Jika Kawan GNFI melewati jalur Solo-Semarang, ada satu pemandangan yang tak mungkin terlewatkan saat memasuki wilayah Boyolali. Bukan gedung pencakar langit, melainkan sosok sapi perah raksasa yang terlihat gagah, seolah menyapa setiap pengendara yang lewat.
Boyolali dan sapi adalah dua hal yang tak bisa terpisahkan. Julukan New Zealand van Java atau “Selandia Baru-nya Jawa” bukan sekadar sebutan tanpa makna. Padahal, di balik foto-foto estetik yang sering ber-sliweran di media sosial itu, ada cerita pasang surut yang jarang orang ketahui.
Dulu, keberadaan patung ini sempat bikin geger dan diprotes warga, lho. Siapa sangka, yang dulunya diperdebatkan kini justru jadi wajah kebanggaan Boyolali yang dikenal banyak orang.
Kota Susu dan Identitas yang Mengakar
Sebelum membahas patungnya, kita harus paham, “Mengapa sapi?” Melansir data dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Boyolali, populasi sapi perah di wilayah ini memang luar biasa banyak. Boyolali konsisten menjadi penyumbang terbesar produksi susu segar di Jawa Tengah.
Sapi bukan sekadar hewan ternak bagi warga Boyolali, melainkan menjadi napas ekonomi dan identitas budaya. Maka tak heran, keberadaan patung sapi di tengah kota dianggap sakral. Ia adalah representasi visual dari “Rojokoyo” yang artinya raja kekayaan masyarakat setempat.
Melawan Lupa, Kontroversi Sang Ikon Kota
Tak banyak anak muda sekarang yang tahu, bahwa patung yang kita nikmati keindahannya sekarang ternyata lahir dari perdebatan panjang. Flashback sedikit ke tahun 2011, satu kota sempat dibuat geger soal nasib si 'Sapi' ini.
Kala itu, Pemerintah Kabupaten Boyolali berencana memindahkan patung sapi ikonik yang semula berada di pusat kota (kawasan Sono Kridanggo). Rencana ini memicu gelombang protes dari masyarakat. Warga merasa patung tersebut memiliki nilai historis dan emosional yang kuat sebagai penanda pusat keramaian.
Mengutip arsip berita Solopos, pemindahan tersebut dinilai sebagian warga sebagai upaya menghilangkan memori kolektif kota. Namun, pemerintah daerah saat itu memiliki visi lain bahwa penataan ulang tata kota (regenerasi) menuju Boyolali yang lebih modern. Patung lama dianggap sudah tidak relevan dengan masterplan pembangunan kompleks perkantoran baru yang terintegrasi.
Perdebatan antara “mempertahankan nostalgia” dan “menuju modernitas” ini sempat menjadi isu hangat di berbagai media lokal. Namun, waktu membuktikan bahwa perubahan terkadang membawa kebaikan yang lebih besar.
Transformasi Menjadi Lembu Sora
Pemerintah menjawab keraguan masyarakat tidak dengan sekadar memindah, tetapi “membangun ulang” dengan skala yang jauh lebih megah. Lahirlah kompleks perkantoran terpadu Pemkab Boyolali yang di dalamnya berdiri patung Lembu Sora.
Ini bukan patung biasa. Jika patung lama hanya monumen diam, Lembu Sora adalah patung sapi raksasa berukuran sekitar 18x12 meter yang juga berfungsi sebagai gedung pertemuan (Wahanawaras).
Transformasi ini mengubah persepsi publik. Dari yang awalnya kontra, kini warga justru bangga. Patung sapi tidak lagi sekadar tugu di perempatan jalan, melainkan sebuah landmark arsitektural yang unik. Keunikan inilah yang membuat Boyolali mulai dilirik dunia luar. Wisatawan yang awalnya hanya numpang lewat, kini sengaja berhenti untuk berswafoto.
Simbol Kemakmuran yang Mendunia
Kini, Patung Sapi Boyolali terutama Lembu Sora dan Patung Sapi Ndekem di area Alun-Alun Kidul telah menjadi ikon pariwisata daerah. Di era media sosial, foto-foto patung sapi dengan latar belakang Gunung Merapi dan Merbabu sering kali viral dan disandingkan dengan pemandangan peternakan di Eropa atau Selandia Baru.
Bahkan, keberadaan patung-patung ini memperkuat branding Boyolali di kancah internasional sebagai produsen susu dan daging berkualitas. Simbol ini sejalan dengan prestasi Boyolali yang kerap menjadi rujukan studi banding daerah lain soal peternakan modern.
Dilansir juga dari catatan resmi PPID Boyolali, deretan ikon unik ini ternyata bukan cuma buat gaya-gayaan. Pemerintah setempat memang sengaja merancangnya agar Boyolali semakin nyaman dikunjungi tanpa kehilangan jati dirinya. Dari perjalanan panjang si 'Sapi Raksasa' ini, kita jadi sadar satu hal bahwa budaya lokal jika digarap dengan visi yang pas, ternyata bisa banget jadi kebanggaan kelas dunia.
Dari sejarah panjang dan berliku, Patung Sapi Boyolali mengajarkan kita satu hal bahwa identitas lokal, jika dikelola dengan visi yang tepat, bisa menjadi kebanggaan global. Kini, patung tersebut berdiri tegak, bukan hanya sebagai beton mati, melainkan saksi bisu transformasi Boyolali menjadi kota yang maju tanpa melupakan akar “susu” nya.
Jadi, kapan nih, Kawan GNFI mampir dan berfoto di depan sang Lembu Sora?
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News