langkah kementerian keuangan menyalurkan rp 200 triliun ke perbankan dinilai langkah yang besar tetapi risiko juga tak kalah besar - News | Good News From Indonesia 2025

Injeksi Dana Rp200 Triliun ke Perbankan sebagai Stimulus Berani dengan Risiko yang Tidak Kecil

Injeksi Dana Rp200 Triliun ke Perbankan sebagai Stimulus Berani dengan Risiko yang Tidak Kecil
images info

Injeksi Dana Rp200 Triliun ke Perbankan sebagai Stimulus Berani dengan Risiko yang Tidak Kecil


Keputusan Kementerian Keuangan pada 12 September 2025 untuk menempatkan dana negara sebesar Rp200 triliun ke lima bank BUMN (Himbara), yaitu Bank Mandiri, BNI, BRI, BTN, dan BSI merupakan langkah fiskal yang berani.

Alih-alih membiarkan dana mengendap di Bank Indonesia, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa memilih mengalirkannya langsung ke sistem perbankan dengan harapan dapat menjadi penggerak baru bagi kredit riil, terutama ketika perekonomian menunjukkan tanda-tanda stagnasi. Secara konsep, kebijakan ini patut diapresiasi karena menunjukkan keberanian untuk mengoptimalkan likuiditas demi mendorong aktivitas ekonomi yang lebih produktif.

Namun, inisiatif besar ini tidak datang tanpa konsekuensi. Para ekonom melihat adanya risiko serius yang harus dikelola dengan disiplin tinggi. Peningkatan likuiditas perbankan dalam jumlah besar dapat menekan suku bunga domestik dan mendorong arus modal keluar (capital outflow) sehingga investor global memindahkan portofolio mereka ke negara lain yang menawarkan imbal hasil lebih menarik.

Kekhawatiran ini dikemukakan oleh Ekonom UGM, Denni Puspa Purbasari, Ph.D., menilai bahwa potensi arus modal keluar dapat memperburuk depresiasi rupiah serta memperlebar defisit transaksi berjalan. Indikasi kerentanan ini semakin terasa bila melihat bahwa rupiah sepanjang tahun 2025 hanya melemah tipis terhadap Dolar AS, tetapi mengalami tekanan lebih berat terhadap Yuan, Dolar Singapura, Dolar Australia, dan Euro menjadi sebuah sinyal bahwa kepercayaan investor mungkin mulai menurun.

Dalam konteks inilah kehati-hatian menjadi kunci. Pemerintah harus memastikan bahwa upaya mendorong pertumbuhan tidak mengorbankan stabilitas eksternal. Koordinasi fiskal dan moneter yang kuat sangat diperlukan, apalagi stabilitas nilai tukar berada di tangan Bank Indonesia. Tanpa keseimbangan kebijakan, stimulus fiskal justru berpotensi menciptakan volatilitas baru di pasar keuangan, yang pada akhirnya menggerus manfaat dari kebijakan itu sendiri.

Di sisi lain, injeksi dana Rp200 triliun tersebut jelas memberikan dorongan signifikan pada likuiditas perbankan. Dengan sebagian besar dana ditempatkan dalam bentuk deposito oncall, posisi dana pihak ketiga bank-bank Himbara terdongkrak dalam waktu singkat. Dampaknya langsung terlihat pada potensi peningkatan jumlah uang beredar, yang bahkan diperkirakan bisa mendorong pertumbuhan M2 hingga 8,5%.

Namun, kelonggaran likuiditas ini juga membawa tekanan inflasi. Saat ini inflasi berada pada level relatif rendah, sekitar 2,3%, tetapi suntikan likuiditas yang besar ini diprediksi meningkatkan inflasi sekitar 0,4% hingga 0,5% dalam tiga hingga empat bulan.

Menjelang akhir 2025, inflasi diperkirakan bergerak ke kisaran 2,7–2,8% masih dalam target Bank Indonesia, tetapi tetap menjadi peringatan bahwa likuiditas yang berlebihan memerlukan pengawasan ketat karena akan berpotensi meningkatkan inflasi. Namun, manfaatnya tidak dapat diabaikan.

Dengan banyaknya likuiditas, pertumbuhan simpanan diproyeksikan meningkat dari 8% menjadi 11-12% pada akhir tahun, sementara rasio pinjaman ke simpanan turun ke kisaran 83-84%. Kondisi ini mengurangi ketatnya persaingan antarbank dalam merebut dana masyarakat.

Ketika tekanan kompetisi mereda, suku bunga deposito akan turun secara alami dan ini menjadi pintu masuk bagi penurunan bunga kredit. Selama ini, mahalnya biaya dana menjadi hambatan utama bank dalam menurunkan suku bunga pinjaman.

Jika deposit rate merosot, transmisi kebijakan moneter akan bekerja lebih efektif. Perbankan memiliki ruang lebih besar untuk memangkas bunga kredit, yang pada gilirannya memberi peluang bagi dunia usaha untuk memperluas investasi dan ekspansi. Secara teori, kondisi ini dapat menciptakan dorongan baru bagi pertumbuhan ekonomi.

Pertanyaan yang tersisa adalah sejauh mana permintaan kredit dari sektor riil mampu menyerap likuiditas ini, serta apakah bank menyalurkannya pada sektor yang benar-benar produktif, bukan hanya menumpuknya dalam instrumen aman yang tidak menghasilkan multiplier effect berarti. Kebijakan ini menawarkan peluang besar, tetapi sekaligus membawa risiko besar.

Masa depan efektivitasnya bergantung sepenuhnya pada disiplin pengelolaan, koordinasi fiskal dan moneter yang solid, serta kemampuan pemerintah dan perbankan menjaga keseimbangan antara dorongan pertumbuhan dan stabilitas makro. Tanpa itu, langkah berani ini berpotensi kehilangan tujuannya atau bahkan menjadi bumerang bagi perekonomian.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

HE
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.