menyelisik sejarah bissu dari tanah bugis - News | Good News From Indonesia 2025

Sejarah Bissu, Penyambung Lidah ‘Dewata’ dan Penjaga Pusaka Kerajaan di Tanah Bugis

Sejarah Bissu, Penyambung Lidah ‘Dewata’ dan Penjaga Pusaka Kerajaan di Tanah Bugis
images info

Sejarah Bissu, Penyambung Lidah ‘Dewata’ dan Penjaga Pusaka Kerajaan di Tanah Bugis


Siapa yang menyangka jika konsep keberagaman gender telah muncul sejak peradaban Bugis kuno? Tidak hanya dua, seperti yang diyakini masyarakat modern, ada lima gender yang dianggap mewakili identitas setiap manusia oleh orang Bugis.

Salah satu gender yang memegang peranan penting dalam sejarah kebudayaan Bugis adalah Bissu, sosok yang dianggap "setengah dewa" ini tidak didefinisikan sebagai perempuan atau laki-laki. Hal ini dilatarbelakangi oleh perannya sebagai komunikator antara dewa dan manusia sehingga mereka terlepas dari urusan duniawi yang melekat pada gender lainnya.

Lalu, bagaimana cikal bakal lahirnya Bissu dan eksistensinya yang mampu memberi keberagaman warna di dalam kebudayaan Bugis hingga hari ini?

baca juga

Eksistensi Bissu dalam Sejarah Bugis Kuno

To manurung, manusia bugis pertama yang turun ke bumi Sulawesi, diyakini muncul bersama para Bissu. Kehadiran ini bertujuan agar Bissu dapat berperan sebagai penyambung lidah para dewa menggunakan Basa Torilangi (Bahasa Orang Langit) yang dianugerahkan kepadanya.

Dikutip dari artikel prosiding HISPISI pada tahun 2016, Bissu turut andil dalam membesarkan kerajaan-kerajaan Bugis sebagai pelayan raja dan pengabdi masyarakat.

Hal ini terlihat jelas dari kehadiran Bissu dalam setiap upacara seremonial kerajaan hingga kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti mappalili (upacara menanam padi), mappadendang (upacara panen padi), kelahiran, perkawinan, kematian, tolak bala, hajatan, hingga acara persembahan lainnya.

Perannya yang krusial dan komprehensif dipengaruhi oleh keyakinan atas kemampuannya sebagai perantara komunikasi antara para dewa dan peradaban manusia sehingga setiap wilayah kerajaan memerlukan kehadiran Bissu untuk mengawasi kekuasaan dan memberkahi kehidupan masyarakat.

Karena kemampuan berbahasanya ini, Bissu menjadi penutur dan penjaga tradisi sastra lisan Bugis, yaitu sureq (nyanyian) La Galigo, sekaligus perawat arajang (pusaka) yang menjadi simbol kekuasaan para dewa yang diwakilkan oleh para raja Bugis untuk menjalankan pemerintahannya berdasarkan kejujuran dan kemuliaan.

Tugas-tugas yang dijalankan para Bissu menggambarkan kejayaan eksistensinya pada masa kerajaan Bugis. Hal ini terjadi karena keyakinan masyarakat akan kekuasaan sejati hanyalah milik para dewa sehingga cara untuk memenuhi kehidupan dengan keberkahan adalah melibatkan Bissu sebagai sang komunikator ulung dalam berbagai lini aktivitas kerajaan dan kemasyarakatan.

Islamisasi Kerajaan dan Peran Bissu yang Kian Memudar

Kejayaan Bissu mengalami kemunduran. Bukan karena persoalan regenerasi, melainkan masuknya Islam di tanah Sulawesi telah mengubah stigma masyarakat tentang kehadiran Bissu.

Awal islamisasi yang dipelopori Kerajaan Gowa berjalan damai dengan pendekatan tasawuf yang dapat disesuaikan dengan kepercayaan lokal masyarakat. Sayangnya, kehadiran islam fundamentalis menggugat kehadiran Bissu yang dianggap menyimpang dari keyakinan agama.

Belum lagi proses adaptasi nilai-nilai keislaman telah mengubah corak dan tatanan kerajaan, termasuk upacara dan orang-orang yang bisa terlibat di dalamnya, sehingga eksistensi dan keyakinan Bissu, sebagai bagian dari kepercayaan Bugis kuno, kian terdesak, sebelum akhirnya memilih keluar dari kehidupan kerajaan dan berbaur dengan masyarakat.

