Keanekaragaman hayati Indonesia menyimpan banyak spesies yang unik dan hanya ditemukan di wilayah tertentu. Salah satunya adalah Punggok Sumba (Ninox sumbaensis), seekor burung hantu yang menjadi satwa endemik Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur.
Punggok Sumba memiliki nama ilmiah Ninox sumbaensis. Dalam taksonomi, ia diklasifikasikan ke dalam Kerajaan Animalia, Filum Chordata, Kelas Aves, Ordo Strigiformes, Famili Strigidae, dan Genus Ninox.
Genus Ninox sendiri dikenal sebagai "boobook owls" atau "hawk-owls", yang sering dicirikan oleh wajah tanpa lingkaran facial (facial disk) yang jelas, menyerupai raptor.
Spesies ini pertama kali dideskripsikan secara resmi oleh Olsen et al. pada tahun 2002, setelah sebelumnya dianggap sebagai subspesies dari Punggok Timor (Ninox fusca).
Di daerah asalnya, burung ini dikenal dengan nama "Punggok" atau "Kokok". Istilah "Punggok" merujuk pada suara khasnya yang terdengar seperti "pook-pook" atau "wouk-wouk" yang dalam dan berirama, sering dikeluarkan pada malam hari.
Pengakuan sebagai spesies tersendiri ini menegaskan keunikan genetik dan morfologisnya yang berbeda dari kerabat terdekatnya di pulau-pulau sekitar.
Matanya Berwarna Kuning Terang
Secara fisik, Punggok Sumba adalah burung hantu berukuran sedang. Panjang tubuhnya berkisar antara 30 hingga 35 sentimeter. Bulu bagian atas (dorsal) didominasi warna coklat kemerahan (rufous) dengan sedikit coretan atau bintik pucat.
Bagian bawah (ventral) berwarna lebih pucat, putih kecoklatan, dengan corak coretan coklat yang tebal. Ciri yang membedakannya dari burung hantu lain, terutama dalam genus Ninox, adalah warna matanya yang kuning terang kontras dengan lingkaran mata hitam, serta paruhnya yang berwarna hijau-kuning pucat. Ia tidak memiliki "telinga" atau jambul yang menonjol di kepala.
Perilaku Punggok Sumba sesuai dengan kebiasaan genus Ninox. Ia adalah predator nokturnal yang aktif berburu setelah senja. Mangsanya terutama terdiri dari artropoda besar seperti serangga (belalang, kumbang) dan kadang-kadang vertebrata kecil seperti cicak, tikus kecil, atau burung kecil.
Penelitian oleh Trainor et al. (2012) mencatat bahwa perilaku makannya sangat bergantung pada ketersediaan mangsa invertebrata. Suara panggilannya yang khas merupakan alat komunikasi utama, digunakan untuk menandai wilayah dan berkomunikasi dengan pasangan.
Burung Endemik Pulau Sumba
Sebagai spesies endemik, persebaran Punggok Sumba secara global hanya terbatas di Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Ia tidak ditemukan secara alami di pulau mana pun di luar Sumba.
Habitat utamanya adalah hutan dataran rendah primer dan sekunder yang masih baik. Ia juga dapat ditemui di hutan musim semi (monsoon forest), hutan dengan kanopi tertutup, dan area berhutan di sepanjang tepi jurang.
Burung ini tercatat hidup hingga ketinggian sekitar 950 meter di atas permukaan laut, tetapi lebih umum dijumpai di wilayah yang lebih rendah. Studi oleh Verbelen & De Boer (2019) dalam BirdingASIA menunjukkan bahwa Punggok Sumba sangat bergantung pada keberadaan tutupan hutan.
Populasinya ditemukan lebih padat di kawasan dengan tutupan hutan yang luas dan terus menerus, seperti di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti dan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru. Ia jarang ditemukan di daerah dengan fragmentasi hutan yang tinggi atau wilayah yang benar-benar terbuka.
Burung yang Dilindungi Negara
Punggok Sumba termasuk dalam kategori spesies yang dilindungi secara hukum di Indonesia. Hal ini didasarkan pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Dalam peraturan tersebut, seluruh spesies dari famili Strigidae (termasuk genus Ninox) dilindungi.
Secara internasional, International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan Punggok Sumba dalam status "Rentan" (Vulnerable/VU). Ancaman utama terhadap kelangsungan hidupnya adalah kehilangan dan degradasi habitat.
Konversi hutan menjadi lahan pertanian, perluasan permukiman, serta kebakaran hutan merupakan tekanan yang signifikan. Fragmentasi hutan mengisolasi populasi-populasi kecil dan mengurangi ketersediaan sumber makanan serta tempat bersarang. Ancaman lainnya termasuk potensi perburuan, meskipun skalanya belum didokumentasikan dengan baik.
Upaya konservasi yang dilakukan berfokus pada perlindungan habitat kuncinya. Dua taman nasional di Sumba, yaitu Taman Nasional Laiwangi Wanggameti dan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru, menjadi benteng utama bagi populasi burung ini. Penelitian dan pemantauan populasi secara berkala juga diperlukan untuk memahami tren populasinya dan efektivitas upaya konservasi yang dilakukan.
Referensi:
- Olsen, J., Wink, M., Sauer-Gürth, H., & Trost, S. (2002). A new Ninox owl from Sumba, Indonesia. Emu - Austral Ornithology, 102(3), 223-231.
- Trainor, C. R., Imanuddin, Aldy, F., & Verbelen, P. (2012). The avifauna of Sumba, Indonesia: endemism, conservation and threats. BirdingASIA, 18, 60-69.
- Verbelen, P., & De Boer, M. N. (2019). A survey of the Sumba Boobook Ninox sumbaensis on Sumba, Indonesia. BirdingASIA, 32, 89-94.
- International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List. Ninox sumbaensis. Diakses dari https://www.iucnredlist.org/.
- Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News