta, Bali.
Tatkala Toni santer disebut akan kembali melatih Timnas Indonesia, timbul kabar lain bahwa PSSI menginginkan pelatih Burma (kini Myanmar) yakni Bert Trautmann. Secara prestasi Trautmann cukup bagus dengan membawa Burma juara Anniversary Cup 1973. Namun, jika prestasi itu belum bisa dikatakan mentereng, mungkin reputasinya sebagai legenda sepak bola Inggris dapat membuat orang-orang memandangnya lebih tinggi.
Prajurit Nazi Jadi Legenda Man City
Bernhard Carl “Bert” Trautmann menjadi legenda sepak bola Inggris meskipun bukan asli negara tersebut. Ia lahir dari pasangan kelas pekerja, Karl dan Frieda, di Bremen, Jerman pada 22 Oktober 1923.
Trautmann kecil tumbuh sebagai pemuda yang gemar berolahraga. Secara perawakan ia seperti orang Jerman kebanyakan. Berambut pirang, mata biru, dan tubuh tegap atletis karena dibentuk dengan hobi olahraganya. Modal itu pun sangatlah cukup membuatnya bergabung dengan organisasi paramiliter yang didirikan Partai Nazi, Hitlerjugend atau Pemuda Hitler.
“Berni, bocah yang sanggup berlari kencang, melompat tinggi, memukul dengan keras dan menangkap bola itu kemudian menjadi bintang tidak hanya di kelasnya tetapi juga seluruh sekolah. Dan pada 1933, ia bergabung dengan Pemuda Hitler,” tulis Catrine Clay dalam buku Trautmann’s Journey: From Hitler Youth to FA Cup Legend.
Singkat cerita, Trautmann menjadi prajurit Nazi yang ditempatkan di front timur pada Perang Dunia II. Ia sempat ditangkap, kabur, ditangkap lagi, dan kabur lagi saat menjalankan misinya.
Nasib Trautmann pun berakhir saat bertemu tentara Inggris. Oleh mereka, ia dibawa serta ditahan di beberapa tempat penahanan. Di situlah, Trautmann menjalani kehidupan kedua dan menjelma menjadi pesepak bola dengan berposisikan penjaga gawang atau kiper.
Bert Trautmann beraksi mengawal gawang Manchester City saat melawan klub Belanda, Sportclub Enschede dalam sebuah laga persahabatan di Stadion Diekman pada 10 Agustus 1957. (Foto: Twentsch Dagblad Tubantia)
Bakatnya lalu tercium klub Liga Inggris, Manchester City. Dan bergabunglah Trautmann dengan kub Kota Manchester itu meskipun ia harus kuat mental karena diancam akan dibunuh oleh publik atau fan yang tidak senang dengan latar belakangnya.
Berangsur-angsur Trautmann membersihkan namanya melalui sepak bola. Puncaknya terjadi di final Piala FA di mana Manchester City dibawanya juara setelah mengalahkan Birmingham 3-1 pada 5 Mei 1956. Laga itu disebut “The Trautmann Final” karena Trautmann tampil penuh dalam keadaan leher patah setelah bertubrukan dengan pemain lawan, Peter Murphy. Kisah heroik itu lantas tercatat dalam sejarah sepak bola Inggris dan dijadikan biopik pada 2018 dengan judul The Keeper.
Biopik Bert Trautmann berjudul The Keeper yang tayang 2018 lalu. (Foto: IMDb)
PSSI Lirik Trautmann
Trautmann setelah pensiun menjadi pelatih di beberapa tim salah satunya Burma pada 1972. Kecakapannya melatih diperlihatkan dengan membawa negara itu lolos ke Olimpiade Munchen setelah melibas Indonesia 3-0 dan Thailand 1-0 di babak kualifikasi.
PSSI melirik Trautmann pada pengujung 1973. Menurut pengakuan Kosasih, PSSI sudah berkonsultasi dengan Toni Pogacnik sebelum mendatangkan Trautmann ke Indonesia.
“Semuanya hasil pemikiran pengurus PSSI. Hanya setelah itu kami diskusikan dengan Toni,” kata Kosasih, dilansir dari artikel Kompas berjudul “Bert Trautmann Akan Meneruskan Tugas Tony Poganik” terbitan 13 November 1973.
Potongan artikel surat kabar Kompas yang memberitakan Bert Trautmann diincar PSSI untuk ditugaskan melatih Timnas Indonesia. (Foto: Kompas)
Awalnya Trautmann diproyeksikan menjadi pelatih pengganti Toni yang sudah ditugaskan melatih Timnas Indonesia skuad senior selama tiga tahun. Akan tetapi, PSSI tidak mau menunggu terlalu lama sehingga siap memberi Trautmann tugas melatih pemain junior di Diklat Salatiga.
PSSI punya kans karena kontrak Trautmann baru berakhir Januari 1974 meskipun ada kabar Burma akan memperpanjang masa baktinya sampai tengah tahun. Maka dari itu, PSSI meminta bantuan delegasi Indonesia di Jerman Barat untuk melakukan lobi-lobi agar pada pertengahan tahun tersebut Trautmann sudah bisa bertugas.
Harapan PSSI merekrut pelatih asing pun tidak kesampaian pada 1974. Toni enggan kembali melatih karena tersinggung dengan sikap PSSI, begitu juga Trautmann yang merasa PSSI tidak memperlihatkan keseriusan. Trautmann sendiri akhirnya sepakat melatih Tanzania selama dua tahun.
“Sebab-sebab mengenai kegagalan itu karena PSSI semula ‘maju-mundur’ dalam merealisasi kedatangan Bert Trautmann ke Indonesia. Maka daripada menunggu kontrak yang tidak ada ujung pangkalnya Bert memalingkan peminat yang lebih serius,” lapor wartawan Kompas, Ignatius Sunito lewat artikel “Bert Trautmann Dikontrak Tanzania” terbitan 13 September 1974.
PSSI setelah itu memanfaatkan pelatih lokal untuk beberapa agenda Timnas Indonesia. Perekrutan pelatih asing baru terealisasi pada April 1975 di mana pelatih Belanda, Wiel Coerver sepakat memimpin Timnas Indonesia untuk kualifikasi Olimpiade Montreal.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News