Masa Kelam Bissu: Operasi Toba’ (Tobat) Tahun 1966

Kemunduran saat islamisasi memasuki tanah Sulawesi belum menjadi pukulan telak yang menorehkan luka di sejarah eksistensi Bissu. Tepat pada 1966, Kahar Muzakkar, bersama laskar DI/TII yang menganut Islam garis keras, menjalankan sebuah misi yang disebut Operasi Toba’ (Tobat) yang menyasar para Bissu.

DI/TII menganggap kehadiran Bissu dapat membangunkan feodalisme dan keyakinannya yang bertentangan dengan ajaran Islam menjadi pembenaran untuk diberantas. Laskar memburu para Bissu, merampas peralatan yang melekatkan identitas dan menenggelamkannya ke laut.

Tidak berhenti di situ, Kahar Muzakkar memberi pilihan kepada para Bissu yang ditangkap: kembali ke kodrat laki-laki atau meregang nyawa. Akhirnya, tidak sedikit para Bissu yang melarikan diri menuju tempat persembunyian di tengah hutan atau memilih terbunuh untuk mempertahankan keyakinannya.

Peristiwa ini dianggap sebagai masa tergelap dalam sejarah Bissu. Bissu yang tersisa memilih untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat agar dapat diterima, termasuk dengan memeluk Islam.

baca juga

Keberadaan Bissu saat Ini: Beradaptasi di Tengah Ragam Tantangan

Walaupun kenangan pahit yang dihadapi oleh para Bissu telah tergantikan oleh penerimaan dalam masyarakat, tetapi peristiwa yang bertubi-tubi telah menyisakan luka yang akan selalu dikenang oleh Bissu.

Para Bissu telah dipaksa beradaptasi sejak proses islamisasi, ditumpas oleh Kahar Muzakkar atas dasar pemurnian agama, distigmakan negatif oleh masyarakat, hingga akhirnya menghadapi masalah regenerasi saat ini.

Bissu bukanlah gelar yang diwariskan melalui keturunan, melainkan murni dari panggilan spiritual yang datang kepada orang-orang terpilih. Hal ini menempatkan kelahiran generasi Bissu yang tidak dapat diprediksi.

Belum termasuk pergeseran pandangan masyarakat modern yang hanya terbatas pada dua gender, yaitu perempuan dan laki-laki, telah mengasingkan eksistensi Bissu yang dianggap tidak relevan. Hal ini menyebabkan sedikitnya generasi muda yang mewarisi budaya Bissu yang telah menggambarkan pluralitas peradaban Bugis sejak dulu.

Selain itu, kesejahteraan Bissu juga menghadapi tantangan sejak perubahan sistem pemerintahan kerajaan ke dalam bentuk negara kesatuan. Penghidupan yang dulunya tercukupi melalui aktivitas kerajaan telah tergantikan dengan aturan-aturan modern yang telah mengabaikan kearifan budaya lokal.

Dikutip dari artikel National Geographic, Pasal 33 UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 telah mengubah sistem tradisional dan memindahkan tanah ulayat yang menghidupi kebudayaan Bugis menjadi milik Pemerintah.

Kenyataan ini mendorong para Bissu yang tersisa untuk bertahan hidup dengan menekuni beragam jenis pekerjaan, termasuk bekerja di salon, menjadi penghias pengantin, hingga dilibatkan dalam kegiatan kebudayaan oleh pemerintah yang masih melestarikan nilai-nilai kebudayan tradisional Bugis.

Kini, kepercayaan dan eksistensi Bissu tidak lagi merasuk ke dalam setiap aspek kegiatan masyarakat. Kita mungkin hanya akan melihat mereka dalam kegiatan seremonial dan kebudayaan yang masih mengakui dan melestarikan keberadaan Bissu hingga hari ini.

Padahal, kehadiran Bissu menjadi wujud pluralitas dari peradaban Bugis dan menggugat keyakinan kita yang dianggap lebih benar, maju, dan modern. Karena pada akhirnya, Bissu hadir sebagai bentuk kesadaran akan warna-warni kehidupan yang selaras dengan alam.

Referensi:

  • National Geographic. (2022). Bissu: Kearifan Bugis Terbungkam, Kini Mendekam dalam Liminalitas. Diakses pada: https://nationalgeographic.grid.id/read/133208676/bissu-kearifan-bugis-terbungkam-kini-mendekam-dalam-liminalitas?page=all
  • Said, M. (2016). Peran Bissu dalam Masyarakat Bugis. Dalam Prosiding Seminar Nasional “Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Membentuk Karakter Bangsa Dalam Rangka Daya Saing Global” (hal. 71-78). Makassar: UNM & HISPISI.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

NF
FS
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.