di antara negara dan ibu dinamika dalam kebijakan program makan bergizi gratis - News | Good News From Indonesia 2025

Di Antara Negara dan Ibu: Dinamika dalam Kebijakan "Program Makan Bergizi Gratis"

Di Antara Negara dan Ibu: Dinamika dalam Kebijakan "Program Makan Bergizi Gratis"
images info

Di Antara Negara dan Ibu: Dinamika dalam Kebijakan "Program Makan Bergizi Gratis"


Sebuah kebijakan publik tidak hanya lahir melalui perumusan dalam ruang rapat saja. Akan tetapi perjalanan kebijakan banyak juga dapat berangkat dari janji politik, yang kemudian diwujudkan menjadi program nyata setelah pemerintah memperoleh mandat rakyat.

Hal inilah yang terjadi pada pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang dilantik pada 20 Oktober 2024 lalu. Pada awal pemerintahan yang ada, pasangan tersebut mulai merealisasikan salah satu bentuk janji politik yang sering disampaikan oleh paslon yang ada yaitu: program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang sebelumnya sebagai makan siang gratis ini menjadi sebuah bentuk terobosan nasional untuk bisa memastikan seluruh anak Indonesia memperoleh akses gizi yang layak.

Dalam dokumen resmi visi-misi, Prabowo dan Gibran menargetkan program MBG menjangkau lebih dari 80 juta penerima manfaat dan mencapai cakupan penuh pada 2029 (Prabowo & Gibran, 2024, hlm. 23).

Program ini mulai diimplementasikan secara nasional sejak Januari 2025 setelah melewati tahap uji coba di berbagai daerah yang ada. Hingga pada akhir Oktober 2025, dalam rapat terbatas di Istana Merdeka, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) melaporkan bahwa“ada 13.514 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di 38 provinsi, 509 kabupaten, dan 7.022 kecamatan, dengan potensi melayani hingga 39,5 juta penerima manfaat (Sekretariat Presiden Republik Indonesia, 2025). Angka ini menunjukkan capaian yang besar dalam waktu relatif cukup singkat, sebagai sebuah indikasi kuat bahwa pemerintah bergerak untuk bisa mulai memperbaiki kualitas gizi anak-anak Indonesia.

Namun demikian, perkembangan pesat sebuah kebijakan nasional tidak serta merta hanya daripada bagaimana tingkat terlaksananya saja tetapi, pasti ada berbagai dilemma sosial di lapangan yang terjadi. Pada 26 September 2025, sejumlah ibu berkumpul dalam aksi simbolis “Kenduri Suara Ibu Indonesia” di Bundaran UGM Yogyakarta. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap maraknya kasus keracunan yang menimpa anak-anak penerima MBG di sejumlah sekolah di seluruh Indonesia. 

Suara-suara tersebut sesungguhnya merupakan bagian alami dari dinamika demokrasi yang seharusnya terjadi di Indonesia: masyarakat dapat menyampaikan kekhawatiran mereka, dan seharusnya pemerintah bisa merespons dengan langkah perbaikan yang tepat.

Tidak hanya secara langsung melalui aksi. Beberapa ibu juga mengangkat isu MBG ini melalui media sosialnya masing-masing, termasuk pandangan bahwa “urusan dapur” adalah seharusnya wilayah keluarga, karena gizi bagi anak ibu yang mengetahui.

Dalam konteks ini, kritik para ibu bukanlah sebuah penolakan semata terhadap tujuan mulia MBG, melainkan ekspresi perhatian agar pemerintah lebih teliti, transparan, dan ketat dalam menjaga kualitas makanan. Ini adalah pesan yang justru dibutuhkan oleh pemerintahan mana pun agar implementasi kebijakan tetap berjalan optimal.

Di sisi lain, pemerintah terus menegaskan bahwa MBG adalah bagian dari tanggung jawab negara untuk memastikan setiap anak di sekolah, pesantren, maupun lembaga pendidikan lainnya bisa mendapatkan makanan bergizi yang seharusnya aman. 

Pemerintah telah seharusnya dapat memperkuat standar higienitas, memperbaiki rantai distribusi, dan melakukan audit langsung di lapangan. Setiap kasus keracunan ditindaklanjuti dengan investigasi cepat untuk memastikan kejadian serupa tidak terulang kembali. Langkah-langkah ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mendengarkan, bukan mengabaikan, kekhawatiran yang datang dari masyarakat, terutama seorang IBU.

Dalam dinamika tersebut, muncul fenomena yang menarik: dilema yang dialami anak di bawah dua otoritas, yaitu negara dan ibu. Di satu sisi, anak sebagai pelajar berhak mendapatkan makanan bergizi dari pemerintah. Di sisi lain, mereka juga ingin menghormati arahan ibu yang khawatir terhadap keamanan makanan.

Dilema seperti ini wajar dalam masa awal dari implementasi sebuah kebijakan besar. Justru hal ini memperlihatkan bahwa program MBG tidak hanya menyentuh aspek gizi, tetapi juga membuka ruang dialog antara negara dan keluarga terkait pengasuhan, kepercayaan, dan rasa aman yang dapat diberikan oleh negara kepada setiap anak yang ada di Indonesia.

Fenomena yang sering kita sebut sebagai sebagai “aturan ibu” tidak seharusnya dilihat sebagai hambatan bagi pemerintah dalam bisa melaksanakan MBG. Namun sebaliknya, ini menjadi masukan yang sangat penting bagi pemerintah yang ada.

Karena keberhasilan MBG bukan hanya diukur dari jumlah SPPG atau luasnya cakupan penerima manfaat, tetapi juga dari sejauh mana program ini diterima oleh masyarakat, khususnya bagi para ibu sebagai figur sentral dalam pengasuhan seorang anak. Pemerintah seharusnya dapat memahami bahwa kepercayaan publik adalah kunci. Karena itu, pembenahan kualitas makanan, peningkatan pengawasan, edukasi gizi, serta transparansi proses menjadi prioritas penting kedepannya.

Program MBG adalah langkah suatu langkah besar dan ambisius yang sedang bergerak ke arah yang benar. Tantangan yang muncul di lapangan menjadi bagian dari proses penyempurnaan kebijakan berskala nasional.

Di tengah perjalanan menuju pemenuhan gizi 100% bagi anak Indonesia pada 2029, dialog antara pemerintah, sekolah, dan keluarga menjadi pondasi penting agar program ini benar-benar membawa manfaat besar bagi generasi yang akan mendatang.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AB
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.