Subsidi bahan bakar minyak (BBM) selama ini menjadi salah satu cara pemerintah menjaga daya beli masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah. Namun, ketika harga minyak dunia naik tajam, beban fiskal pemerintah ikut melonjak.
Tahun 2022 menjadi contoh paling jelas, saat gejolak global membuat anggaran negara harus bekerja jauh lebih keras dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tulisan ini membahas bagaimana kenaikan harga minyak pada tahun tersebut menekan APBN, mendorong inflasi, dan memunculkan tantangan di balik kebijakan subsidi.
Lonjakan harga minyak di 2022 dipicu oleh konflik Rusia–Ukraina yang mengganggu pasokan energi global. Minyak Brent yang sebelumnya berada di kisaran USD 60 per barel, sempat menyentuh lebih dari USD 120 per barel pada Maret 2022. Bagi Indonesia yang masih mengimpor sebagian besar kebutuhan BBM-nya, kenaikan ini memperlebar jarak antara harga sebenarnya di pasar global dengan harga yang dibayar masyarakat di SPBU.
Akibatnya, subsidi energi yang awalnya direncanakan sekitar Rp152 triliun harus dinaikkan menjadi Rp502 triliun. Angka sebesar itu menyerap sekitar seperlima total belanja negara, membuat ruang fiskal untuk sektor lain seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur ikut menyempit.
Tekanan seperti ini sebenarnya bukan pertama kali terjadi. Pada 2014 dan 2018, pemerintah juga menghadapi masalah serupa—setiap harga minyak melonjak, APBN langsung mendapatkan tekanan besar. Bahkan ketika harga komoditas global sedang bagus dan penerimaan negara naik, tambahan penerimaan tersebut tetap habis untuk menutup subsidi energi yang membengkak. Akibatnya, manfaat kenaikan penerimaan tidak benar-benar terasa untuk pembangunan jangka panjang.
Dari sisi pengelolaan anggaran, subsidi BBM termasuk jenis belanja yang manfaatnya cepat terasa, tetapi tidak meningkatkan kapasitas ekonomi di masa depan. Berbeda dengan investasi pada pendidikan atau infrastruktur yang bisa meningkatkan produktivitas, subsidi BBM hanya bertahan pada satu periode anggaran dan langsung habis dipakai. Ketika jenis belanja seperti ini semakin besar porsinya, ruang untuk membangun sektor produktif otomatis semakin kecil.
Untuk mengurangi tekanan subsidi, pemerintah mencoba mengalihkan sebagian beban menjadi bantuan langsung seperti BLT BBM, subsidi transportasi, dan bantuan pangan. Ide dasarnya adalah agar dukungan pemerintah benar-benar dinikmati oleh kelompok yang membutuhkan, bukan semua pengguna BBM. Tapi pelaksanaannya tidak mudah.
Data penerima bantuan (DTKS) masih sering tidak akurat, pembaruan data antar daerah tidak seragam, dan koordinasi antar lembaga sering kali lambat. Masalah-masalah ini menunjukkan bahwa tantangan terbesar bukan hanya merancang kebijakan, tetapi memastikan datanya rapi dan administrasinya berjalan.
Penyesuaian harga BBM pada September 2022 juga terlihat jelas pengaruhnya pada inflasi. Sebelum kebijakan diterapkan, inflasi sudah naik dari 4,35% pada Juni menjadi 4,94% pada Juli. Banyak pelaku usaha sudah menaikkan harga lebih dulu karena memprediksi tarif BBM akan naik.
Setelah harga benar-benar meningkat, inflasi melonjak menjadi 5,95% pada September. Kenaikan ini terutama berasal dari sektor transportasi dan logistik yang naik signifikan. Biaya distribusi yang lebih mahal akhirnya membuat harga bahan pangan seperti beras, telur, dan sayuran ikut terdorong naik.
Dalam jangka panjang, menjaga harga BBM tetap rendah membuat masyarakat dan dunia usaha kurang terdorong untuk mencari alternatif yang lebih efisien. Teknologi transportasi hemat energi, kendaraan listrik, atau sistem transportasi publik modern menjadi lambat berkembang karena tidak ada tekanan harga yang mendorong perubahan. Di sisi lain, anggaran negara terus terserap untuk subsidi, sehingga ruang untuk mendanai pengembangan energi terbarukan atau infrastruktur baru ikut terbatasi.
Agar subsidi lebih efektif, beberapa langkah perlu diperkuat: perbaikan akurasi data bantuan sosial, integrasi data penerima di seluruh daerah, dan percepatan pembangunan transportasi umum yang terjangkau. Dengan data yang lebih lengkap dan kebijakan yang lebih tepat sasaran, pemerintah bisa menjaga daya beli masyarakat tanpa membebani APBN secara berlebihan.
Pengalaman tahun 2022 memberikan pelajaran penting bahwa kebijakan energi tidak bisa berdiri sendiri. Keputusan mempertahankan harga BBM atau menaikkannya selalu berkaitan langsung dengan stabilitas fiskal dan arah pembangunan. Jika pengelolaan subsidi dilakukan lebih terarah dan berbasis data, kebijakan ini tidak hanya mampu melindungi kelompok rentan, tetapi juga mendukung perubahan struktural ekonomi Indonesia di masa depan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News