Indonesia menegaskan kesiapannya untuk mengirimkan pasukan perdamaian ke Gaza, Palestina. Ditambah lagi, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) juga sudah mengadopsi Resolusi 2803 tentang pembentukan International Stabilization Force/ISF alias Pasukan Stabilisasi Internasional yang diberi mandat untuk menjaga wilayah Gaza pascakonflik.
ISF bertanggung jawab untuk mengamankan perbatasan Gaza, melindungi warga sipil, menyalurkan bantuan kemanusiaan, melatih kepolisian Palestina, dan mengawasi proses pelucutan senjata Hamas dan kelompok bersenjata lainnya.
Menyadur dari ANTARA, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengatakan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) sudah menyiapkan 20.000 prajurit, termasuk personel dengan spesialisasi kesehatan dan konstruksi untuk terjun dalam misi tersebut.
Lebih lanjut, porsi terbesar pasukan perdamaian Indonesia diproyeksikan berasal dari matra darat, yakni 12.000 personel. Nantinya, pasukan ini akan dipimpin oleh jenderal bintang tiga.
Namun, saat ini Indonesia masih berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, termasuk negara-negara yang akan berpartisipasi dalam misi Gaza itu. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI juga menegaskan bahwa Indonesia akan berpatisipasi hanya jika mendapatkan mandat resmi dari PBB.
Amerika Serikat, "Dalang" di Balik Terbentuknya ISF
ISF merupakan rencana perdamaian yang diinisasi oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Hal ini cukup menarik mengingat Amerika Serikat adalah sekutu baik Israel.
Melihat hal ini, Dosen Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta, Winda Eka Pahla Ayuningtyas, S.Pd., M.A., mengatakan bahwa ide Trump adalah sebuah langkah hipokrit. Menurutnya, sampai saat ini belum ada langkah dan perubahan yang cukup signifikan dari resolusi tersebut.
“Kita tidak melihat adanya langkah signifikan terkait adanya resolusi ini. Apakah saat ini sudah ada perubahan terkait dengan konflik Israel dan Palestina? Tidak ada indikasi bahwa mereka serta-merta akan berhenti,” terang Winda pada GNFI.
Winda menambahkan, pendanaan ISF berasal dari kontribusi negara-negara yang berkenan untuk mendukung pembentukan pasukan itu dan diawasi oleh Board of Peace (BoP)—badan yang berwenang untuk mendukung administrasi dalam upaya rekonstruksi Gaza pascaperang dan berlaku hingga 31 Desember 2027. Artinya, pendanaan bersifat sukarela dan keberlanjutannya bisa saja menghadapi tantangan di masa depan jika tidak disertai dengan struktur yang jelas.
“Jika dukungan melemah, misi ISF akan mengalami kesulitan dalam hal pendanaan dan personel,” imbuhnya.
Saat ini, belum ada kepastian terkait negara mana saja yang akan berkontribusi dan berapa banyak pasukan yang akan diturunkan. Hal ini menunjukkan belum adanya komitmen penuh dari pembentukan ISF tersebut.
Akan tetapi, Winda mengatakan bahwa ISF bisa berjalan asalkan terdapat satu negara yang berperan sebagai motor penggerak. Negara ini dapat menciptakan pergerakan dalam sistem dan misi ISF menjadi lebih terarah.
“Jangan sampai kita sudah memiliki inisiasi yang bagus, tapi ternyata karena pendanaannya tidak ada, komitmennya tidak kuat, dan strukturnya tidak jelas,” katanya.
Lalu, bisakah Indonesia menjadi motor penggerak?
Menjawab hal ini, Winda tak menampik jika Indonesia bisa saja maju sebagai inisiator penggerak itu. Namun, ia mengatakan bahwa peluangnya kecil. Mengapa demikian?
Sejauh ini, setidaknya baru ada beberapa negara yang berpotensi mengirimkan pasukannya ke Gaza, seperti Indonesia, Turki, Mesir, Azerbaijan, dan Qatar. Dari beberapa negara tersebut, belum ada sumber daya kuat yang selayaknya dimiliki oleh negara-negara maju lainnya.
Winda mengatakan, peluang sebagai motor penggerak justru datang dari negara P5 alias lima anggota tetap Dewan Keamanan. Ini dikarenakan kelimanya sudah memiliki kekuatan militer yang baik.
“Kuncinya jika Indonesia atau Turki sangat ingin mengimplementasikan ISF ini, mereka harus mengajak salah satu negara tersebut (P5) karena mereka memiliki sumber daya yang kuat,” tegas Winda.
Namun, dosen yang menaruh perhatian pada isu-isu Amerika ini menuturkan bahwa apabila Indonesia ingin menjadi motor penggerak, perannya tidak harus menyeluruh di semua sektor. Ia mencontohkan jika Indonesia bisa fokus di sektor tertentu, seperti kemanusiaan, perlindungan sipil, atau logistik.
“Mereka (negara besar seperti P5) pasti enggan menyerahkan kepemimpinan penuh ke Indonesia atau Turki. Bisa juga membuat koalisi gabungan yang dipimpin negara besar dengan Indonesia sebagai co-contributor besar, bukan sebagai pemimpin,” jelasnya.
Dalam keterangannya, Winda menjelaskan Amerika Serikat sebagai “arsitek” utama dalam pembentukan ISF dapat menyediakan kapasitas strategis yang tidak dipunyai negara lain, seperti dukungan intelijen, teknologi, militer, transportasi militer, dan sebagainya.
“Keberlangsungan mandat ISF bergantung pada dukungan Amerika Serikat karena posisinya sebagai anggota tetap DK PBB,” ungkap Winda.
Apakah ISF dan Resolusi 2803 Adalah Keputusan Tepat?
Melihat dari sisi kepentingan internasional, keputusan untuk mengadopsi Resolusi 2803 adalah hal yang tepat, karena ada kebutuhan mendesak dari stabilisasi Gaza. Tak hanya itu, dari sisi kemanusiaan, genosida juga harus dihentikan.
Winda juga mengatakan langkah Prabowo untuk mengirimkan pasukan perdamaian sudah tepat. Ditambah lagi, saat ini Prabowo juga tengah gencar melakukan kerja sama internasional.
“Menurut saya, apa yang dia (Prabowo) lakukan ini baik karena dapat menciptakan legitimasi politik yang bagus untuk Indonesia,” paparnya.
Akan tetapi, tetap perlu ada jaminan keamanan yang wajib diberikan oleh PBB terkait misi perdamaian itu. PBB harus mengeluarkan mandat perlindungan hukum tertinggi demi memastikan keamanan seluruh pasukan.
Selain itu, PBB juga harus menyediakan rules of engagement—kapan pasukan dapat menggunakan kekuatan untuk melindungi diri dan warga sipil—dengan jelas. Pola interaksi militer harus diatur tanpa menimbulkan situasi atau ancaman yang berbahaya.
Perlu ada status of force agreement yang menjadi jaminan status hukum tentang hak dan kewajiban personel ISF yang bertugas. PBB harus menyediakan dukungan operasional, termasuk evakuasi medis, transportasi, dan sebagainya.
Lalu, apa yang bisa disiapkan Indonesia?
Menanggapi hal ini, Winda mengatakan perlunya lembaga yang berperan dalam pengimplementasian pengiriman pasukan perdamaian dan melibatkan TNI maupun kepolisian.
“Memang harus ada lembaga atau seseorang yang berperan dalam pengimplementasiannya. Mungkin bisa melalui Kementerian Pertahanan,” pungkasnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News